Ben & Cori

Steffi Adelin
Chapter #44

44. Maaf yang Terlambat

Ben mendongak dari komputernya, mendapati seorang sekuriti berdiri ngos-ngosan di depan ruangannya. Lantai tiga memang membuat respon tubuh seperti itu.

"Ada apa, Pak Yusep?"

"Ada ibu-ibu yang cari Bapak di bawah. Katanya mau bertemu dengan 'Nak Ben'."

Si Auditor mendekati Yusep dengan keningnya yang mengernyit dalam. Sebab, tidak ada yang memanggilnya Ben di Batam selain orang-orang terdekatnya. Termasuk ... dia.

"Ibu itu memperkenalkan dirinya, Pak?"

"Namanya Bu Mutia, Pak."

"Suruh tunggu di ruang nasabah, Pak. Saya akan turun dalam lima menit," tegas Ben tanpa pikir panjang. Ben harus bicara dengan mama Cori, sekarang atau tidak selamanya.

Dua sosok beda generasi itu tengah berada di Good Day Bakery di Pasar Mega Legenda—satu-satunya tempat yang paling layak untuk bicara serius. Mereka duduk berhadapan dalam diam meski jalan pikiran seperti pasar. Semua terlihat dari wajah masing-masing.

"Ibu minta maaf, Nak," getaran suara itu mengalirkan penyesalan. Ben mengangkat kepalanya cepat dari cangkir kopi.

"Kenapa Ibu minta maaf?" Interaksi mereka untuk pertama dan terakhir kalinya terjadi ketika Ben dan Cori belanja di toko roti Mutia. Jadi Ben dalam keadaan sangat bingung, apa kesalahan yang diperbuat Mutia padanya.

"Karena, gara-gara Ibu, pernikahan kalian batal. Maafkan Ibu."

"Gara-gara Ibu? Ibu nggak berbuat salah pada kami, Bu. Jadi berhenti minta maaf, ya," ucapnya menenangkan.

"Tidak, Nak." Mutia memijit-mijit ujung jarinya sembari mempersiapkan dirinya dengan sebuah cerita. "Ibu mau jujur."

Dan cerita Mutia tumpah ruah. Dengan susah payah Mutia menggelontorkan rahasia kelam masa lalunya, tanpa ada yang ditutupi. Mengenai dia, Sudjana, Cori, dan Popy, hingga Mutia yang sudah tahu siapa Cori sebenarnya. Mutia tidak akan menyembunyikan apapun lagi pada siapa pun.

"Ma ...."

Terbelalak mata Mutia dibuatnya. "Kamu memanggil Ibu, Ma?"

"Boleh Ben panggil mama kan, Ma?" ucap Ben lembut.

Setelah menyeka sudut matanya, Mutia mengangguk bahagia. "Boleh, Nak. Sangat boleh."

Ben mengucapkan terima kasih, kemudian berkata, "Meskipun Mama tidak memberi tahu Bunda fakta tentang Cori, Ben sudah tahu Bunda tidak akan menyetujui kami. Ben sudah mempersiapkan diri untuk itu. Jadi, Mama tidak boleh merasa terbebani, ya?"

"Tapi Nak, gara-gara Mama, gara-gara kebodohan kami dulu, Mbak Popy membenci status Cori. Mbak Popy jadi menentang rencana pernikahan kalian. Mama sudah memohon berkali-kali agar Mbak Popy mengubah keputusannya. Namun, sampai sekarang dia kukuh dengan pendiriannya. Katakan Nak, apa yang harus Mama lakukan?" mohon Mutia dalam keputusasaannya.

"Seperti kata Cori ke Ben waktu itu, bila memang berjodoh, kami pasti akan bersatu bagaimana pun caranya," ucap Ben pahit. Dadanya berdenyut nyeri, seakan baru semalam Cori mengatakannya dengan suara rapuhnya yang memporakporandakan dunianya dalam lima menit.

"Ben ...."

"Ma, cukup doakan kami, ya? Apa pun yang digariskan Tuhan pada kami, Ben percaya itu yang terbaik bagi kami, bagi semua orang."

"Mama selalu berdoa untuk kebahagiaan kalian. Hanya itu yang bisa Mama beri. Dan Mama merasa harus meminta maaf langsung pada kamu, pada Cori juga. Tapi Ben, kok tadi ndak ada Cori, ya? Biasanya dia duduk di meja depan."

"Cori ... nggak menemui Mama sebelum dia pergi?"

"Pergi? Pergi ke mana Cori, Nak Ben?! Kenapa Cori ingin menemui Mama?" desak Mutia.

Ah, ternyata hingga detik ini, Cori tidak mau jujur pada ibu kandungnya. Pikir Ben, mungkin Cori butuh waktu, lagi.

"Cori ... dimutasi ke salah satu cabang di Jakarta, Ma. Sudah tiga bulan."

Diam-diam Ben menekan dadanya yang makin nyeri.

"Anakku ...." bisiknya pilu.

“Ma, ada satu hal yang harus Mama tahu."

“Apa, itu?”

"Sebenarnya Cori sudah tahu siapa Mama sejak Mama datang di kantor Cabang Mega Legenda untuk bertransaksi."

Bergetar bahu Mutia menahan tangis di keramaian pengunjung toko roti. Ben segera pindah duduk di sebelah Mutia dan menenangkannya.

"Apa yang ada dipikiran anak itu setelah mengetahui mamanya masih hidup? Tuhan, bagaimana ini?" katanya pada diri sendiri. Berkali-kali Mutia memijit ujung jarinya yang sudah memerah.

"Ben mohon pengertian Mama untuk memahami Cori, kenapa sampai detik ini dia belum bisa mengakui dirinya di depan Mama. Cori pasti punya alasan mengapa dia memutuskan untuk diam, Ma."

***

Belasan purnama kemudian ....

"Pak Yusuf!"

Sambutan hangat langsung Yusuf terima dan ia mendapati mantan stafnya mencium punggung tangannya dengan hormat.

"Jangan pergi dulu, Pak. Ngobrol sebentar di sini," mohonnya.

Permintaan yang mudah bagi Yusuf. Ia juga kangen dengan stafnya yang ini.

"Duh, duh. Manglingi kamu sekarang." Yusuf memasuki kantor kecil Cori dengan semringah.

Lihat selengkapnya