Setelah membeli baju couple, lidah Ben seperti terlilit kabel telepon, membuatnya hanya akan bicara seperlunya. Cori jadi keder. Maka dari itu, ia membawa Ben makan malam sup tulang sapi di Rumah Makan Cirebon supaya mood-nya membaik. Justru setelah kenyang, si tetangga lima langkah makin diam sejuta bahasa bahkan saat si Brio putih sudah di jalan menuju perumahan Nuri 1.
"Bang, kenapa bete terus mukanya? Aku buat Abang kesal, ya?"
Ben menoleh, sedetik kemudian matanya kembali ke jalan.
"Kamu mau pamer ke Arga kalau udah move on dengan datang ke pesta pernikahan mereka?" tanyanya tiba-tiba.
Aah, masih soal ini. Cori menghela napas lega. Ia pikir soal apa.
"Iya."
Kening Ben mengusut seketika. "Kamu mau tunjukkin ke dia kalau kamu sudah dapat pengganti dengan memakai baju yang serasi denganku?"
"Tentu."
"Kamu cuma manfaatin aku untuk balas dendam atau semacamnya, kan?"
Cori menyerong, mencari sesuatu pada Ben di temaram mobil. Yang ia dapati buku tangan Ben memutih di setir.
"Astaga. Abang mikir kejauhan. Ya enggak, dong. Untuk apa balas dendam? Nggak ada gunanya."
Ben membuka jendela, menghirup udara malam dan menjernihkan pikirannya dari gagasan menyebalkan: Cori masih menyukai mantannya.
"Cori, aku nggak mau kamu datang hanya karena mau pamer sudah move on. Kamu pikir aku ikhlas jadi pasangan bohongan kamu ke pesta Riri?" geram Ben.
"Pasangan bohongan?"
"Ya apa lagi kalau bukan bohongan? Sampai detik ini kamu nggak memberiku jawaban apa pun, Cori. Sudah seminggu kamu buat aku frustasi menunggu tanpa kejelasan!"
Mungkin, inilah kesempatan yang Cori tunggu-tunggu. Ia hendak menjawab keresahan pria malang itu ketika bunyi ponsel Ben menginterupsi momennya.
Pria itu kesal pada siapa pun yang meneleponnya. Orang itu telah mengganggu pembicaraan pentingnya. Ah, segala hal mengenai Cori menjadi sangat penting bagi Ben! Ben terpaksa membawa si Brio putih ke bahu jalan dan menarik tuas rem tangan, sebab ponselnya tak menunjukkan tanda-tanda mau berhenti.
Setelah melihat siapa yang menelepon, Ben langsung dihujani rasa penyesalan. Ia tidak boleh kesal padanya. Justru Ben sangat menghormatinya.
"Papa nelepon," gumam Ben.
Dua manusia itu saling melempar tatapan penuh tanda tanya.
"Jawab, gih."
Ben mengangguk.
"Halo, Pa."
Cori mengulum senyum. Entah sejak kapan pria ini nyaman dengan panggilan ‘papa’ pada papanya. Anehnya, ia menyukainya.
"Ben, masih bersama anakku? Hampir pukul 21.00, Nak," sembur Sudjana to the point.
"Masih, Pa. Kami lagi di jalan mau pulang. Maaf kami pulangnya kemalaman."
"Hati-hati nyetirnya. Antar anak Papa pulang selamat sampai rumah."
"Baik, Pa."
"Walaupun Cori sudah memutuskan untuk menerima kamu sebagai calon suami, tapi kalian belum menikah. Jangan berbuat macam-macam kalau belum halal!" peringat Sudjana.
Mata Ben membelalak. Berita ini membuat jantungnya berdebar kencang. Ia langsung mencari bola mata Gadis Ketumbarnya.
"Jadi Ben sudah diterima, Pa?" tanya Ben pada Sudjana, tapi matanya tak berpaling dari gadis yang sedang tersenyum lebar padanya. Ben segera mengambil tangan Cori dan menyelipkan jemarinya di antara jemari Cori.
"Bang!" Cori mendesis kaget. Tangannya dipenjara dengan genggaman yang kuat dan lembut di saat yang sama, membuatnya tak bisa ke mana-mana, dan jantungnya berdebar semena-mena.
"Lho, Cori belum cerita, tho? Bagaimana, sih, kalian? Komunikasi itu penting. Masa hal sebesar ini nggak dibicarakan dengan terbuka? Nanti Papa tatar anak itu."
Tangannya yang bertaut dibawa ke dada Ben. Kencangnya detak jantung Ben merambat ke kulit tangannya. Ah, jantung Cori ikut-ikutan berdebar kuat.
"Mungkin Cori memang belum kasih tahu Ben, Pa." Wajah Ben rileks serileks-rileksnya. Ben tak berniat menahan senyum dan mengerling pada si Gadis Ketumbar.
"Jadi Ben, tolong jaga anak Papa, ya?"
"Baik, Pa."
"Papa minta jangan lama-lama, ya, Ben. Lebih baik disegerakan nikahnya. Nggak bagus pacaran lama-lama sementara kalian jauh dari orang tua dan belum sah di mata agama dan hukum."
"Baik, Pa. Akan Ben bicarakan dengan Cori dan keluarga Ben."
"Bagus."
Lima menit setelah dua laki-laki itu bicara, sambungan telepon berakhir dengan senyum mengambang di bibirnya.
"Cori ...."
"Ya?"
"Kamu itu, ya!"
Cori tertawa lepas. Dan tawa itu menular bagai virus membuat Ben ikut tertawa di sampingnya.
Sambil mengeratkan genggamannya, Ben berkata, "Terima kasih."
Si Gadis Ketumbar mengangguk.
"Jadi Abang percaya kan, kalau kita bukan pasangan bohongan? Soalnya aku memang mau pamer ke seluruh dunia bahwa sekarang aku adalah calon istri Benjamin Malik Adriansyah."
Ben membawa punggung tangan kekasihnya ke bibir dan membiarkannya di sana selama beberapa detik.