"Bunda ...." Ben memelas pada ponsel yang menempel di telinganya. Ia sampai menjatuhkan dirinya di keramik dingin teras karena tak mampu lagi mengeluarkan kata untuk mengungkapkan resah gundah putus asanya. Andai ia bisa pulang, ia akan bersujud di kaki Popy detik ini juga. Namun, pekerjaan membuatnya terantai sebelah kaki dengan Sejahtera Bersama. Dalam tunduk layunya, ia berucap, "Enggak ada yang salah dengan Cori. Dia perempuan luar biasanya, Bun. Hatinya lembut dan elok. Dia bisa ngertiin Ben. Ngertiin anak bunda yang keras ini. Apa karena dia lahir di luar nikah, dia harus memikul seluruh kesalahan di muka bumi sehingga dia pantas dipandang sebelah mata, membuat malu masyarakat? Cori melebihi statusnya, Bun. Cori adalah wanita terhormat, seperti Bunda, seperti Bonita."
"Ben, sudah berapa kali Bunda katakan konsekuensi menikahi wanita tak bernasab. Bunda ndak ingin kamu menanggung malu di kemudian hari. Berhenti berpikir bahwa dia adalah wanita yang tepat untukmu. Bahkan Agni lebih baik dari segi apa pun dibanding dia!"
"Meskipun Bunda memuji Agni, hormat Ben pada perempuan seperti dia tidak bisa kembali seperti dulu. Nilainya sudah jatuh sejatuh-jatuhnya di mata Ben. Jadi Ben juga mohon, berhenti membicarakan Agni dan membandingkannya dengan Cori, Bun! Perempuan itu nggak selevel dengan Cori!"
Popy membuang napasnya kasar dan sampai ke pendengaran Ben. Rasa bersalah menjalari hatinya, tapi egonya menang kali ini. Ben mesti meluruskan sesuatu yang sangat prinsipil baginya.
"Kita nggak akan beranjak ke mana-mana kalau begini ceritanya, Nak," ucapnya gusar. "Ben, dengar Bunda. Selama bertahun-tahun, Bunda hidup berdampingan dengan cemoohan orang lain karena status Bunda yang janda. Kamu pikir, Bunda selalu dalam keadaan muka badak dan telinga ditulikan mendengar ocehan tak berguna itu? Janda kecentilan, janda butuh belaian, janda ini, itu. Sakit banget, Ben. Dan Bunda mesti menahannya sendirian."
Fakta baru itu membuat Ben langsung mengenyampingkan masalahnya sendiri. Popy adalah perempuan paling berharga sedunia baginya. Tidak ada yang boleh menyakiti hatinya, tapi ia lupa apa yang telah dilakukannya lima menit yang lalu.
"Ben nggak tahu Bunda mengalami semua itu," sesalnya. "Maaf."
"Bunda udah nggak apa-apa. Bunda sangat baik sekarang."
"Seharusnya Bunda bilang ke Ben. Ben akan melakukan apa pun yang sepatutnya Ben lakukan pada orang-orang yang mengganggu Bunda!"
Geraman anaknya membuat Popy terkekeh. Walaupun demikian, sukses melunturkan ketegangan di antara anak dan ibu malam ini meski mereka terpisah ruang dan jarak.
"Maka dari itu, Ben, Bunda minta dengan sangat kamu ndak melanjutkan hubungan dengan anaknya Djana. Bunda hanya khawatir kamu juga akan merasakan pengalaman yang sama seperti Bunda, Nak. Dan hal itu akan terjadi di sepanjang perjalanan pernikahan kalian. Bunda ndak bisa membayangkannya. Bunda harap kamu mengerti."
Rasa frustasi, kecewa, marah berkumpul menyerangnya bersamaan. Namun, semua emosi itu hanya tertumpuk di kerongkongannya seperti batu. Ben tak sanggup lagi memuntahkannya pada perempuan kesayangannya. Ben takut menyesal seumur hidup bila membuatnya kecewa.
Namun, meninggalkan Cori? Pertanyaan besar itu tidak pernah mempunyai jawaban sebelumnya. Tidak, tidak. Ben tidak ada rencana untuk meninggalkannya. Yang ada, rencana membangun mahligai rumah tangga telah rampung dan tinggal menunggu waktu yang tepat untuk segera diresmikan di depan Tuhan dan hukum.
Apa dirinya mampu menghapus rencana indah yang sudah ia susun sedemikian rupa sejak proposal itu belum diterima Cori? Sungguh, Ben tidak sanggup membayangkannya. Yang Ben bayangkan adalah bagaimana perempuan chubby itu menjadi istrinya, melayaninya, mendidik anak-anaknya dengan pandangan hidup Cori yang luar biasa, dan menua bersama dalam suka dan duka.
Setelah menarik napas, dan menghembuskannya pelan, Ben memaksa menghalau kabut yang mengacaukan pikirannya dan mencoba peruntungannya sekali lagi pada perempuan kesayangannya ini.
"Mungkin ... mungkin Bunda hanya perlu waktu menerima Cori. Beri kami waktu memantaskan diri agar Bunda tahu, Cori adalah pendamping terbaik untuk Ben. Ya?"
Diamnya Popy di ujung telepon merampas setengah nyawanya.
"Bun ...."
"Benjamin ...."
"Tanpa Cori, Ben bukan apa-apa, Bun ...." cobanya sekali lagi. "Dan meski Cori bisa saja Ben peristri detik ini juga, tapi Ben lebih butuh restu Bunda. Tanpa restu Bunda, pernikahan kami nggak akan bahagia."
Helaan napas keluar begitu saja dari mulut Popy.
"Ben ..." panggilnya lembut.
"Ya, Bun?"
"Bunda ingin istirahat. Besok kamu kerja, kan? Tidur, gih. Kapan-kapan kita lanjutin ngobrolnya, ya, Nak?"
"Bunda ...."
"Kamu tahu, Bunda selalu sayang anak-anak Bunda. Dan Bunda tidak ingin anak-anak kesayangan Bunda tersakiti oleh masalah sepele sekali pun."
Klik.
Separuh jiwa Ben yang tersisa ikut putus seiring dengan terputusnya hubungan telepon tadi. Beban tak kasat mata seketika menggelayuti pundak dan hatinya, menekan dadanya, membuat kemampuan bernapasnya diuji malam ini. Sesak dada Ben memikirkan nasib hubungannya dengan si tetangga nomor lima yang sampai pukul sembilan malam ini tak jua menunjukkan batang hidungnya.
Kamu di mana, Cori? Kamu … baik-baik aja, kan?
***
Hal pertama yang dilakukan Sudjana ketika melihat wajah putrinya yang sedang pura-pura tersenyum adalah memeluknya, lalu membiarkannya menangis untuk meluapkan semua beban di bahunya yang renta. Ia akan memberikan keamanan yang tak bisa ia suguhkan selama mereka terpisah oleh jarak.