Setelah lari tujuh putaran (Ben) dan jalan cepat ngos-ngosan tiga putaran (Cori) di jalur lari Alun-alun Engku Putri, Cori membawa Ben ke sebuah tempat yang telah ia janjikan.
"Romaine Bakery?" tanya Ben. Mobilnya baru saja berhenti di pinggir trotoar, tepat di depan toko roti kepunyaan Mutia Adnan yang sudah ramai pengunjung.
"Yep."
"Nama tokonya nama tengah kamu."
"Benar sekali."
"Restoran Papa juga pakai nama kamu. The Coriander Taste."
"Lucu, kan? Namaku dijadikan nama toko-toko terkenal." Cori terkekeh kecil. Ia tidak minder lagi dengan nama pemberian Sudjana.
"Bangga, dong?"
"Banget."
Setelah menyeringai, Cori menepuk-nepuk lengan Ben tak sabaran. "Yuk, turun. Roti dan dessert punya Romaine Bakery enak-enak, lho."
Meski jantungnya berdebar kencang saat melangkahkan kaki ke dalam toko, tapi rasa exciting lebih mendominasi dirinya. Ia terbuai dengan kue-kue cantik buatan mamanya, meski di saat yang sama, Cori juga was-was mengantisipasi kedatangan Mutia entah dari pintu mana saja di toko kecil ini.
Di satu sisi, Cori merindukan ibu kandungnya. Namun, di sisi lain, masih ada rasa marah dan kecewa yang ia sendiri tak tahu, apakah semua emosi itu suatu saat akan terobati atau makin menggerogoti hati.
Ketika Cori tenggelam dengan pikirannya, Ben malah kalap memasukkan berbagai roti dan kue yang menggiurkan ke dalam keranjang belanja. Ada cupcake dengan berbagai variasi krim, pai susu, egg tart, lemon cake, dua loaf roti gandum, dan ….
"Cori, lihat ini!"
Saat menoleh, apa yang Cori temukan membuat senyumnya mengembang otomatis.
"Orange Coriander Cookies, Cori!" Ben langsung memasukkan setoples kukis ketumbar itu ke dalam keranjang. "Enggak cuma nama restoran, nama kamu juga dijadikan nama kukis."
"Yah, begitulah." Terima kasih... Mama? Cori mendengkus geli. "Menurutku, rasanya unik. Cocok dimakan dengan teh melati."
"Benarkah? Abang akan membuktikannya nanti."
"Sebentar, deh. Apa nggak kebanyakan? Yakin habis sendirian?" Cori menunjuk keranjang Ben yang sudah over load.
"Kita makan berdua. Buat kamu juga, Coriander."
"Hehe, terima kasih, Abang."
"Nak ... Cori?"
Deg.
Yang dipanggil memutar tubuhnya pelan-pelan menghadapi sumber kemarahan, kesedihan, kekecewaan, dan ... kerinduan yang terpendam bertahun-tahun.
Halo Ma .... "Halo Bu Mutia," sapa Cori ramah, lalu tersenyum layaknya seorang front liner profesional perusahaan keuangan menghadapi nasabahnya. Ben ikut-ikutan menghadapi sosok yang menyapa kekasihnya.
"Sudah lama tidak kemari."
"Saya sedikit sibuk akhir-akhir ini, Bu."
"Tolong, luangkan waktu untuk diri sendiri. Jangan sampai bekerja terlalu keras membuatmu lupa bahwa kita bekerja juga untuk menyenangkan diri sendiri. Bukan begitu, Nak Cori?"
"Baik, Bu. Akan saya ingat nasihat Ibu."
Aku akan mengingat nasihat Mama.
"Dan ini ...." Pandangan mata Mutia jatuh pada seorang pemuda yang tersenyum ramah dengan sekeranjang makanan di tangan kirinya.
"Kenalkan Bu, beliau calon suami saya." Calon menantu Mama.