Alfredo pulang disambut oleh mamanya yang telah menunggunya sedari tadi di ruang tamu, lantaran penasaran dengan waktu yang anaknya habiskan dengan seorang gadis.
"Gimana tadi ….,” pertanyaan Linda terhenti, begitu ia melihat darah yang mengalir dari dahi Alfredo. Dia langsung menghampiri Alfredo dan melihat luka yang dialami oleh anak semata wayangnya.
"Astaga! Kenapa bisa luka begini?" tanya Linda.
Dari raut wajahnya sudah terlihat, kalau ia begitu khawatir dengan Alfredo.
"Kita berangkat ke rumah sakit sekarang."
"Tidak perlu, Ma," tolak Alfredo.
"Tapi itu berdarah loh. Gimana kalau nanti kamu jadi amnesia atau geger otak?"
Alfredo menggelengkan kepalanya. “Ma, Mama berpikir terlalu jauh."
"Sini duduk, biar mama obatin dulu." Linda menarik Alfredo untuk duduk di atas sofa.
Linda kemudian berjalan pergi meninggalkan Alfredo sendirian. Dia masuk ke dalam kamarnya dan keluar dengan membawa kotak P3K dalam tangannya. Dia meletakkannya di atas meja dan berjalan pergi ke dapur.
Linda kembali dengan membawa sebuah handuk kecil dan mangkok yang berisi air bersih. Sebelumnya ia sudah mencuci tangannya terlebih dulu di dapur.
Pertama-tama dia membersihkan luka Alfredo dengan handuk yang ia bawa dan dicelupkan ke dalam air bersih, lalu ia peras guna mengurangi air berlebih.
Linda meletakkan handuk kembali ke dalam baskom, kemudian membuka kotak P3K dan mengambil kain kasa. Dia menempelkan kain kasa yang lebih tebal dan menekannya, sambil menatap lekat wajah Alfredo.
"Sebenarnya apa yang terjadi denganmu?"
Alfredo mencoba mengingat. Dia terlihat sedang berpikir sejenak, lalu membuka suara, “Tadi di jalan aku sempat rem mendadak karena melihat ada orang yang berdiri di tengah jalan."
Linda menyimak cerita Alfredo. "Lalu?"
Alfredo mengerutkan keningnya. “Anehnya, setelah aku lihat ke depan gak ada siapa-siapa Ma. Mana kondisinya di jalan itu agak gelap dan sepi lagi."
"Kamu tidak nabrak orang, kan?" tanya Linda dengan raut wajah serius.
“Terakhir aku lihat memang sungguh gak ada orang. Aku bahkan gak ada dengar suara apa pun di sana." Raut wajah Alfredo langsung berubah menjadi datar.
Linda mengernyitkan dahinya. Dia agak heran mendengar cerita dari Alfredo, namun ia memilih buat tidak membahas lebih lanjut masalah ini.
"Yang penting sekarang kamu baik-baik saja,” kata Linda pada akhirnya.
Alfredo pun setuju dengan ucapan Mamanya. Dia menganggukkan kepalanya sekali.
Linda berusaha mencairkan suasana. “Jadi, gimana sama pacarmu itu?"
Alfredo terkejut mendengar pertanyaan dari Mamanya. Dia langsung meluruskannya.
"Ma, dia bukan pacarku."
"Baiklah. Mama rubah. Calon pacar,” ralat Linda.
"Tunggu bentar, Ma," kata Alfredo.
"Mau kabur dari pertanyaan Mama, ya?" tanya Linda, sedangkan Alfredo sendiri sedang sibuk merogoh saku celananya dan mengambil keluar ponselnya dari sana.
"Bukan begitu, Mama. Aku mau kasih kabar ke Mika dulu.” Jelas Alfredo sambil mengetikkan pesan ke Mimika.
"Oh, jadi nama panggilannya Mika."
Terdiam beberapa saat, lalu Linda berkata, "Mama cukup menyukai gadis itu."
"Benarkah?" Lantas Alfredo langsung melihat ke arah Mamanya.
Linda mengangguk sekali, lalu tersenyum ke Alfredo. “Sering-sering lah, bawa dia mampir ke rumah."
"Siap, Ma!" seru Alfredo.
Spontan Linda berujar, “Bisa pekak nanti Mama kamu buat, ya.”
Alfredo hanya cengar-cengir dan kembali melihat ke layar ponsel. Dia melihat apakah ketikannya sudah benar atau masih ada yang kurang. Setelah itu ia kirim pesannya ke Mimika.