Ben & Cori

Steffi Adelin
Chapter #24

24. Undangan Sarapan di Pasar Mega Legenda

Kelopak matanya sudah menempel erat. Sebentar lagiiii saja, Ben yakin sudah berlayar di alam mimpi, tapi sebuah nada dering khusus menggema di kamarnya yang gelap, membuat rasa kantuk menghilang dengan lesap. Sebab, ia tahu, seseorang yang menelepon itu sangat penting, walaupun jarum pendek sudah menunjuk angka sebelas di jam dinding.

Ben menempelkan ponselnya ke daun telinga.

“Halo, Bun.”

"Untung kamu belum tidur."

"Memangnya ada apa, Bun?"

"Boni."

"Boni kenapa, Bun?!"

Ben langsung duduk dari pembaringannya. Ia tidak menyembunyikan nada sarat akan kekhawatiran meski belum tahu khawatir untuk apa. Mereka hanya hidup bertiga. Popy dan Bonita akan selalu menjadi prioritas Ben.

"Ndak usah cemas begitu. Boni baik-baik aja."

Ben mendesah lega. "Ben pikir dia kenapa-kenapa."

"Surat tugas Boni ke Batam sudah keluar. Yeeey, akhirnya bisa bertemu anak Bunda yang hilang."

Ben mendengkus geli. Ada alasan mengapa Popy menyebut Ben anak hilang. Ben jarang pulang, dan Ben tidak akan membantahnya.

"Maaf, Ben memang belum bisa ambil cuti. Tahun ini aja Ben belum dapat celah untuk pulang. Jadwal pemeriksaan lagi padat, Bun. Apa lagi di Kepri kantornya tersebar di pulau-pulau. Lebih melelahkan daripada di darat." Si anak lelaki malah curhat.

Tidak berdosa kok seorang lelaki mengeluarkan keluh kesah. Bukan berarti ia lemah. Kadang kita sebagai manusia hanya butuh didengar ketika ingin mengeluarkan uneg-uneg, tidak melulu soal solusi, walaupun ya ... lelaki memang diciptakan Tuhan sebagai makhluk solusi.

Malam ini, Ben berubah menjadi anak laki-laki ketimbang seorang pria dewasa yang sudah matang di depan ibunya.

"Nggak apa-apa, Nak. Bunda ngerti. Yang penting kamu enjoy sama kerjaan kamu. Bunda nggak pernah nuntut macem-macem, Ben."

Ben menarik kedua garis senyumnya ke kiri dan ke kanan. "Makasih, Bun. Jadi kapan Bunda dan Boni berangkat?"

"Besok."

"Apa?! Nggak terlalu mendadak?"

"Bunda, sih, ikutin Boni. Setelah Boni dapat surat perjalanan dinas, Bunda langsung beli tiket, dong. Nggak sabar soalnya." Popy terkekeh.

Mendengar suara Popy begitu bahagia, tidak ada hal lain yang Ben cemaskan. Itu yang terpenting. Ben begitu menyayangi bundanya.

"Tapi lusa Ben dinas ke luar pulau, Bun."

"Beneran?" Popy terdengar terkejut.

"Iya."

"Nggak apa-apa. Ketemu sebentar sebelum kamu berangkat dinas aja Bunda udah senang. Yang penting Bunda bisa ketemu sama si Sabeni ini."

Ibu dan anak itu tertawa lepas. Sabeni adalah panggilan yang disematkan teman-teman SMA-nya dulu. Meski demikian, Popy suka memanggil anaknya Sabeni sesekali. Untuk lucu-lucuan.

Dan setelah sepuluh menit bertukar kabar, panggilan berakhir dengan ucapan salam dan selamat tidur.

Ben jadi tergelak sendiri. Malam ini ia ditelepon dua orang tua. Seakan kini Ben telah memiliki orang tua lengkap, walaupun orang tua yang satunya lagi seperti setengah memarahinya tadi. Tidak mengapa. Itu tandanya ia telah dianggap anak oleh beliau. Demi Tuhan, mereka bahkan tidak memiliki hubungan darah.

Dan orang tua yang lain itu adalah Sudjana. Entah sejak kapan Ben menganggap Sudjana adalah orang tuanya sendiri.

Baiklah, mari kita runut sejak Ben berkata, Aku sudah berjanji mengantarkan Cori dalam setengah jam.

Ben telah berjanji pada Sudjana untuk mengantar anaknya pulang secepat mungkin dengan aman. Sebelum berjanji, Ben harus melewati serangkaian kata-kata ‘mutiara’ dari Sudjana yang merunjam jantungnya meski melalui sambungan telepon.

Misalnya, Astaga! Kalian masih di luar?! Ngapain malam-malam berdua saja? Cepat antar anakku pulang!

Lalu ada juga kata-kata seperti, Papa tahu kalian berdua sudah sama-sama dewasa dan bisa menjaga diri, tapi tetap saja, yang ketiga adalah setan. Tidak baik berdua-duaan sampai malam, Nak. Demi Tuhan, Coriander adalah anakku satu-satunya. Jaga anakku, Benjamin! Telepon Papa kalau sudah sampai di rumah. Bukan. Bukan telepon. Tapi video call bersama putriku.

Lihat selengkapnya