Ben & Cori

Steffi Adelin
Chapter #40

40. Seperti Kentut

Ciri sedang terengah-engah di ruang tengahnya setelah menempuh jarak dua kilometer dengan cara jalan cepat di atas treadmill manual. Jarak hari ini lebih jauh 500 meter daripada hari kemarin.

Ia berprinsip, lebih baik merangkak sedikit demi sedikit daripada diam di tempat tidur atau menyumpal mulutnya dengan lebih banyak makanan berkalori tinggi sambil meratapi kata-kata manusia yang tak punya hati macam Moza.

"Cukup untuk hari ini," ucapnya sambil terhenyak di kursi meja makan. Cori menenggak minuman isotonik dingin dari botol dengan rakus hingga tandas.

Kata orang, tujuh hari pertama akan menentukan apakah kamu akan konsisten untuk melanjutkan ke proses berikutnya atau tidak. Cori bersyukur telah lolos dua minggu serasa siksaan neraka ketika proses pembakaran kalori ini dimulai. Dan ia bangga dengan pencapaian kecilnya.

Beberapa kali ketukan di daun pintu disusul dengan namanya yang diteriakkan menggema. Ia tahu siapa yang bertamu.

"Abang datang." Cori terlanjur senang dan tergesa-gesa menyongsong si calon imam. Tapi sedetik kemudian, ia membeku di tempat setelah mengingat satu hal krusial: dirinya terlihat sangat tidak presentatif. Rambut lepek, baju berkeringat, dan wajahnya yang pasti berkilau. Ew.

"Coriander, kamu sudah tidur?"

Ah, ia tidak bisa berpikir jernih lagi. Persetan dengan presentasi dirinya. Cori buka pintu dengan sekali tarikan.

"Abang," sapa Cori duluan. "Baru pulang?"

"Cori?! Kamu kenapa? Pipi kamu merah banget. Kamu demam sampai keringetan begini?" Tanpa pikir panjang, pria itu menempelkan telapak tangannya di dahi Cori. Beberapa detik kemudian, keningnya mengusut. "Enggak panas," gumamnya.

Cori terkekeh dan menyingkirkan tangan Ben. Yang khawatir tidak sadar kalau mukanya sendiri sangat lelah.

"Abang. Tenang, okay? Aku sehat seratus persen. Duduk dulu, yuk?"

Ben menurut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya ketika Cori menarik tangannya dan menyuruh Ben duduk di kursi rotan—tempat favorit Ben asal Cori juga ikut duduk bersamanya. Mata Ben tak lepas dari penampilan Cori malam ini

"Sebentar, aku ambil sesuatu dulu ke dalam."

Tak sampai dua menit, Cori menyuguhkan teh melati hangat dan satu toples kukis ketumbar jeruk yang rutin ia pesan di Romaine Bakery tanpa sepengetahuan mamanya.

Sejak kedatangannya bersama Ben tempo hari ke Romaine Bakery dan mendapatkan wejangan pernikahan, Cori ingin selalu merasa terhubung dengan Mutia walaupun tidak ada yang akan berubah dari hubungan mereka yang stagnan. Misalnya, dengan memesan kue ke Romaine Bakery.

"Minum tehnya," perintah Cori. "Setiap pulang rapat sama deputi, Abang selalu kelihatan mau pingsan." Lagi, Ben menuruti apa pun perintah Cori. Ben mengakui butuh sedikit kafein.

"Kamu ... habis olah raga?" Matanya menubruk sepatu kets di kaki Cori.

"Iya. Baru selesai lari di treadmill." Cori mengedikkan kepala ke arah rumah.

Pandangan Ben tak jua lepas meski pertanyaannya telah terjawab.

"Abang jangan ngeliatin aku terus."

"Y-ya?"

"Aku lagi jelek banget, kan? Keringetan gini sampai-sampai Abang enggak berkedip natap aku."

Cori sudah mulai tidak peduli dengan pendapat orang lain tentang dirinya. Namun, ketika orang itu adalah Ben, maka ketidakpercayaan dirinya kembali goyah. Insecure kembali menjadi nama tengahnya setelah Romaine. Pendapat Ben telah menjadi pendapat terpenting setelah kata-kata Sudjana.

"Kamu bicara apa, sih?" tanyanya setengah bingung. "Yang ada aku malah lega kamu enggak kenapa-kenapa. Jadi jangan mikir macam-macam, ya?"

"Bener?"

"Iya. Kamu tuh, entah kenapa ... justru ... terlihat ... sangat ... menarik ... malam ini," gumam Ben semakin pelan. Suaranya menghilang dibawa angin sepoi-sepoi malam, sedangkan jiwanya makin belingsatan tak keruan gara-gara penampilan Cori malam ini.

Padahal Cori hanya pakai kaus oblong kebesaran dan celana training. Tapi mengapa ia ... melihatnya berbeda? Apa karena pipinya memerah? Apa karena keringat di rambutnya? Atau karena bibirnya yang basah?

"Gimana, Bang?"

"A-apa?"

Sial! Bahaya, bahaya. Benjamin! Jauhkan Cori dari pikiran kotormu sekarang juga! Demi Tuhan, sekarang hampir tengah malam. Ingat janjimu pada Papa. Jaga Cori dari pikiranmu dan kelakuanmu! peringat Ben pada dirinya.

"Abang bilang apa barusan? Ngomongnya kayak lagi kumur-kumur," ulang Cori.

"Ehm, lupakan." Ben pura-pura membersihkan tenggorokannya. "Sejak kapan kamu olahraga?"

"Baru dua minggu."

"Jangan-jangan kamu olahraga karena kata-kata Moza?" tuduh Ben blak-blakan.

"Abang tahu?"

"Dari Winnie."

Setidaknya ia bersyukur versi Winnielah yang Ben dengar. Kalau begini, ia lebih mudah bertutur tentang kejadian itu.

Lihat selengkapnya