"Mau berangkat?"
"Belum. Ini lagi sarapan, Pa," tutur Cori pada earbuds-nya.
"Perginya sama Ben, kan?"
"Iya. Tuh, lagi panasin mobil. Gimana resto Papa?" tanyanya disela-sela sarapan salada romaine, tomat ceri, dada ayam dan potongan roti panggang dengan dressing minyak zaitun, garam, dan lada.
Cori makan dedaunan pemirsah! Sebuah kemajuan meski mencobanya butuh tekad yang enggak main-main. Cori tidak suka daun hijau, cori tidak suka tumbuhan berklorofil. Namun, ia sudah berniat untuk berteman dengan mereka. Dan pertemanan ini dimulai dengan menyukai selada romaine, kesukaan mamanya.
"Sebentar lagi sibuk. Kami sedang mempersiapkan menu-menu untuk makan siang. Kamu butuh sesuatu? Apa perlu Papa ke sana? Ben baik padamu? Dia enggak macam-macamin kamu, kan, Nak?"
"Easy, Chef. One question at a time, please." Cori terkekeh. Pertanyaan Super Dad-nya yang selalu kelewat protektif tidak pernah membuatnya tersinggung.
"Maafkan Papa. Ketidakhadiran kamu membuat Papa suka menebak kelewat jauh. Papa nggak bisa melihat kamu secara langsung, itu sebabnya."
"Cori baik-baik aja, Pa. Abang enggak berani macam-macam sama anaknya Sudjana. Percaya sama Cori."
"Kalau memang begitu, Papa bisa tenang."
"Gitu, dong."
"Jadi kapan kalian mau menikah? Sudah punya rencana tahun, bulan, atau tanggal, mungkin? Ben sudah ajak kamu bicara dengan Popy?"
"Semua jawaban Papa belum semua," tukasnya. Suaranya mulai terdengar jauh. Sebab, Ben memang belum pernah membahas orang tuanya dan pernikahan.
Helaan napas keluar begitu saja dari telepon di ujung sana.
"Ada apa, Pa?"
"Apa karena masa lalu keluarga kita lagi?" Cori langsung paham apa yang Sudjana maksud.
"Abang terima Cori dan sejarah keluarga kita, Pa. Papa jangan khawatir," ucap Cori malu-malu.
"Benar?"
"Yes, Chef."
"Syukurlah. Papa pikir Ben ... seperti mantan kamu itu." Geraman rendah ditangkap oleh pendengarannya. Cori paham perasaan papanya. Sangat.
"Doakan kami ya, Pa."
"Selalu, Nak. Selalu."
Bunda ... merestui aku dengan anak Bunda, kan? tanyanya meragu.
***
"Bon, menurut kamu Kak Cori gimana orangnya?" Ben memanfaatkan waktunya yang sempit di jalan raya menuju Kantor Cabang Sei Panas. Ia memang sudah berniat menelepon si bungsu setelah menurunkan kekasihnya di depan kantor Cabang Mega Legenda.
"Baik banget orangnya." Suara Boni langsung meninggi di earbuds Ben. "Kemarin aja Bunda baru dikirimin roti khas Tarempa sama Kak Cori. Apa tuh Bang namanya? Yang isinya abon ikan."
"Luti gendang."
"Iya, itu. Sama makanan kering khas Kepri. Boni sering diajakin Kak Cori ke Singapura, tapi Boni belum bisa cuti."
Ben mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Ia baru tahu informasi ini. "Kak Cori baik banget ya, orangnya?"
Boni mendengar nada sarat kejumawaan barusan.
"Iya, banget.”
"Sejak kapan kalian dekat?"
"Sejak Boni dan Bunda ke Batam waktu itu. Kami enggak pernah berhenti berkomunikasi sampai sekarang. Kenapa tanya-tanya? Naksir Kak Cori, ya?" ledek Boni.
Ben bisa membayangkan cebikan bibir Boni yang menyebalkan, tapi herannya ia juga merindukannya.
"Lha, itu tahu." Ben menunggu reaksi si bungsu dengan tenang sambil menginjak rem perlahan dan menarik rem tangan. Ben menunggu lampu lalu lintas berubah hijau.
"APA?!" Si kakak lelaki terkekeh. Reaksi yang terlambat, Bonita.
"Kamu dengar barusan."
"Ini suka beneran? Abang serius?"
"Iya."
"Udah ditembak, Kak Corinya?"
Apa Cori tidak pernah menceritakan hubungan kami? batinnya.
"'Tembak'." Ben terkikik geli. "Memangnya Abang masih bocah main tembak anak gadis orang? Kami malah udah memutuskan untuk serius." Ben mengatakannya dengan dewasa dan tenang, sebab ia tidak berniat main-main dengan anaknya Sudjana.
"Sejak kapan?"
"Baru beberapa bulan."
"Tapi ... Abang yakin? Maksud Boni, Kak Cori kan ... ehm, dia sedikit ...."
"Dia sedikit apa, Boni?!" Meski kalimat Boni tak sempurna, Ben merasa harus melakukan sesuatu. Ia tidak suka keragu-raguan adiknya barusan.
Perlahan, tuas rem tangan dikembalikan ke tempat semula dan mobil berangsur bergerak pelan.
"Easy Brother. Abang jangan marah dulu."
"Siapa yang marah?"
Suaranya yang datar bikin Boni tidak percaya. Boni sangat tahu bagaimana prinsipilnya seorang Benjamin untuk beberapa hal.
"Heleh. Itu barusan."