Ben & Cori

Steffi Adelin
Chapter #20

20. Sausage Rolls

Cori saat ini sedang belajar untuk menerima kehilangan, lagi.

Sulit memang. Tapi bukannya tidak bisa, kan? Dulu saja dia bisa menerima kehilangan sosok seorang ibu kandung. Dan sakitnya dulu bukan main. Luka tapi tak berdarah. Lalu, kenapa kepada seorang manusia yang tidak ada hubungan apa-apa dengannya, seakan-akan dunia kiamat?

Selagi belajar, ia juga tidak dibiarkan berlama-lama patah hati sendirian oleh sebentuk support system yang selalu ada untuknya.

Ada Sudjana, Super Dad yang rela terbang ke Batam demi menghibur dirinya. Lalu ada tetangga nomor empat yang membuat harinya lebih berwarna setelah hanya kelabu yang ditorehkan mantan kekasih. Ah, Ben dengan segala sifat melindunginya. Cori bersyukur akan itu.

Namun, ada sisi lain dari Ben yang masih belum bisa Cori pahami hingga sekarang.

Ben bilang, ia sangat benci kebiasaan menggosip karyawan PT. Sejahtera Bersama, tetapi ia juga yang (setengah) memaksa agar mereka berangkat bareng setiap hari. Dan di sinilah ia dengan Bapak Auditor di dalam Brio putih sedang di jalan menuju kantor untuk hari kesekian. Berangkat ke kantor saja begitu mendebarkan. Seperti main kucing-kucingan!

Bukankah lebih baik mereka tidak perlu terlihat acap bersama-sama di luar urusan kantor? Kalau staf Mega Legenda tahu Cori dan Ben sering berada dalam satu mobil, sudah pasti akan menggemparkan dunia persilatan PT. Sejahtera Bersama dan memberi makan ego pribadi-pribadi yang suka dengan gosip hangat dan aktual.

"Sampai kapan kita kayak gini, Bang?" keluhnya.

"Diungkit lagi." Ben memutar bola matanya. "Bukannya kegiatan seperti ini seru?" Tolehan yang sebentar disambut bibir cemberut Cori yang seperti biasa, menggemaskan.

Ben tidak pernah merasa keberatan melakukan kegiatan menyenangkan ini setiap hari. Soalnya ia sudah mendapat izin dari Sudjana untuk mengantar-jemput Cori. Ben senang bukan kepalang.

"Abang suka cari perkara, deh! Mau semua orang tahu kalau kita sering berangkat bareng? Ujung-ujungnya mereka bakal tahu kita tinggal satu kluster di Perumahan Nuri 1."

Ben mengelus dagunya yang baru ia cukur tadi pagi sambil berpikir dan menempatkan tangannya yang lain di setir.

"Kalau dipikir-pikir, buat apa sembunyi dari orang kantor, ya?" tanyanya pada diri sendiri. "Mereka bebas kok berpikir kalau aku bisa aja nebengin kamu. Bener, kan?"

"Nggak se-simple itu, Bang" Cori mulai gemas. Ia sampai memutar tubuhnya menyerong ke arah si Supir Tampan agar kata-katanya tidak dianggap lalu. "Kalau mereka mikir macam-macam? Kalau mereka pikir kita ada hubungan tertentu, gimana? Rumah kita hadap-hadapan!"

"Kamu ... nggak mau mereka berpikir kita punya sesuatu?" selidik Ben.

"Ya enggaklah. Kita memang nggak punya hubungan apa-apa selain rekan kerja dan teman SMA," ucap Cori ngos-ngosan. "Dan tetangga," sambungnya cepat-cepat.

"Padahal aku pikir itu bukan ide yang buruk," gumam Ben lirih di antara geliginya yang merapat dan bibirnya yang hampir terkatup.

"Gimana, Bang?"

"Oh, aku bilang kamu nggak keberatan kan, kita berhenti satu blok sebelum kantor?" kata Ben cepat. Pria itu menoleh sebentar lalu matanya kembali ke jalan mengaburkan gugup yang melanda.

Kawasan Mega Legenda itu diisi oleh pasar tradisional dan bangunan-bangunan berupa ruko yang digunakan untuk tempat usaha atau pun gedung perkantoran. Kelompok bangunan ruko tersebut dipisah oleh jalan beraspal menjadi beberapa seksi atau blok sehingga setiap blok diberi tanda dengan huruf A sampai G.

Kantor Cabang Mega Legenda sendiri ada di Blok C. Jadi seperti biasa, Ben menurunkan Cori di Blok A.

"Kan aku udah pernah bilang buatku nggak masalah. Jalan pagi bagus untukku!" sarkas Cori.

"Kamu marah."

“Enggak. Aku cuma kesel sama ide konyol Abang.”

Ben meringis meski tidak ada raut penyesalan terdeteksi di wajahnya. Masalahnya Ben terlanjur menyukai kegiatan ini.

"Tapi sayangnya, mulai hari ini dan seminggu ke depan aku nggak berkantor di Mega Legenda. Jadi kita nggak bisa bareng."

Lihat selengkapnya