Kekuatan matanya sudah 2,5 watt!
Meski mengantuk berat, Cori memaksa diri untuk tetap terjaga menonton TV, walau terkadang yang menonton adalah kelopak matanya.
Demi Tuhan, pukul sepuluh adalah batas terakhir waktu tidurnya, tapi ia tidak mau jatuh ke alam mimpi. Masalahnya, ia sedang dirundung gundah tak menentu gara-gara si tetangga nomor empat belum juga pulang. Dan ini telah terjadi empat hari berturut-turut.
Saat hampir menyerah, suara mesin mobil yang mendekat tiba-tiba terdengar merdu di telinganya. Kelegaan mengguyur jiwanya, dan kantuk pun hilang.
Daun pintunya diketuk tiga kali, disusul suara yang ia tunggu-tunggu.
"Cori."
Cori tak sabaran membuka semua kunci pengaman pintunya tanpa merasa perlu mengintip siapa sosok di balik daun pintu.
"Hai," sapa si tetangga yang sudah ditunggu-tunggu.
"Abang."
Seulas senyum tulus menghias wajah lelahnya, membuat Cori membeo dan ikut menghadiahkan senyum yang sama.
"Aku lihat ruang tamu kamu masih nyala, jadi aku pikir mungkin kamu belum tidur. Aku mengganggu?"
Spontan Cori menggeleng. "Aku memang belum tidur. Jadi nggak ganggu."
"Syukurlah," gumamnya sangat lirih.
Tanpa dipersilahkan, Ben menghempaskan pantatnya di kursi rotan Cori, seakan teras beserta ornamennya adalah miliknya sendiri.
"Kamu keberatan duduk sebentar di sini?" Ben menunjuk kursi rotan kosong di seberang meja rotan bulat.
"Enggak." Cori langsung duduk dengan tenang.
"Lain kali, sebelum buka pintu intip dulu siapa yang namu. Jangan langsung dibuka seperti tadi. Mengerti ya, Cori?"
"Tapi aku udah tahu Abang yang di luar," bela Cori.
Ben terkekeh kecil. "Kamu nunggu aku?"
"Iya."
Ben setengah terperanjat. Ia tidak siap dengan kejujuran Cori yang ... melambungkan harapannya.
"K-kenapa?"
"Hampir tiap hari Abang selalu pulang jam segini. Aku khawatir Abang kenapa-kenapa. Soalnya, jalur Tiban ke Batam Center udah sepi pukul sembilan ke atas. Begal, lah, mobilnya rusak, lah. Pikiranku udah macem-macem, Bang! Aku nggak bisa tidur sebelum denger suara mobil Abang datang."
Yang Ben lakukan setelah mendengar 'ocehan' penuh kecemasan itu adalah tersenyum dan membuat seseorang di sebelahnya salah tingkah.
"A-ada yang salah di wajahku?" Telinganya sudah memanas di balik geraian rambut panjangnya.
"Enggak sia-sia aku pulang malam kecapekan. Sampai di rumah, dikhawatirin kayak gini. Duh, lelahku langsung hilang."
"Aku hanya khawatir—,"
"Iya, aku tahu. Terima kasih," ujar Ben tulus.
Muncul rasa baru dalam dada Cori. Rasa aneh yang ... menyenangkan.
"Sama-sama."
"Dan Cori …,"
"Apa?" Cori menggigit bibir bawahnya meredakan rasa aneh tadi.
"Tolong, jangan gigit bibir kamu sembarangan," perintah Ben. Cori spontan melepas gigitannya.
"Kenapa?"
"Itu ... sudah, lah, jangan dipikirkan." Saat Cori mau menanggapi, Ben buru-buru menyambung. "Besok kita harus berangkat bareng."
"Nanti Abang telat."
"Enggak. Besok aku lebih santai. Cuma tanda tangan balasan pemeriksaan. Lagian aku seneng kita berangkat bareng lagi. Kamu nggak tahu aja nggak ketemu kamu selama empat hari yang panjang benar-benar bikin hidupku bosan."
Kalimat terakhir meski terdengar lirih, justru seperti diteriakkan dengan pengeras suara masjid ke gendang telinga Cori.
Rasa aneh tadi kini menggelitiki perutnya. Seperti digerayangi kepakan kupu-kupu.
"Bang Ben beneran kecapekan, ya? Ngomongnya ngawur mulu dari tadi. Udah makan?" Bukannya tanpa alasan Cori bertanya demikian. Selain ingin meredakan gejolak angin ribut hatinya yang mulai berdebar aneh, Ben terlihat pucat.
Ben jadi mengingat makan malam bencana tadi.