Ben & Cori

Steffi Adelin
Chapter #22

22. Angkringan Onthel

Cori, Winnie, dan kru Cabang Mega Legenda lainnya tertahan di kantor. Mereka tidak bisa pulang gara-gara salah satu pengelola unit belum melapor ke kantor cabang.

Pengelola unit itu hampir sama dengan kepala cabang, tapi dalam ruang lingkup yang lebih kecil. Mereka mengepalai sebuah unit, mengambil keputusan sendiri, dan menjadi pemimpin bagi kasir dan sekuriti kantor mereka. Hanya saja, kekuasaan mereka mempunyai batas tertentu, tidak seluas dan setinggi Yusuf si Kepala Cabang.

"Cori, kamu ke Unit Batu Besar sekarang. Pengelolanya nelepon Bapak. Ada selisih dua juta lebih waktu tutup buku."

"Apa?! Dua juta lebih?" teriak Cori.

"Dua juta lebih?" kata seseorang membeo.

Cori memutar bola matanya. Padahal ia sedang mogok bicara, seseorang itu malah ikut nimbrung.

Cori kembali ke mode dirinya yang mandiri. Maksudnya berangkat ke kantor sendiri, pulang juga sendiri. Membuat Ben tidak bisa apa-apa selain mengikhlaskan diri menyaksikan si chubby berjalan ke depan gerbang kompleks sendirian dengan hati tak rela.

Semua gara-gara Ben. Lagian, siapa suruh mengingkari janji pulang bersama sehabis ngantor, eh malah mengantar Agni ke mana-mana.

Ben mati kutu karena Cori menolak semua persuasi permintaan maaf yang ia lancarkan. Maka Ben akan melakukan segala cara juga untuk membuat Cori bicara lagi padanya. Begini cara Ben.

"Saya aja yang antar, Pak Yusuf," celetuk Ben. "Sekalian saya ikut bantu periksa."

"Boleh, boleh. Pas banget, dong. Mata jeli auditor memang diperlukan untuk mencari kesalahan pembukuan di Unit Batu Besar," wajah Yusuf langsung ceria.

"Tapi Pak, Cori bisa sendiri. Diantar sama Pak Yusep aja pakai mobil kantor. Nggak perlu ditemenin Pak Malik."

"Udah, pergi kalian sana. Semakin lama tertunda, kita nggak pulang-pulang, lho, Cori. Udah pukul setengah tujuh, ini."

Cori terpaksa menuruti titah Yusuf. Ben berselebrasi diam-diam.

Si Gadis Ketumbar hanya bisa pasrah melakukan perjalanan sepuluh kilometer ke Batu Besar dalam keadaan super canggung, sebab ia tidak berniat sama sekali membuka suara. Kalau pun Ben bertanya, jawaban yang didapat singkat, padat, dan to the point.

Tapi Ben tidak mau menyerah membuat Cori bicara. Misalnya, dengan melempar pertanyaan sensitif ini.

"Kamu sudah tahu siapa Agni, kan?"

Pertanyaan ini memantik sesuatu dalam diri Cori. Namun, ia mati-matian meredam gejolak aneh yang terus muncul bila nama Agni berada di tengah mereka.

"Tim legal, kan?"

"Maksudku, 'siapa' dia untukku dulu."

"Mantan calon istri?" jawab Cori tanpa ragu. Sejujurnya, Ben meringis mendengar tegasnya suara Cori. Seakan-akan, kalimat tadi tidak memiliki arti penting.

"Ya."

"Abang mau balikan lagi sama Mbak Agni? Udah dikasih restu tuh, sama Pak Yusuf."

Ben mendelik tidak senang pada lawan bicaranya. "Kok malah Pak Yusuf yang kasih restu?"

"Mana aku tahu?"

"Ck! Pak Yusuf nggak tahu-menahu soal aku dan Agni." Pria itu berusaha melihat ekspresi wajah tetangganya di temaram cahaya lampu jalan, tapi yang ia dapati hanya bayangan pipi Cori yang menggemaskan. "Dan enggak. Aku enggak balikan sama Agni."

Cori mengangkat bahunya samar. "Bukan urusanku."

"Kamu ... nggak suka aku balikan dengan Agni?" Ben mencoba berjudi dengan sesuatu tak berwujud bernama: perasaan.

"Kenapa tanya aku?" Cori tak dapat menahan suaranya yang sedikit melengking. Sedetik kemudian, ia menyesal.

"Aku mau tahu pendapat kamu, Coriander."

"Eh, udah sampai," ucap Cori cepat-cepat.

Ben membelokkan si Brio putih ke dalam halaman bangunan Unit Batu Besar dan menahan diri untuk tidak tersenyum lebar. Ia yakin pertanyaannya tepat sasaran.

Butuh waktu 20 menit bagi Cori dan Ben menemukan di mana letak kesalahan perhitungan kasir. Mereka membongkar semua kertas transaksi hari ini, menghitung uang masuk, sampai mengecek CCTV.

"Jadi lain kali hati-hati, ya, Mbak Hilda. Lebih teliti memberi uang pada nasabah," ujar Ben. "Kalau perlu hitung dua kali, walaupun nominalnya hanya ratusan ribu."

"Baik, Pak," Hilda mengangguk malu.

Cori bersyukur, akhirnya sumber kehilangan terpecahkan karena Hilda salah hitung dan memberi nasabah dua kali lipat uang pinjaman. Si nasabah sendiri syukurnya mau kembali ke kantor dan mengembalikan uang yang berlebih karena memang tempat tinggalnya masih berdekatan dengan kantor. Kalau kata nasabahnya, ia memang belum hitung uangnya sejak keluar dari Unit Batu Besar.

Lihat selengkapnya