Ben & Cori

Steffi Adelin
Chapter #16

16. Sambal Ijo Mengerikan

Pukul 16.00 hingga 19.00 adalah waktunya warga Batam diuji kesabarannya ketika berkendara menuju rumah masing-masing. Mereka harus menghadapi macet panjang di setiap persimpangan lampu merah. Apa lagi kalau sedang melewati Simpang Kepri Mall. Sebab, ada delapan jalur yang berinterseksi di area ini. Belum lagi durasi satu lampu merah di setiap jalur mencapai 12 menit. Macetnya bisa berkil-kilo meter!

Sedan hitam Arga termasuk satu dari kendaraan yang merayap pelan menuju Simpang Kepri Mall. Sebelum sampai ke kafe tujuan, Cori memanfaatkan macet panjang ini untuk menyusun kata-kata dan mempersiapkan hati, apa pun hasil pembicaraannya nanti.

Namun, sepertinya Arga sudah curi start.

"Kok kamu nggak pernah kasih tahu Mas kalau kamu temenan sama Ben?"

Here we go, batin Cori.

"Kenapa? Mas khawatir Bang Ben bakal 'bicara' yang aneh-aneh soal kamu?" ketus Cori.

"Kok kamu kesannya nuduh aku?! Mas nanya baik-baik, lho."

"Really?" Cori mencebik tak percaya. Ia memilih memalingkan wajahnya ke jendela, menatap para pemotor yang dengan mulusnya menyalip lincah di antara mobil dan truk.

"Sayang, kalau memang kamu lagi rebel, protes dengan cara pergi bersama laki-laki lain karena Mas nggak bisa antar kamu ke reuni, Mas minta maaf. Okay? Maafin Mas, Sayang. Ya?" mohon Arga sambil memajukan mobilnya seinci demi seinci, lalu tuas rem kembali ditarik karena mobil di depan tak lagi bergerak.

Kali ini Cori mengikat amarahnya kuat-kuat sebelum bicara.

"Mas beneran pergi ke Tanjung Pinang waktu itu?" tanyanya lebih lembut. Cori hanya butuh kejujuran Arga.

"Ya."

"Sama siapa?"

"Sama Haryo."

"Aku bisa konfirmasi Mas Haryo?"

"Untuk apa?!" Arga seketika panik. "Kamu nggak percaya aku? Kamu anggap apa hubungan kita tiga tahun ini? Kamu buat aku kecewa, Cori."

Kali ini tuas rem dilepas kasar dan mobil melaju kencang walaupun hanya berjalan dua meter. Badan Cori sampai terhuyung ke depan gara-gara Arga menginjak rem terlalu dalam.

"Mas! Bisa lebih tenang bawa mobilnya?" Cori teriak tertahan.

"Kamu yang bikin aku kayak gini!"

Bulu roma Cori tiba-tiba meremang. Ia merasa terancam untuk alasan yang tidak ia ketahui.

"Kenapa Mas malah marah?" katanya melembut. Oh, lebih tepatnya memaksa lidahnya seakan bicara kepada bayi. Cori tidak mau mau memancing pria di sebelahnya lebih jauh. "Aku hanya ingin confirm ke Mas Haryo. Nggak boleh?"

"Itu sama aja kamu nggak percaya Mas." Arga mulai gusar.

"Bagaimana mau percaya Mas ke Tanjung Pinang kalau aku lihat seseorang mirip Mas muncul di tempat aku reuni," tutur Cori. Ia menoleh lemah pada kekasihnya. "Dan lebih parahnya lagi, dia mencium bibir kakak kelasku dengan mesra." Cori meremas jemarinya yang mulai tremor.

Percayalah. Selain mengikat amarah, Cori juga menjaga suaranya agar tak bergetar. Ia berusaha membendung gejolak ingin menangis, menangisi nasibnya yang malang. Tapi Cori tidak mau menangis di depan pria ini!

Lagi-lagi mobil dikemudikan dengan ugal-ugalan. Kali ini Cori memilih diam dan berpegangan pada hand grip di atas jendela demi keamanan dirinya sendiri.

"Jadi kamu datang ke reuni itu? Kamu bohong, Cori!"

Cori memutar bola matanya dramatis. "Apa itu penting sekarang?!"

"Penting! Pasti Ben yang ngadu ke kamu, kan? Halah. Mas udah curiga sejak bertemu dia di depan kantor kamu. Dia nggak senang sama Mas. Dia pasti sedang menikmati waktunya ngejelekin Mas."

"Memangnya Mas berbuat apa sampai dia nggak seneng sama Mas?" tantang Cori.

"Ya ... nggak tahu. Dia mau ngerebut kamu dari Mas, mungkin?"

Cori tertawa kering. "Yang benar aja, Mas. Bukannya Mas yang harus beri aku penjelasan mengenai Kak Riri?"

Lihat selengkapnya