Pagi ini Alfredo tidak terlihat sama sekali di sekolah. Mimika menunggu dengan gusar kehadiran Alfredo di dalam kelas. Jam masuk sekolah juga sudah tiba, begitu mendengar suara bel lonceng berbunyi.
Waktu sudah terlewat begitu lama dan bahkan sudah waktunya pulang sekolah pun, Alfredo tidak berada di dalam kelas. Batang hidungnya tidak terlihat sama sekali di lingkungan sekolah.
Rasa bersalah Mimika semakin menumpuk. Dia tidak dapat menahan diri lagi. Dia langsung pergi ke ruang guru. Di dalam sana ada Pak Budi yang terlihat sedang mengecek setumpuk lembaran kertas ujian.
Pak Budi menengadahkan kepalanya ke atas, begitu melihat bayangan seseorang menghalangi pekerjaannya–sosok yang menutupi cahaya dari bohlam lampu atas langit-langit ruangan kantor.
"Ya, ada yang bisa Bapak bantu, Mimika?"
"Pak, boleh aku minta alamat rumah Alfredo Gotama?" tanya Mimika tanpa basa-basi terlebih dulu.
Pak Budi mengernyitkan dahinya. "Bukannya kalian berdua yang pernah telat bersama itu, kan? Bapak kira kalian berdua dekat."
Hah?! Malah itu yang diingat sama bapak satu ini, batinnya.
"Kita tidak dekat, kok, Pak," jawab Mimika.
"Lalu, kenapa kamu mau minta alamat rumahnya?"
Aduh! Mana tadi salah jawab lagi, keluhnya dalam hati. Ayo, coba putar otak, Mika!
Tiba-tiba sebuah ide terlintas dalam pikiran Mimika.
"Semalam aku tidak masuk sekolah karena sakit, Pak. Alfredo datang ke rumahku dan pinjamin aku buku catatannya. Ini aku mau kembalikan, sekalian kasih catatan baru buat dia,” ungkap Mimika.
"Hebat sekali kalian berdua. Sudah pernah datang telat bersama dan sekarang sakitnya pun bisa bergantian, begitu, ya."
Entah hanya ucapan biasa atau memang benar sindiran seperti perasaan yang Mimika rasakan sekarang, tapi sekarang ia sedang tidak peduli dengan itu semua. Sekarang yang terpenting baginya bisa mendapatkan alamat rumah Alfredo.
"Tolong bantuannya, Pak. Aku tidak enak hati dengan Alfredo. Dia sudah banyak membantu aku, jadi aku harus membalas budi ke dia.” Raut wajahnya tampak memelas.
"Sudahlah. Sudah … Bapak kasih kamu alamatnya. Jangan sedih begitu," ucap Pak Budi pada akhirnya.
"Makasih banyak, Pak.” Mimika saat itu pula langsung membungkuk tiga puluh derajat sebanyak tiga kali, begitu Pak Budi menuliskan alamat rumah Alfredo dari daftar pembukuan ke sebuah potongan kertas kosong.
Pak Budi tiba-tiba memberi wejangan ke Mimika. “Ingat, Mimika. Jangan main pacar-pacaran dulu. Fokus untuk mendapatkan nilai terbaik di kelas dan tamat sekolah dulu.”
"Baik, Pak. Bapak tenang saja.”
Pak Budi mengangguk-anggukkan kepalanya.