Suhu kantor Sejahtera Bersama Cabang Mega Legenda berubah menjadi sedingin kulkas.
Tidak ada yang berani mengajak Cori bicara. Tidak ada yang mau menegur Moza. Kru yang lain lebih memilih mengerjakan pekerjaannya masing-masing atau menghindar sejauh-jauhnya dari gencatan senjata yang jauh lebih menakutkan daripada perang adu mulut.
"Win."
Winnie terlonjak kaget dari kursinya dan meremas blazer hijaunya kuat-kuat.
"I-Iya, Kak?"
"Ada yang bisa gue bantu? Kerjaan gue udah beres."
"Eng-enggak ada, Kak. Gue masih bisa handle sendiri."
Cori membuat Winnie over thinking dan merasa menjadi terdakwa kasus penipuan, padahal nada suara Cori begitu santai.
Yang Winnie saksikan kemudian, Cori menghempaskan punggungnya dan menghela napas lelah.
"Lo ... baik-baik aja, Kak?" tanyanya ragu.
"Enggak, lah, Win. Lelah hati, gue. Makanya gue minta kerjaan ke lo," ucap Cori tak bertenaga. "Biar kepala gue enggak meledak gara-gara kepikiran pertengkaran enggak penting tadi."
Diam-diam Winnie menghembuskan napas lega sekaligus iba. Hanya satu yang ingin Winnie lakukan.
"Kak, lo butuh pelukan gue, nggak?"
Akhirnya Winnie mendengar tawa kecil Cori. Walaupun dipaksakan, tapi raut wajah Cori tak lagi setegang yang tadi. Winnie benar-benar lega.
"Butuh banget." Dan Cori pun merentangkan tangannya lebar-lebar.
"Kakaaak ...."
Si Kasir merengek dan menyambut pelukan rekannya dengan rengkuhan super erat. Sesekali Winnie juga mengusap punggung Cori.
"Gue tahu apa yang lo rasain selama nugas di Cabang Mega Legenda, Kak," bisik Winnie. "Tapi gue nggak bisa berbuat banyak untuk bikin lo nyaman. Maafin gue ya, Kak."
Cori makin mengeratkan pelukannya.
"Makasih ya, Win. Kehadiran lo yang selalu bela gue udah lebih dari cukup, kok. Lo bikin gue masih bisa waras kerja di sini," balas Cori dengan bisikan yang sama.
Cori mengurai pelukannya yang nyaman. Aah, ternyata ini yang ia butuhkan dari tadi.
"Kak." Winnie celingak-celinguk seantero kantor. Dan setelah memastikan tidak ada yang akan menguping, dia mulai bicara. "Kata-kata Mbak Moza tadi ... beneran?" bisik Winnie.
"Gue gendut? Emang iya," ucap Cori santai.
"Elaaah. Bukan itu Kakak zheyenk."
Cori terkekeh. Ternyata, menertawakan diri sendiri tidak lagi terasa buruk. Cori merasa baik-baik saja sekarang.
"Terus yang mana?"
"Mas Arga dan lo. Kalian ... baik-baik aja, kan?"
Bibir Cori melipat jadi segaris sebelum menjawab. "Kami putus berbulan-bulan yang lalu."
Winnie kembali memberikan pelukan solidaritas sesama wanita selama beberapa saat.
"Kenapa, Kak? Kan kalian mau nikah."
"Ceritanya panjang banget, tapi versi pendeknya, udah nggak ada kecocokan di antara kami," ucapnya berlagak sombong seperti selebritis di televisi. Cori tidak berniat menceritakan kejadian yang sebenarnya.
"Trus kalau Pak Malik?"
"Kenapa dengan Pak Malik?"
"Kakak beneran ada sesuatu sama beliau?"
"Sore."
Dua sosok saudara beda ayah dan ibu itu menoleh pada seseorang yang baru masuk, yang menjadi salah satu sumber masalah pertengkaran yang tak seimbang tadi. Sudah jelas tidak seimbang karena Moza telah kalah sejak awal. Siapa pun bisa melihatnya.
"Bang, enggak capek dari Belakang Padang langsung ke kantor?"
"Bang?!" Winnie tidak repot-repot menyembunyikan kekagetannya.