BENANG MERAH

Huang Wiwin
Chapter #28

Part 28 Hari Terakhir

Bunyi suara alat medis yang terpasang pada setiap pasien yang berada di dalam ruangan ICU terasa begitu mencekam. Seakan hidup setiap orang yang berbaring di ranjang pasien hanya tinggal menunggu waktu.

Mereka bernapas dengan mengandalkan alat bantu napas yang terpasang di tubuh mereka. Sepasang mata mereka tertutup rapat seperti tengah mengalami mimpi panjang yang entah kapan akan kembali sadar.

Pertama kalinya Mimika masuk ke tempat ini dan merasakan situasi yang bagaikan mimpi buruk baginya. Pemandangan di sekitar membuat Mimika ketakutan.

Mimika memegang erat ujung kaus yang ia kenakan. Seluruh tubuhnya terasa berat untuk melangkahkan kaki melewati setiap pasien yang terbaring lemah di sebelah kiri dan kanan dari tempatnya berdiri.

Suara lain yang terdengar berbeda dari alat medis yang sedang mereka pakai menjadi lebih suram dan penuh kesibukan, begitu layar mesin pernapasan medis yang berfungsi sebagai alat bantu napas yang semula masih bergelombang menjadi datar.

Dokter dan suster yang sedang berjaga di dalam ruangan langsung berlari ke asal suara. Dengan napas tertahan, Mimika menguatkan diri untuk berjalan ke tempat di mana dokter dan suster berada.

Mimika mengintip dari samping. Dia langsung dapat bernapas lega, ketika melihat bukan Doreko yang sedang terbaring di sana, melainkan orang lain. Disela itu, dia sendiri turut ikut merasa sedih dan bahkan begitu ketakutan melihat kondisi pasien sudah tak tertolong.

Mimika berjalan menjauh dari sana sembari mengintip satu per satu pasien yang berada di dalam ruangan, hingga ia melihat sosok Doreko sedang terbaring tak sadarkan diri di ranjang pasien dengan berbagai alat medis terpasang pada tubuhnya.

Suara isak tangis terdengar begitu jelas di telinga Mimika. Suara itu berasal dari keluarga pasien yang barusan dinyatakan meninggal oleh dokter. Tubuh Mimika secara otomatis merespon. Tubuhnya bergetar dan bibirnya terasa kelu. Dia benar-benar takut kehilangan Doreko. Dia memegang tangan Doreko yang bersih tanpa infus.

"Aku mohon kamu jangan pergi." Mimika menggenggam dengan erat tangan Doreko.

Pasien yang meninggal telah ditutup dengan selimut putih dan didorong keluar dari ruang ICU. Kondisi di sekitar kembali sunyi dan hanya terdengar bunyi alat medis seperti semula.

Mimika terdiam dan menatap lekat raut wajah Doreko. Dia tidak melepaskan pegangannya pada tangan Doreko. Dia takut Doreko bakalan pergi kalau dia tidak lagi memegang tangan Doreko.

Tangan kiri Mimika perlahan mengusap alis Doreko, lalu turun ke mata Doreko. Dia mengelus pelan pipi Doreko.

Tanpa dapat ia cegah, air matanya mengalir dengan sendirinya. Dadanya terasa sesak. Hidungnya agak susah mengambil napas, lantaran ia sudah terlalu lama menangis di samping Doreko.

Mimika mengusap air matanya. Dia berusaha mengumpulkan dan mengeluarkan udara melalui mulutnya. Dia mengulangi sebanyak yang ia mau sampai merasa kondisi pernapasannya sudah membaik.

Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri. Dia tidak ingin terjadi sesuatu padanya. Andai terjadi apa-apa padanya, maka siapa yang dapat menjaga Doreko?

Suster yang berjaga di dalam sana mengangkat salah satu kursi dan menaruhnya di samping Mimika. "Duduk di sini saja. Saya lihat kaki Anda sedang terluka."

Lihat selengkapnya