"Coba kamu ceritakan tentang teman masa kecil Mimika padaku," pinta Linda, tanpa melakukan sapaan terlebih dulu ke Monika.
"Mmm … Tiba-tiba begini, ya. Baiklah. Kalau begitu aku tanya duluan ke kamu. Anak itu namanya Doreko Rebon, anak dari Rosalia. Kamu masih ingat Rosalia?"
"Rosalia?"
Linda mencoba mengingatnya. "Yang mana?"
"Teman aku dari sekolah lain, yang pernah kuceritakan ke kamu."
"Yang kata kamu suaminya kecelakaan?"
"Iya. Benar."
"Terus?"
"Aku pernah ke rumah kamu dan meminta bantuan kamu buat merekomendasikan dokter spesialis untuk penyakit leukimia. Kamu ingat?"
"Ya, aku ingat itu. Apa dia teman kamu yang kamu bilang sedang sakit keras?"
"Iya, benar. Waktu itu Rosalia memiliki seorang anak yang berumur delapan tahun. Dia meninggal dan anaknya selama ini tinggal di rumahku."
Linda tampak kaget. "Jangan bilang anaknya juga terkena penyakit berat itu?"
"Ya, benar."
"Kasihan sekali anak itu."
"Apa boleh buat, Linda? Kita sudah berusaha yang terbaik untuk anak itu, tapi yang namanya takdir kematian itu kapan, tidak dapat kita perkirakan."
"Sudah berapa lama dia meninggalnya Monika?"
"Baru-baru ini. Bahkan belum lewat 18 hari."
"Melihat putrimu, aku jadi mengingat masa laluku yang kelam."
"Bagaimana dengan dirimu yang sekarang?"
Linda tersenyum. Dia kemudian menjawab, "Tentu aku sekarang sudah jauh lebih baik, tapi tetap saja aku belum dapat mengeluarkan semua barang kenanganku bersama dia. Kusimpan semua di dalam gudang."
"Setidaknya kamu sudah sadar dan tidak melakukan lagi tindakan yang gila seperti waktu itu. Kuharap tidak ada kata lain hari. Aku tidak bisa selalu menolongmu, kan?"
"Ya … Aku sangat berterima kasih ke kamu."
"Jadi, gimana dengan putriku? Dia sepertinya tidak berniat menghubungiku kembali."
"Kemarin aku habis ngobrol dengannya. Sepertinya dia langsung tidur sesudah aku kembali ke kamarku. Penting kamu tahu dia aman di rumahku sekarang. Nanti juga dia bakal menghubungi kamu. Selain itu, putraku turut ikut menjaganya, jadi kamu bisa lebih tenang di sana.”
"Sejak kapan mereka kenal?"
"Mungkin karena mereka satu sekolah dan sekelas."
Monika di seberang sana langsung beranjak dari kursi.
"Aku baru tahu ...."
"Bukannya bagus? Apa yang kita inginkan dulu sewaktu masih sekolah kemungkinan besar dapat tercapai?"
Monika tertawa di seberang sana.
"Menjodohkan anak kita nanti dan kita jadi besanan?"
"Aku yakin ini bukan sebuah kebetulan. Keinginan kita yang dulu bakalan menjadi doa yang terkabul nih."
"Ya, pokoknya selama ada kamu, aku percaya saja."