Pagi ini Cori bisa bernapas lega karena dua orang yang membuat otaknya kepenuhan kapasitas sedang tidak ada di kantor ini.
Yang pertama si Tetangga nomor empat. Ia sedang memeriksa unit daerah Muka Kuning. Yang kedua si Mantan. Agni juga tidak datang ke kantor karena ia dan rekannya sedang di pengadilan mengurus kasus salah satu karyawan PT. Sejahtera Bersama.
Cori jadi bisa berkonsentrasi melayani nasabah tanpa diintervensi pikiran-pikiran aneh tentang eksistensi dua manusia semalam.
Tentang Agni yang terang-terangan menunjukkan kedekatan dan kemesraannya pada Ben di depan Cori. Ganjilnya, yang Cori saksikan justru respon Ben yang begitu canggung. Ben seperti terganggu dan sangat tidak nyaman.
Mereka bukan urusanku! Itu mantra yang berulang kali Cori patrikan dalam kepalanya.
Tapi kalau Cori pikir-pikir lagi, Agni seperti sedang memamerkan sesuatu padanya. Seperti tingkah polah perempuan yang sedang ... bersaing? Ia tergelak sendiri dengan gagasan ini. Mana mungkin? Cori sadar diri dengan kegempalan tubuhnya. Mereka sangat tidak apple to apple untuk disisikan berdua. Agni salah target. Mungkin, ini hanya perasaan Cori saja.
Dan tentang Ben yang semakin hari semakin manis. Sikapnya, tutur katanya, sampai cara Ben memperlakukan dirinya. Apalagi pujian pada masakannya, ajakan makan di luar yang semakin sering, dan senangnya Ben duduk di terasnya, seakan-akan teras itu hak milik Ben saja. Cori pusing dengan kemanisan itu. Bisa-bisa ia terkena diabetes. Diabetes yang berbahaya bagi kesehatan hatinya.
Katanya tidak mau membahas Agni dan Ben. Kenapa pikiranmu masih dipenuhi oleh mereka berdua, Cori?
Cori meringis atas keplin-planannya.
Baiklah. Cori akan menutup akses laci-laci memori mereka dan mulai memikirkan hal lain. Misalnya, lirikan maut Winnie yang membuatnya merinding.
Tatapan Winnie seolah bisa menembus isi kepala dan isi hatinya. Setiap satu nasabah selesai, Winnie kembali menatap Cori. Begitu pola repetisinya sejak beberapa menit yang lalu.
Lama-kelamaan yang ditatap makin gerah!
"Win, nggak capek noleh ke gue tiap menit?"
"Enggak bakalan capek sebelum lo press conference ke gue, Kak. Gue bakal setia menunggu," jawab Winnie sok yakin.
"Apanya yang mau gue klarifikasi ke elo?"
"Se-mua-nya. Seperti, bagaimana lo bisa sarapan bareng sama Bapak Malik ganteng tapi kayak kulkas?"
"Ganteng tapi kayak kulkas?" ulang Cori geli.
Cori tertawa ringan, lumayan melemaskan ketegangan sarafnya setelah kepergok Winnie saat sarapan tadi. Iya. Winnie, dari semua kru kantor Cabang Mega Legenda.
"Iya. Dia tipe manusia yang bikin gue ogah deketin dia. Gue nyesel nilai Pak Malik dari tampang doang."
"Kenapa?" Ini informasi baru untuk Cori. "Dia baik, kok, aslinya."
"Mana ada? Orangnya jutek, ngomongnya nggak jauh-jauh dari SOP, peraturan pusat, dan surat edaran. Kan, bete lama-lama ngobrol sama dia."
"Masa, sih?" Sisi lain Ben di tempat kerja ternyata sangat berbeda dengan Ben di luar kantor.
"Iya. Sumpah ngeselin."
Cori terkikik geli.
"Tunggu dulu, deh!" Winnie mengangkat tangannya.
"Apa?"
"Gara-gara Kak Cori, nih, obrolan kita jadi melenceng jauh. Kak, mending sepil aja deh. Kenapa lo bisa sarapan berdua sama si Auditor Kulkas?"
Si Penaksir memutar bola matanya. Ternyata Winnie masih menuntut jawabannya. Baiklah, ia akan bercerita. Sedikit.
"Kami sama-sama datang kepagian. Terus karena Pak Malik belum sarapan, dia ajakin gue." Cori tidak berbohong pada frasa 'ajakin gue'.
Winnie menyipit selama beberapa detik. Dari wajahnya saja, si Kasir tidak percaya sama sekali.
"Kak, semua juga tahu kalau Pak Malik ogah makan bareng sama orang yang dia nggak kenal dekat, kecuali sama Buk Farida dan Mbak Agni."
Ya iya, lah. Agni mantan calon istrinya, Win. Cori mencebik dalam hati.
"Lo pikir aja, Win. Ngapain Pak Malik ngajak makan sembarang orang?"
"Nah, itu dia. Berarti lo bukan orang sembarangan buat Pak Malik." Matanya yang menyipit makin tipis hingga tinggal segaris.
Jedeeer!
Cori termakan ucapannya sendiri.