Ben & Cori

Steffi Adelin
Chapter #42

42. Pembicaraan Para Orang Tua

Beberapa jam sebelum Popy menelepon Ben di bioskop...

"Tia, makasih lho udah dikirimin produk Romaine Bakery. Satu toples habis sepuluh menit sama Bonita. Senang banget dia sama butter cookies-mu," kata Popy pada telepon genggamnya di ruang keluarga.

"Senangnya dihabisin si Cantik. Lain kali aku kirim lagi, ya, Mbak?" sahutnya di ujung telepon.

"Kamu ini. Nggak bisa begitu, Tia. Kalau kamu gratiskan terus, kapan untungnya, kamu? Nanti akan aku bayar."

“Jangan bayar, Mbak. Aku mohon. Ya, anggap aja sebagai tanda terima kasih atas semua yang udah Mbak lakukan untukku selama ini."

Apalagi yang mesti Popy katakan kalau bukan terima kasih?

“Gimana kukis ketumbarnya, Mbak? Enak?”

“Rasanya unik, lho. Dapat ide dari mana sih, Tia?” Popy benar-benar penasaran.

"Sejujurnya, kukis itu aku buat untuk ... untuk anakku."

"Miko?"

Mutia tertawa kecil. Namun, setelahnya tawa itu hilang dengan bombardir perasaan bersalah yang menghantam nuraninya bertubi-tubi.

"Bukan Miko, Mbak."

"Anakmu cuma satu, Tia. Memangnya anak yang mana lagi?"

"Mbak masih ingat dengan pengakuan dosa besarku puluhan tahun yang lalu?"

"Kamu yang melakukannya pertama kali dengan cinta pertamamu itu, kan?"

"Ya." Lagi-lagi Mutia tertawa. "Cinta pertama ...." Ia tak melanjutkan kalimatnya.

"Kenapa diingat lagi, Tia? Sudahlah. Masa lalumu itu jadikan pelajaran. Saat itu jiwa mudamu sedang menggebu-gebu. Kadang hal-hal seperti itu terjadi ketika kita sedang berjauhan dengan Tuhan."

"Ya, aku akui saat itu kami dibutakan cinta dan nafsu."

"Yang penting kamu yang sekarang, Tia."

Tetap saja. Yang namanya kesalahan masa lalu akan menjadi bayangan yang mengikuti Mutia ke mana pun ia melangkah.

"Mbak tahu, kan, dia ... adalah cinta pertamaku yang ndak akan pernah aku lupakan. Dia ndak bisa menggantikan papanya Miko sampai kapan pun."

"Benar. Cinta pertama memang lebih berkesan. Tunggu dulu! Kenapa tiba-tiba bahas pengakuan dosa dan cinta pertama? Kamu kenapa, Tia?"

"Mbak, aku mau menambah pengakuan dosa lagi ke Mbak Popy. Bolehkah, Mbak? Hatiku lagi semrawut, Mbak. Aku kesulitan tidur akhir-akhir ini karena masa laluku itu."

Popy tidak pernah merasa terbebani mendengar curhatan Mutia. Ia paham jika tidak segera dikeluarkan, unek-unek itu akan menjadi masalah jika lama-lama disimpan.

"Asal hatimu tenang. Baiklah. Mbak mendengarkan."

Mutia berdehem kemudian mulai bicara. "Sebelum menikah dengan Mas Suji, aku hamil dengan cinta pertamaku itu." Popy sampai menegakkan punggungnya berkonsentrasi penuh. "Masalahnya, saat itu kami melakukannya sebelum dmenikah."

Ingin Popy menyela karena informasi yang didengar begitu mengejutkan, tapi ia berhasil menahan keinginannya dan mendengar dengan sabar.

"Lalu?"

"Dan aku meninggalkannya, Mbak. Aku sengaja meninggalkan darah dagingku pada pria itu dan menggagalkan pernikahan kami. Aku ... benar-benar menyesal." Pecah isak tangis Mutia detik itu juga. Rasa bersalah yang telah menggerogoti jiwanya puluhan tahun akhirnya keluar jua. Begitu lelah jiwa Mutia menyimpan rahasia yang menyesakkan ini sendirian. Ia butuh mengeluarkannya dari dadanya. Sebab, himpitan penyesalan itu makin berat setiap detik. Apalagi setelah bertemu putri yang ditinggalkannya.

"Tia, Mbak turut menyesal mendengarnya."

"Aku ndak bisa memeluknya. Aku ndak bisa memanggilnya dengan bebas. Padahal dia begitu dekat denganku. Aku ...." Kata-kata pun sudah tak mampu mewakili kesedihannya. Isakannya makin deras.

"Dekat? Di mana anak itu sekarang?"

"Dia ada di Batam, Mbak."

"Kamu tahu orangnya? Pernah bertemu dengannya?!" Popy makin penasaran.

"Tahu, Mbak. Aku pernah bertemu beberapa kali dengannya. Dia perempuan yang cantik dan ayu. Mirip banget sama papanya."

Meski lewat sambungan telepon, Popy tahu Mutia sedang tersenyum ketika menceritakan anaknya.

"Aku ndak mampu mengakui siapa aku sebenarnya, Mbak. Aku merasa ndak berhak untuk sekedar memeluk anak yang ndak pernah aku besarkan, yang ndak pernah aku beri air susuku sendiri. Aku ibu yang ndak bertanggung jawab. Aku malu jadi manusia, Mbak. Aku malu. Sungguh."

"Oh, Tia ...." Popy sampai kehilangan kata-kata. Hati Popy ikut terenyuh lara Mutia.

"Mbak tahu? Kukis ketumbar jeruk itu aku buat sebagai hukuman untukku agar aku selalu ingat bahwa aku manusia yang buruk," sambungnya.

"Kenapa kukis ketumbar?"

"Karena, ketumbar adalah bumbu dapur yang amat disukai Mas Djana. Dan nama anak itu adalah Coriander, yang artinya ketumbar. "

"Sebentar." Popy butuh waktu memroses semua yang dia dengar barusan. "Maksudmu Djana owner The Coriander Taste? Cori ... anak kalian?!"

"Benar, Mbak. Mbak kenal dengan Mas Djana?"

"Tentu. Dia partner bisnisku. Anak kami berteman, malah. "

Mutia tertawa kecil. "Ya, aku tahu mereka ... berteman."

"Tia, apa yang akan kamu lakukan dengan Cori?"

"Jujur aku nggak tahu Mbak. Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan, Mbak Popy?"

"Mohon ampun pada Tuhan. Minta maaf pada mereka yang telah kamu tinggalkan. Cori dan Djana berhak mendapatkan maafmu, tho?"

"Tapi aku takut mereka ndak mau menerimaku."

"Berdoa, lalu coba. Kemudian hasilnya serahkan pada Tuhan."

Secercah harapan sedikit menerangi jalan Mutia.

"Aku akan mempertimbangkannya."

"Bagus. Semoga dimudahkan, Tia," harap Popy sungguh-sungguh.

"Mbak ...."

Lihat selengkapnya