Cori menemukan kenyamanan duduk diapit kedua orang tuanya. Perasaan hangat menyergap secepat maaf yang datang meski terlambat. Hatinya yang kosong akan kasih sayang mulai terisi sedikit-sedikit. Tidak mengapa. Semua butuh proses, butuh waktu.
Dan yang lebih menyenangkan adalah, Mutia tak melepas genggaman tangannya dari tangan Cori yang tak lagi membengkak. Meski tangannya kaku digenggam sejak tadi, Cori memprediksi kegiatan baru ini bakal mengasyikkan.
Abang pasti senang kalau tahu Mama menemuiku.
Sedetik kemudian, ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, menyesal karena membiarkan dirinya ceroboh meliarkan pikirannya akan angan indah tadi.
"Kami berdua menemui Popy seminggu yang lalu," cetus Sudjana tiba-tiba.
"Untuk apa, Pa?"
"Bisa dibilang, memperbaiki sebuah hubungan yang seharusnya bersatu sejak lama," sambungnya misterius. Cori mengernyitkan keningnya.
"Percaya atau tidak, Mbak Popy duluan yang menghubungi papamu. Dia curhat, Ben menolak semua bakal calon istri yang Mbak sodorkan setahun belakang. Mbak Popy ndak tega lihat anaknya selalu bermuram durja setiap memandang foto kamu di ponselnya. Sekarang, Ben jadi jarang pulang semenjak kalian putus. Mbak merasa Ben menjauhi rumahnya"
Oh, Abang ....
"Untuk apa Mama dan Papa memberi tahu Cori informasi tadi?" pungkasnya. Ia ingin mencari ujung dari pembicaraan ini.
Terlalu banyak informasi nggak penting tentang dia Ma, Pa. Sedetik kemudian Cori meralat pikirannya sendiri. Oke, oke. Penting banget!
"Kabarnya Ben ada di Jakarta," tukas Mutia.
"Lalu?"
"Papa tahu kamu belum bisa melupakan Ben sebagaimana Ben juga ndak bisa melupakan anak Papa. Jadi, mulailah petualanganmu lagi dengannya, Nak. Kamu telah mendapat restu dari kami, para orang tua."
***
Seseorang meletakkan piring nasi pecel di depan piring nasi iga bakarnya. Belum jadi mendongak melihat siapa pelakunya, Ben dibuat kaget setengah mati dengan suara yang menyapanya.
"Abang kenapa makan sendiri?"
Berkali-kali ia kedipkan matanya demi membersihkan debu atau apa pun yang mungkin menghalangi penglihatannya. Ben pikir ada yang salah dengan bola matanya. Nyatanya tidak. Tidak ada yang salah, hanya sosok itu saja yang tampak berbeda.
Ia duduk dengan anggun di meja yang sama dengannya. Berhadap-hadapan. Padahal masih banyak meja kosong lain tak berpenghuni di kantin PT. Sejahtera Bersama. Tapi Ben tidak akan protes.
"Ada nasi di dagu Abang. Udah gede makannya masih belepotan."
Sebutir nasi itu kini masuk ke piring nasi pecelnya. Ben menganga seperti orang bodoh.
Darahnya berdesir hebat gegara sentuhan tadi. Ia yakin semua penghuni kantin tengah melihat aksi kecil barusan. Tapi Ben tidak peduli. Ia lebih peduli dengan sosok yang sedang memakan sayur-sayur hijau tanpa wajah penolakan.
Ben yakin rasa itu tidak pernah berubah meski seseorang yang sedang memakan nasi pecel dengan lahap ini telah berubah banyak. Tidak ada pipi chubby lagi, dan rambut legam lurusnya yang biasa terurai sampai punggung kini menjuntai bebas di atas bahunya. Namun, cantiknya tetap di sana. Mau pipinya tirus atau chubby, mau rambutnya panjang atau pendek, Ben tidak peduli. Sebab, kecantikannya masih sama seperti yang Ben rekam terakhir kali di dalam memori di Bandara Hang Nadim saat ia mengantarnya keluar dari Pulau Batam 547 hari yang lalu.
Ya. Pria malang ini menghitung hari perpisahannya dengan si Gadis Ketumbar. Maka dari itu, ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini dan akan berlama-lama memandangnya. Mana tahu ini adalah makan siang dan pertemuan terakhir mereka.
"Sekarang Abang tugas di mana?"
"Makassar."
"Sudah berapa hari Abang di kantor pusat?"
"Tiga hari."
"Berapa hari lagi Abang di Jakarta?"
"Empat hari," jawabnya bak robot. Cori mengangguk sekali.
"Jadi waktu kita hanya tersisa empat hari." Lalu Cori menyendok nasi dengan topping daun bayam rebus dan saus kacang ke mulutnya.
"Waktu ... kita?"