Awalnya Alfredo melongo, tapi pada detik berikutnya dengan pasti dia menjawab, "Aku percaya sama kamu."
Sesaat bukannya dia tidak percaya dengan Mimika, tapi ia hanya tidak menyangka Mimika akan menjadi begitu terbuka padanya. Suatu hal yang membuat dirinya menjadi sangat bahagia.
Raut wajah Mimika benar-benar terlihat sangat kaget. "Serius? Kamu beneran percaya sama aku?"
"Iya. Aku serius,” tegasnya.
"Kukira kamu bakal anggap aku orang aneh atau mungkin orang gila yang hanya asal ….”
"Tentu aja tidak. Aku tidak akan pernah anggap kamu seperti itu," potong Alfredo.
Mimika tersenyum tulus pada Alfredo. "Baik, aku percaya sama kamu juga."
Mimika memejamkan matanya, kemudian pada detik berikutnya dia membuka kembali matanya. "Kepercayaan dibutuhkan oleh kedua belah pihak, biar adil."
Detak jantung Alfredo berdetak hebat. Napasnya terasa berat selama beberapa detik. Dia tersenyum begitu tulus, hingga membentuk garis paling lebar di bibirnya. Matanya yang tajam turut terkesan hangat. Ketulusannya dapat tersampaikan dengan baik lewat pandangan Mimika sendiri.
"Al," panggil Mimika.
Alfredo dengan cepat menjawab, "Iya, Mika."
"Menurutmu, aku sebaiknya harus gimana? Aku tidak bisa lepasin Doreko, tapi aku mulai sadar … tidak baik kalau membiarkannya terus berada di tempat yang sama dengan kita. Aku terus teringat ucapan Pak Budi waktu itu."
"Memangnya Pak Budi bilang apa ke kamu?" tanya Alfredo penasaran.
"Yang paling aku ingat itu, Pak Budi bilang kalau mereka yang udah pergi tidak bisa pergi dengan benar, kalau kita lama berlarut dalam kesedihan. Ada waktunya kita harus benar-benar melepaskannya, tapi aku harus gimana?"
Mimika menatap ke atas langit. Dia berusaha menahan air mata yang hampir keluar dari sepasang matanya.
Mimika kemudian membuka lebar kedua matanya, kemudian menatap lekat wajah Alfredo. "Aku sangat sayang sama Doreko. Aku takut memikirkan, bagaimana kalau dia bakal benar-benar menghilang selamanya?" Tanpa bisa menahan air matanya lagi.
Alfredo mengusap pelan air mata yang terus keluar dan turun membasahi pipi Mimika. Rasanya begitu menyakitkan melihat orang yang ia sukai menangis seperti ini di depannya.
Refleks Alfredo memeluk Mimika dan menepuk pelan punggung belakang Mimika secara beraturan, hingga napas deru Mimika secara bertahap menjadi tenang.
Beberapa menit berlalu dengan posisi yang sama. Perlahan Alfredo berdiri dengan menopang sebelah kakinya naik ke atas dan keluar dari pinggiran kolam renang. Dia mengubah posisi Mimika dan menggendongnya masuk–kembali ke dalam rumah.
Dia meletakkan sebuah batalan mini dari atas sofa untuk dijadikan sandaran kepala Mimika, kemudian menurunkannya secara pelan seakan-akan Mimika sosok yang rapuh. Mimika tidur di atas sofa dengan lelap.
Alfredo mengulum senyum melihat raut wajah cantik Mimika saat tertidur, sebelum akhirnya dia pergi ke dalam kamar dengan membawa keluar sebuah selimut hangat dan handuk kecil dari dalam lemari kamarnya.
Dia mengusap pelan kaki Mimika yang masih basah terkena pinggiran air kolam renang, kemudian menyelimuti tubuh Mimika dengan selimut hangat dari ujung kaki, hingga menutupi hampir seluruh tubuhnya.