Ben & Cori

Steffi Adelin
Chapter #27

27. Langit Natuna

Hari Minggu kelabu.

Bukan cuacanya yang kelabu, tapi hati seorang gadis yang sedang merana dirundung lara.

Cori baru saja selesai mengadu pada Tuhan selepas salat Subuh. Ia tidak sanggup menanggung bebannya sendirian.

Mau mengadu pada Sudjana? Tidak. Ia tidak mau. Cori begitu menyayangi Sudjana. Cori tidak mau Sudjana tahu wanita yang dicintai papanya hidup bahagia. Dan ia juga tidak mau Sudjana tahu wanita jahat yang meninggalkan mereka berdua hidup berdekatan dengan putrinya. Demi Tuhan. Perempuan itu telah menyakiti papa tersayangnya.

Sudah cukup ia membebani papanya dengan berita batal menikah. Karena Cori yakin, bila kabar ini sampai ke telinga Sudjana, papanya kembali ‘berlari’ ke Batam dalam kubangan kekhawatiran.

Tiba-tiba, satu wajah dengan senyum menawan muncul di benaknya. Wajah yang begitu murung ketika berpamitan padanya sebelum berangkat ke Bandara Hang Nadim.

Tidak. Ben juga tidak boleh tahu. Cori ... belum siap membuka kebenaran dirinya di depan pria itu. Ya, mengadu pada Tuhan adalah jalan terbaik.

Menjalani hari seperti biasa setelah menemukan toko Romaine Bakery tidaklah mudah. Setiap langkah, setiap helaan nafas, membuat trauma merasa ditinggalkan kembali menguasainya. Rasa tidak diinginkan mengerubungi jiwanya hingga membuat ia tak bisa bernapas dengan benar.

Apa ada mantan mama? Atau ... mantan anak? Andai Cori bisa membuat status itu. Masalahnya, ia lahir ke dunia lewat rahim Mutia. Rambut lurusnya berasal dari Mutia. Kepintarannya juga menurun dari Mutia. Apa ia mesti bersyukur atas semua kebaikan yang ada pada dirinya?

Mukena dilepas. Ia rebahkan dirinya di atas sajadah, menutup mata, dan mencoba melupakan nasib jeleknya barang sebentar. Namun, dua kata yang ingin ia lupakan kembali terngiang.

Anak haram.

Cori telah mengubur istilah itu dalam-dalam di suatu sudut lkotak memorinya dan membuang kuncinya. Cara Cori menguburnya adalah dengan makan, bekerja di dapur papanya sampai mampus, makan lagi, dan mulai bekerja di PT. Sejahtera Bersama. Ditambah, sedikit banyaknya l Arga cukup membuatnya memliliki harapan untuk diterima lagi sebagai manusia normal, walaupun sesudahnya Arga pula yang menghempaskan harapan itu.

"Haaah."

Mata gadis itu memanas, membuat kerongkongannya tersumpal kenyataan busuk. Lama-kelamaan ia terisak, menumpahkan kesedihan yang terpendam melalui linangan air mata yang membasahi sajadah.

Suara ponsel menggema di kamar, ikut membersamai tangisan diamnya. Cori memaksa tangannya meraih gawai di atas nakas.

"Bang Ben video call?"

Cepat-cepat Cori duduk dan hapus sisa-sisa menyedihkan di wajah bengkaknya. Kemudian sedikit sentuhan sisiran jari di rambutnya yang kusut masai. Setelah berdehem, mengatur raut wajahnya sedemikian rupa, gadis itu menggeser tombol hijau.

Yang muncul di layar Cori bukan wajah Ben, tapi pemandangan menakjubkan yang langsung memanjakan mata sembab Cori: langit Natuna yang sedang memerah di balik bongkahan batu-batu amat besar yang tersebar sejauh mata memandang.

"Indah, ya?" kata suara itu.

"Iya." Sangat indah, ulangnya dalam hati.

"Kamu pernah ke Natuna?"

"Belum."

"Kalau begitu, suatu saat nanti aku mau ajak kamu ke sini. Menikmati sunrise di awal hari, lalu menjelajahi pantai dengan batu-batu granitnya yang sangat besar. Makan latoh silong di tepi pantai, lalu wisata kuliner seafood sampai perut begah. Kemudian menikmati apa pun yang kita temui selama dalam perjalanan. Terakhir, kita akan menutup hari dengan sebuah sunset megah di tepi pantai," urai Ben sepenuh hati.

Kita. Terdengar sangat indah, bersit Cori.

Dan kalimat itu terus Cori ulangi hingga tak sadar, bibirnya menyunggingkan seulas senyum tipis selama beberapa detik, dengan hati diremas pedih.

Ada apa dengan 'kita'? Apa Ben mulai memasukkan dirinya dalam rencana-rencana hidupnya? Apa dirinya mulai penting bagi Ben? Tapi, tubuh gendutnya bagaimana? Apa kata Ben kalau tahu ia lahir di luar nikah? Nasabnya tidak segaris dengan … Sudjana.

Karena Cori tak jua bersuara, Ben memutuskan mencari wajah yang ia rindu sejak menjejak di Ranai, ibukota Kabupaten Natuna. Dan yang Ben temukan adalah ....

"Cori, kamu ... menangis."

"A-apa?"

Lihat selengkapnya