Semburat cahaya menghadap ke tempat di mana peristirahatan terakhir Doreko Rebon. Rasanya hari kedatangan Mimika dan Alfredo di tempat di sambut dengan baik. Seakan hari ini menjadi hari yang istimewa.
Mimika hari ini datang dengan pakaian kaus putih berlogo TB di sisi sebelah kiri dengan balutan jaket hitam berukuran besar dan celana panjang berwarna hitam. Ia memakai sepatu bertali senada dengan warna pakaiannya.
Alfredo sendiri hanya memakai kaus polos berwarna putih, celana ponggol berwarna hitam, dan sandal jepit. Alfredo lebih suka pakaian yang membuatnya dapat bebas bergerak dan terasa nyaman saat ia kenakan.
Mimika menaruh sebuket bunga tulip di atas tanah yang sudah mulai ditumbuhi dengan rerumputan. Mimika mengusap-ngusap area sekitar batu nisan Doreko, lalu ia memegangnya dan berjongkok di sana.
"Al, hari ini aku datang buat ketemu kamu. Kamu apa kabar? Kamu lagi di mana sekarang? Kamu engga mau balik lagi ke rumah, ya? Aku tidak melihatmu di rumah kita."
Alfredo melihat Mimika cukup lama, lalu kemudian beralih ke batu nisan yang bertuliskan nama Doreko Rebon.
Aku udah bawa dia ke sini hari ini. Aku akan menjaga dia dengan baik.
Alfredo kembali melihat ke arah Mimika. Wajah Mimika sudah berlinang air mata. Alfredo turut ikut berjongkok di samping Mimika. Tangan kirinya ia angkat ke atas menghadap ke wajah Mimika. Dengan perlahan dia mulai mengusap air mata yang jatuh membasahi pipi Mimika.
"Al, gi—gimana kalau dia benar-benar pergi? Pergi tanpa pamit?" tanya Mimika dengan suara parau.
Alfredo memegang kedua bahu Mimika. "Kalau begitu relakan dia, Mika. Biar dia pergi dengan tenang."
Matanya mulai berkaca-kaca kembali. Alfredo membawa Mimika ke dalam dekapannya. Dia mengelus pelan rambut Mimika. "Tidak baik kalau kita terus-menerus menangisi seseorang yang telah pergi."
Mimika tidak membalas ucapan Alfredo. Dia hanya tetap menangis dalam pelukan Alfredo. Ucapan Alfredo tidak salah sama sekali, tapi Mimika tetap masih belum dapat melepaskan kepergian Doreko.
Doreko berada tak jauh dari mereka. Dia ada di antara salah satu pohon rindang yang ada di sana. Mereka tak menyadari kehadirannya. Tatapan matanya begitu sendu. Ia begitu ingin mendekat dan memeluk Mimika, tapi posisinya sudah digantikan oleh Alfredo. Dia hanya dapat melihat keduanya dari kejauhan.
Alfredo melepaskan pelukannya dan menatap mata Mimika yang sudah membengkak. "Kita balik ke rumahmu ya," kata Alfredo.
Mimika hanya diam saja. Alfredo berdiri terlebih dulu, lalu ia membantu Mimika untuk berdiri. Alfredo melihat ke batu nisan Doreko. "Kita pamit dulu. Akan kujaga Mika dengan baik."
Sepasang mata milik Mimika langsung terbuka lebar. Alfredo memberinya sebuah senyuman, lalu menggandeng tangan Mimika berjalan pergi dari tempat peristirahatan terakhir Doreko.
****************
Mereka berhenti dan turun di sebuah tempat makan dan disambut dengan ramah oleh karyawan yang bekerja di sana. Mimika memilih untuk duduk di tempat yang pencahayaannya lebih terang. Dari tempat mereka dapat terlihat pemandangan di luar sana yang menghadap ke arah belakang–dibatasi dengan sebuah kaca besar.
Pemandangan taman dengan kolam ikan menyita pandangan Mimika. Adanya bebatuan kecil berwarna putih menghiasi area sekitar kolam, rerumputan hijau, dan air yang mengalir dari atas kolam. Ikan yang berada di dalam kolam terlihat banyak dan berukuran cukup besar.
Alfredo menyentuh tangan Mimika. "Mau pesan yang mana?"
Mimika refleks menoleh. "Bebas saja. Kamu yang bagian mesen saja."