Pulang kerja, Cori langsung ke daerah Nagoya untuk mencari keberadaan toko roti Romaine Bakery. Tidak sulit menemukannya karena bangunan ruko dua tingkat itu terletak di pinggir jalan utama dan terlihat berbeda dari bangunan di kiri dan kanannya.
Modern. Elegan. Harum. Ramai.
Empat kata itu cukup untuk menggambarkan keadaan Romaine Bakery sore ini. Cori hanya berdiri di halamannya, mengamati tanpa berniat untuk berkunjung. Setidaknya untuk hari ini. Barangkali nanti, kalau hatinya sudah siap bertemu lagi. Misalnya, berpura-pura membeli roti tawar?
Perempuan tua itu sedang mondar-mandir di depan etalase bening berisi berbagai macam roti dan kue-kue menggiurkan, membuat Cori meremas tali kecil ranselnya.
"Mama ...." lirihnya sendu.
Usianya sudah 27 tahun, usia yang dianggap cukup matang untuk bisa memroses masa lalu buruk menjadi sebuah pelajaran berharga dan hidup berdampingan dengannya dengan perasaan nyaman.
Tapi mengapa melihat mamanya hidup dengan baik membuat hatinya sakit? Ada bagian dirinya yang tidak mau menerima kebahagiaan Mutia dengan anaknya yang entah di mana. Jiwa kecilnya masih memberontak tidak terima dengan tindakan Mutia yang telah meninggalkannya sejak usia beberapa jam. Mengapa dirinya begitu tidak diinginkan sedangkan mamanya mempunyai anak dari laki-laki lain? Mengapa?
Sungguh, saat ini Cori sangat membutuhkan penjelasan paling logis atas kejadian bertahun-tahun silam. Sebab, jawaban yang ia dengar dari mulut mamanya saat itu terasa ... tidak masuk akal.
Andai ia tidak pernah mencuri dengar fakta apa pun mengenai sejarah kelahiran dirinya. Terkutuklah rasa keingintahuannya yang tinggi!
Cori mundur perlahan, menjauhi Romaine Bakery yang makin mengabur dari pandangannya. Justru memori menyakitkan itu kian menajam ketika ia benar-benar meninggalkan toko roti Mutia Adnan.
Usianya saat itu baru 19 tahun. Cori datang ke restoran Sudjana dengan hati meledak saking gembiranya karena ingin berbagi kebahagiaan lulus sidang skripsi yang baru selesai dua jam yang lalu. Masih dengan kemeja putih dan rok hitam, menenteng bunga kelulusan dari teman-temannya, tas ransel berat berisi beberapa literatur, dan skripsi tebal hasil kerja kerasnya beberapa bulan terakhir.
Cori langsung diarahkan oleh asisten Sudjana ke lantai dua karena si pemilik restoran sedang menerima tamu. Baiklah. Dia akan sabar menunggu papanya selesai demi kabar baik ini.
Ketika sampai di lantai dua, suara dua orang yang sedang beradu argumen memenuhi ruangan senyap itu hingga sampai ke rungunya, membuat Cori tertarik untuk mendengar lebih. Sebab, ia mengenali salah satu suara yang sedang meninggi: suara Sudjana.
Kakinya tanpa diperintah membawa diri ke depan pintu Sudjana yang tak tertutup rapat. Dan apa yang Cori dengar setelahnya membuat cerita indah Sudjana tentang Mutia yang telah dibangun sedemikian rupa, runtuh seketika.
***
"Bun, Ben belum bisa pulang. Pak Deputi kenapa lama sekali bicaranya?"
Ben mengomel sambil berbisik, membuat Popy terkekeh di teras rumah anaknya.
"Jangan pikirin yang macem-macem. Rapat aja yang bener. Ketahuan ngedumel bahaya, Ben. Nggak hormat juga sama pimpinan namanya."
"Tapi Ben mau temenin Bunda. Besok pagi Ben udah berangkat ke Natuna, Bun. Natuna. Lima ratus kilo dari Batam."
"Bunda tungguin. Bunda nggak akan tidur sebelum kamu pulang."
"Janji ya, Bun?"
"Iya, iya. Ini anak." Popy tertawa kecil. Lalu matanya menangkap sesosok perempuan berjalan seperti siput sambil menunduk mendekati rumah nomor lima. "Ben, anaknya Djana itu yang tinggi, badannya gemuk, rambutnya panjang?"
"Cori baru pulang?!" Ben terdengar lumayan kaget bagi pendengaran Popy. "Udah pukul delapan malam lho ini. Pantesan tadi Om Djana nelepon Ben. Soalnya ponsel Cori nggak aktif."
Popy menelengkan kepalanya menatap Cori yang semakin dekat dengan teras rumahnya.
"Itu anak kok Bunda lihat murung banget? Mirip Boni waktu diputusin pacarnya yang terakhir itu," lapor Popy ke anaknya.
"Cori kenapa, Bun?!" Suara Ben otomatis berubah khawatir, membuat Popy bertanya-tanya. "Nanti Ben telepon dia aja. Bun, udah dulu ya. Kayaknya ceramah Pak Deputi hampir selesai."
"Iya. Hati-hati pulangnya."
"Siap, Bunda."
Klik.
"Nak," panggil Popy cepat. Sebab Cori hampir saja masuk ke rumahnya.
Ketika berbalik, Cori menemukan seorang perempuan paruh baya berhijab mendatanginya dengan tersenyum. Ia sedang menerka-nerka, kenapa senyum ibu itu mirip senyum tetangganya?
"Ya, Bu?"
"Kamu Cori, kan? Anaknya Djana?"
"Ibu kok tahu ...." Kalimatnya menggantung di udara.
"Saya Bundanya Ben. Baru datang tadi siang."
Rasa penasaran Cori terjawab sudah. Cori langsung mencium punggung tangan Popy.