Tangan dan kaki Mimika yang terluka sudah selesai diberi obat oles, kemudian diperban dengan kain kasa tebal dan yang terakhir ditempel dengan perekat perban.
Dahi Alfredo yang terluka sebelumnya langsung diganti dengan perban yang baru. Sebelum itu sudah dilakukan pengecekan terlebih dulu oleh dokter yang menanganinya. Beruntungnya tidak ada masalah yang serius dan hanya diberi salep agar lukanya cepat mengering dan tidak menimbulkan infeksi.
Sekarang Mimika sedang bersama Alfredo. Mereka berdua masuk ke ruang dokter spesialis radiologi. Sebelumnya, mereka berdua telah melakukan X-Ray guna mengetahui kondisi tulang dan sendi. Hasil pemeriksaan sudah keluar dari tadi dan hasil yang keluar tidak ada masalah, tapi Alfredo masih perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Mimika mengedarkan pandangan dan melihat ke sekeliling ruangan. Ada salah satu barang yang paling menyita pandangannya. Di tengah meja terpampang plang nama meja dengan nama beserta gelar 'Dr. Paul Gotama, Sp.Rad' yang sama dengan nama belakang Alfredo.
Terdengar suara pintu terbuka, lalu tertutup dalam hitungan detik. Asalnya dari pintu bagian belakang ruangan. Sosok seorang pria paruh baya dengan tubuh tegap dan tinggi muncul di balik tirai berwarna putih.
"Maaf, sudah membuat kalian menunggu lama."
"Tidak masalah, Om," balas Alfredo.
Mimika langsung terkejut dan tak dapat ia sembunyikan. Otomatis pandangan Paul beralih ke Mimika.
"Siapa gadis ini? Pacar kamu ya Al?"
Alfredo melirik ke arah Mimika. “Maunya sih begitu,” jawab Alfredo.
Mimika langsung melemparkan tatapan tajam ke Alfredo, kemudian melihat ke tempat di mana Paul berdiri.
Mimika segera berdiri dan membungkukkan sedikit badannya ke depan. “Halo, Dok. Nama saya Mimika. Teman sekelasnya Al," sapanya.
"Tidak perlu terlalu formal begitu. Santai saja. Boleh panggil saya Om sama seperti Al," kata Paul, “silahkan duduk," lanjutnya. Sesudah itu dia duduk di kursi sandaran empuk dan menghadap ke depan komputer.
"Al, mama kamu tahu kamu lagi di rumah sakit?"
“Engga tahu."
Paul menunjuk kursi yang berada di samping mejanya. “Kamu duduknya di sini dulu.”
Alfredo menoleh ke Mimika sebentar seakan meminta izin. Mimika hanya menatapnya dengan tatapan polos. Alfredo kemudian berjalan mendekat ke tempat di mana Paul berada. Dia langsung duduk di kursi yang ditunjuk oleh Paul.
Paul langsung berdiri dan mengecek belakang punggung Alfredo serta sedikit menekan bahu, tangan, serta kaki Alfredo.
Alfredo sedikit meringis ketika Paul menekan punggung dan bahunya. Paul langsung kembali ke tempat duduknya.
"Sudah berapa lama kamu sakit di bagian punggung dan bahu?" tanya Paul.
Alfredo langsung memijit pelipisnya. Beberapa kali dia mengedipkan matanya dan melihat entah ke mana-mana. Dengan ragu dia menjawab, “Itu … sebenarnya kita berdua habis jatuh dari tangga.”
"Ya ampun! Kok bisa?"
"Iya, tergelincir, Om," jawab Alfredo santai.
Padahal sebenarnya Alfredo merasa ada sesuatu hal yang cukup mengganjal, seperti ada seseorang yang mau mencelakainya, tapi bakalan aneh dan tidak mungkin ada yang percaya kalau dia bilang begitu. Lantaran di dalam rumah Mimika, hanya ada dia dan Mimika. Menurutnya lebih baik ia simpan sendiri saja, sebelum mengetahui yang sebenarnya telah terjadi.
Paul melirik Alfredo dan Mimika secara bergantian. Dia menghela napas. “Kalian berdua harus berhati-hati," kata Paul.
Paul mengambil bolpoin dan sebuah kertas. “Sementara ini kamu istirahat saja dulu di rumah. Kubuatkan surat izin,” katanya. Dia mulai menuliskan sesuatu di atas kertas.
Alfredo lantas menolak. "Tidak perlu, Om.”
Paul langsung berhenti menulis dan memberikan tatapan tajam ke Alfredo. “Apanya yang tidak perlu?!” Dia kembali menggoreskan tinta di atas kertas. “Kamu harus dicek lebih lanjut. Datang lagi setelah 3 hari. Terhitung mulai malam ini,” putusnya.
"Baiklah," ucap Alfredo pasrah.
Paul memberikan surat izin ke Alfredo. Dia agak kepikiran, begitu menatap Alfredo lebih lama. “Kamu ke sini naik apa?" tanya Paul.