Ada pertemuan dan ada pula perpisahan. Sisi akhir yang paling menyakitkan adalah orang yang pergi terlebih dulu. Meninggalkan berjuta kali lipat kesedihan bagi seseorang yang ditinggalkan dengan banyak kenangan dan memori di dalamnya.
Seseorang memencet bel berulang-ulang kali. Mimika yang baru tidur sebentar langsung terbangun. Dengan kesal dia menyibakkan selimutnya ke samping, lalu dia beranjak dari ranjang.
Dengan langkah gontai dia berjalan menuju ke arah pintu kamarnya dan membuka pintu kamarnya begitu tiba di depan pintu.
"Al," panggilnya, tapi tak ada sautan dari Alfredo.
Dia menuruni tangga perlahan, hingga tiba di lantai satu. Dengan malas dia pergi membuka pintu utama. Kedua matanya langsung melebar. Dia mengucek-ngucek agak lama kedua bola matanya, lalu melihat kembali dengan jelas dan nyatanya tidak ada yang berubah. Dia benar-benar melihatnya. Sosok yang paling ia rindukan, sekarang ada di depan mata.
Tanpa berpikir panjang dia langsung menerjang sosok di depannya dan memeluknya dengan begitu erat. Sosok yang Mimika peluk menyambut dengan tangan terbuka.
Selang beberapa menit, sosok itu melepas pelukan Mimika dan menatap Mimika dengan raut wajah serius. "Waktunya sudah tidak banyak. Kita harus cepat."
Mimika bingung. Dia berusaha mencerna ucapan dari lelaki di depannya, tapi ia tetap tidak mengerti. Tanpa menunggu lebih lama, lelaki itu menggenggam tangan Mimika dan langsung masuk begitu saja ke dalam rumah.
"Kita mau ke mana?" tanya Mimika, namun tak ada sautan sama sekali. Mimika hanya dapat mengikuti dorongan dari lelaki yang membawanya naik ke lantai dua.
Lelaki itu membawa Mimika masuk ke dalam kamar yang tengah Alfredo tempati selama beberapa minggu ini, namun sekarang Alfredo sedang tidak ada di tempat.
Suasana di ruangan kamar benar-benar kosong tanpa penghuni di dalamnya, tetapi kondisinya persis sama seperti sebelum Alfredo tempati.
Mimika mengernyitkan dahi. Dia membatin, Ke mana Alfredo?
Lelaki itu melepaskan Mimika dari genggaman tangannya, kemudian menatap Mimika secara intens. "Aku ada di sini, tapi pikiranmu tertuju ke cowok itu."
Mimika menelan ludahnya. "Kamu bisa mendengarnya?"
"Abaikan saja. Sekarang aku mau memberitahumu tentang banyak hal yang belum pernah kusampaikan sebelumnya, tapi karena waktuku tidak banyak ... Aku akan mempersingkat dengan sebisaku."
"Waktumu tidak banyak? Kamu mau ke mana?" tanya Mimika, "Kenapa terburu-buru?" lanjutnya. Dia tidak habis pikir dengan sosok lelaki di depannya.
Raut wajah lelaki itu terlihat begitu serius. "Mika, aku sayang banget sama kamu."
Mimika mengangguk. "Aku tahu kamu sayang sama aku. Aku pun sama."