"Wiiih, ada kue, nih," teriak Moza kesenangan.
"Dikasih nasabah, Mbak," jawab Winnie.
Ujug-ujug, Moza baru pulang dari survei lapangan dengan segala analisisnya terhadap Cori di jalan tadi dan menemukan berbagai macam kue dan kukis di meja. Beruntungnya Moza!
"Eh, ada amplop. Beneran, nggak gratifikasi?"
Winnie dan Cori serentak menoleh ke belakang dan menemukan Moza sedang membuka selembar kertas berwarna hijau toska.
Cori mendekati Moza perlahan, sebab amplop tersebut berasal dari tas kertasnya.
"'Dear, Cori. Namamu membuat saya terinspirasi untuk memadupadankan ketumbar, jeruk, dan butter. Maka dari itu, saya menciptakan Orange Coriander Cookies yang cocok dinikmati dengan secangkir teh melati. Semoga semua kue dan kukis ini membuat harimu menyenangkan.
PS: Jangan lupa tersenyum hari ini – MA.'"
Diam-diam, Cori menggigit bibir dalamnya demi menahan perasaan yang membuncah. Cori ingin berteriak histeris ke seluruh dunia bahwa ia baru saja dibuatkan kue dengan nama Orange Coriander Cookies. Namun, hatinya langsung diliputi kesedihan di saat yang sama ketika sadar bahwa tadi ia berlagak tidak mengenali mamanya dan Mutia sendiri tidak mengenalinya. Desakan air mata membuat pandangannya mulai mengabur.
Perasaan, gue nggak nemu amplop apa pun di dalam tas yang dikasih Bu Mutia, batin Winnie.
Segera Winnie bongkar isi tas kertasnya. "Kan, enggak ada," gumamnya lirih.
"Sini Za, suratnya punya gue." Cori merebut surat tadi dan membacanya dalam diam sambil menahan haru.
"Santai, dong!" Moza mencomot kue ketumbar dan menggigitnya seujung gigi. "Enggak enak. Rasanya aneh." Sisa kue tadi langsung mendarat ke dasar tong sampah.
"Lo nggak menghargai makanan, Moza!" bentak Cori. Sontak membuat semua pasang mata tertuju pada si Gadis Ketumbar, termasuk Marzuki yang datang menenteng helm.
"Suka-suka gue. Jujur aja ya, kuenya nggak enak. Rasa ketumbar. Ew. Buat apa gue terusin makan?" Moza tidak peduli dan mencari kue yang lain. "Eh betewe, lo nggak usah makan yang beginian, Cor. Yang ada lo tambah gendut." Moza membuka segel toples kastengel mencomot satu. Kukis yang penuh dengan taburan keju parmesan.
Winnie melemparkan tatapan garang pada Moza dan memandang prihatin pada rekan front liner-nya.
Cori? Ia mengepalkan kedua tangan sekuat-kuatnya di sisi tubuh menahan amarah yang ... mungkin sebentar lagi bisa saja meledak hebat.
Sialan lo, Moza! Itu kue buatan Mama buat gue. Bukan buat lo!
Tapi sayang, kalimat itu hanya diteriakkannya di kepala.
"Astaga Moza! Kalau belum makan, lidah lo seringnya suka resek," timpal Marzuki kesal. Sejak tadi ia sudah kadung bete pada rekannya.
Kata-kata Marzuki hanya angin lalu buat Moza. Ia bahkan menganggap eksistensi Marzuki seperti bayangan. Ada tapi tiada.
"Eh tapi, gue penasaran. Kan elo gendut yah, Cor. Kok bisa-bisanya, sih, ngegaet Pak Malik? Resepnya apa? Bagi gue, dong."
Moza sepertinya tidak sadar telah mengusik ketenangan seekor singa betina yang siap menerkam siapa pun yang merisak teritorinya.
Kepalan tangan tadi kian gemetar hebat menahan emosi yang sebenarnya tidak ingin dia sembur. Tidak ada untungnya melawan Moza. Tidak ada kebaikan mengeluarkan kata-kata kasar pada manusia bebal seperti dia karena hanya akan meninggalkan bekas luka di hati. Tapi ... demi Tuhan. Kali ini Moza benar-benar sudah keterlaluan.
Cori sudah lama berusaha menahan lisannya agar tidak ada ‘gesekan’ tak perlu dengan rekan sekantornya. Ia berusaha bersabar dengan segala cemoohan dan hinaan Moza tentang tubuhnya. Terima kasih pada training perundungan yang membuatnya kuat sejak di SMA. Namun, tidak hari ini. Sebab, Moza telah menghina kue buatan mamanya dan dia juga membawa-bawa nama Ben!
Dengan tergesa-gesa, Cori mengumpulkan semua toples dan kue ke dalam tas dan memeluknya protektif, seakan tidak mau siapa pun merebutnya. Terutama oleh Moza.
"Itu kue yang dikasih Bu Mutia spesial buat gue. Lo bahkan nggak minta izin dan asal makan. Gue nggak ikhlas!"
"Hey! Lo apa-apaan, sih? Pelit." Moza kesal.
"Terserah lo mau bilang apa! Gue juga udah muak sama mulut lo, Moza."
Bergetar takut hati Moza sepersekian detik. Ia tak menyangka kalimat tajam barusan keluar dari mulut perempuan pendiam itu.
"Lo cuma bakal tambah gendut kalo habisin semua kue itu. Dasar nggak tahu diri," lawannya sok kalem demi meredam ketakutan kecil tadi.