Ben & Cori

Steffi Adelin
Chapter #28

28. Rutinitas Baru

Seorang wanita cantik berjalan masuk dengan anggun, percaya diri, dan senyum menawan, membuat semua orang yang ada di ruangan pelayanan PT. Sejahtera Bersama Cabang Mega Legenda menatap tanpa putus. Ada yang mengagumi dalam diam, ada pula yang tak segan memuja dengan gumam.

Wanita itu adalah Agni Paramitha.

Agni menikmati puja-puji itu. Ia sudah terbiasa membawa kecantikan alaminya untuk memesona orang lain, membuat pukau di mata lelaki, atau pun wanita, baik muda maupun tua. Bahkan Ben tergila-gila padanya, memuji betapa cantiknya dia, dan ingin memiliki Agni dengan mengikat dirinya pada sebuah pernikahan nan sakral.

Sayang, Agni merasa kecantikannya bukan untuk dikekang. Agni masih ingin dipuja oleh semua orang. Agni masih ingin mendapatkan perhatian tak hanya dari kekasihnya—yang hanya berharap dari Ben saja puja itu datang, hanya untuk Ben saja keelokan itu ditujukan—tapi dari semua makhluk bumi. Ben tidak boleh melarangnya.

Itu dulu.

Sekarang, setelah perpisahan itu nyata, rasa kehilangan akan seseorang yang memuja dengan tulus semakin pekat. Agni ternyata masih mencintai pria itu. Namun, yang ia dapati, mata memuja Ben tidak lagi mengelukan keindahannya. Yang ada, mata Ben memuja seorang perempuan gemuk yang seolah-olah sedang tersenyum tulus pada nasabah yang sedang memberikan gelang emasnya. Mata Ben seakan takluk pada sosok menggumpal yang dilihat beratus kali pun, jauh dari kata menarik, cantik, anggun yang tak seperti dirinya tentunya.

Lihat-lihat, tidak ada pinggang karena tertutup lemak. Lengannya demi Tuhan, seperti betisku. Dan ... ya ampun. Itu paha, atau bongkahan lemak? cebik Agni di kepalanya.

Agni melewati Cori dengan sorot mata mencemooh kemudian ia berlalu dengan kepala penuh rencana untuk membawa kembali Ben ke dalam pelukannya.

Sementara itu, Cori tidak menyadari sorotan mata merendahkan itu. Sebab, ia dan Winnie masih berkutat dengan pekerjaan mereka di meja front liner.

"Terima kasih telah bertransaksi dengan kami, Bapak Junaedi," ucap Winnie sebagai salam penutup pada nasabah terakhir hari ini.

"Sama-sama, Mbak."

Dengan keluarnya Bapak Junaedi, Tonggo si sekuriti shift pagi menutup rolling door pertanda jam pelayanan berakhir, sehingga menahan calon nasabah baru agar tidak masuk ke dalam.

Cori dan Winnie serempak menghempaskan punggung mereka ke sandaran kursi setelah menghadapi bertubi-tubi nasabah hari ini. Keduanya seakan sedang melambaikan tangan ke kamera pertanda menyerah.

"Kak, gue mau pipis. Udah nggak kuat lagi nahan dari tadi. Nasabah datang terus, sih."

Cori meringis prihatin dan mengusir Winnie dengan lambaian tangannya. "Iya. Pergi sana."

Cori capek. Punggungnya nyeri, pantatnya pegal, dan semua otot tubuhnya kaku. Tapi jika laporan-laporan ini tidak segera diselesaikan, ia sendiri tidak akan tenang dibuatnya. Maka dari itu Cori putuskan untuk memaksa jemarinya bergerak di depan komputer merekap pekerjaan hari ini.

Suara getar ponsel yang berasal dari dalam laci otomatis mengalihkan perhatiannya seketika. Tidak peduli dengan tumpukan pekerjaan yang menunggu maupun tubuh yang pegal, Cori meninggalkan keyboard dan buru-buru meraup si gawai agar getarnya segera berhenti dan mendengar suara yang dirindukannya.

Sudah berhari-hari ia begini gara-gara sebuah panggilan telepon!

"Abang," bisiknya girang pada si telepon genggam.

"Hai. Sudah tutup layanan?"

"Baru aja."

"Aku punya kabar buruk. Dan aku. Tidak. Suka."

Seluruh indra Cori menjadi waspada gara-gara Ben.

"Kabar buruk apa?"

"Urusanku di sini diperpanjang sampai dua hari."

Cori membayangkan wajah tampan Ben berubah cemberut ketika sedang bicara.

"Ya Tuhan. Cuma dua hari Abang. Enggak sebulan, kan?" ujarnya santai.

Padahal, ada secuil rasa tak rela hinggap membayangkan pemilik rumah nomor empat baru akan datang dua hari lagi. Demi Tuhan. Hampir seminggu ia tak bertemu Ben.

"Dua hari rasa dua tahun, Cori."

Mau tak mau Cori terkekeh. Ben seperti anak kecil!

"Abang terlalu berlebihan."

"Enggak. Ini terlalu lama. Bapak Pimpinan Wilayah Pekanbaru sedang dalam perjalanan karena mau meninjau lokasi pembukaan unit baru. Buk Farida memintaku untuk tetap di sini sampai beliau datang." Desahan Ben menutup uneg-uneg panjangnya.

"Sabar. Nikmati Natuna selagi Abang masih di sana."

Lihat selengkapnya