Benang Merah

Bulan Purnama
Chapter #1

PROLOG# Bonus

“HIDUP ibu sekarang ini adalah BONUS! Tuhan memberikan bonus berupa KEHIDUPAN kepada ibu. Selamat ya! Ibu harus banyak-banyak BERSYUKUR”

Wajah dan suara dokter yang pertama kukenali saat aku membuka mata. Pelan-pelan aku tersadar dimana aku berada.

Terbaring aku memandang wajah dokter lurus diatasku, menembus langit-langit rumah sakit, menuju langit diatas langit berlapis-lapis melewati batas langit.

Aku mendengar seseorang bicara, kalau detak jantungku sempat menghilang dari EKG - Electrocardiogram, lalu tiba-tiba getarannya muncul kembali sesaat ketika aku hampir dinyatakan mati.

Beritanya aku kehabisan darah. Post Partum, pendarahan pasca melahirkan. Aku melihat pergelangan tangan dan jari-jariku menggelembung seperti balon, segar seperti baru diinfus dengan berbagai macam cairan. Hanya ada dua pilihan, kehilangan nyawa atau rahimku.

Akhirnya aku harus kehilangan bagian yang penting dari seorang wanita, alat reproduksi. Aku merasa kata-kata dokter sepertinya hanya untuk menghiburku saja.

Aku telah melewati masa kritisku.


***


Ah, aku ingat sekarang. Ibu tengah menyuapiku di ranjang rumah sakit, sesaat setelah aku melahirkan putriku. Semuanya berjalan lancar dan baik-baik saja, ketika seorang perawat tiba-tiba mendapati lantai di bawah tempat tidur bersimbah darah.

Dibukalah selimut yang menutupi sebagian tubuhku. Ternyata kasur dan sprei yang kutiduri sudah berubah warna menjadi merah semua, darah dimana-mana, namun aku tidak merasakan apa-apa.

Seketika terjadi kepanikan dan kegaduhan di dalam ruangan. Tindakan pun segera dilakukan oleh dokter jaga dan perawat di ruang itu juga. Kulit kemaluan di jahit, ditusuk dengan sebuah jarum melengkung, tanpa anestesi. Tanpa bius lokal maupun total. Sakitnya jangan ditanya.

Aku berteriak. Aku berontak! Tak ada yang menghiraukan. Peluh bercucuran. Sekujur tubuh tegang. Aku menangis dan berteriak tak karuan. Untuk ketiga kalinya jarum melengkung itu kurasakan menembus kulit, sekuat tenaga aku berteriak ..."IBUUUUUUUU!!!!!!!"

Lalu pingsan!


***


Aku siuman lagi ketika merasakan beberapa orang mendorong ranjang tempat tidurku setengah berlari melalui koridor rumah sakit menuju ruang operasi. Koridor yang panjang dan berliku, bahkan dengan langkah terburu-buru pun rasanya lama sekali perjalanan itu, sampai sampai aku tak sadarkan diri lagi. Berkali-kali.

Tau-tau sudah berada di ruang operasi. Dokter dan perawat menyiapkan alat-alat operasi, tabung oksigen, tabung nitrogen, ah aku tak yakin tabung apakah itu, nitrogen atau gas lainnya, semuanya serba terburu-buru. Sempat aku mendengar dokter memarahi salah seorang perawat karena hampir saja salah memasukan selang itu kedalam hidung dan mulutku.

Aku tahu apa yang terjadi di ruang operasi tapi aku tak dapat berbuat apa. Kesadaranku masih ada tapi tubuhku tak berdaya, bahkan untuk sekedar membuka mata.

Dokter membuka kelopak mataku dan menyorotkan lampu senter. Aku merasakan cahaya lampu senter yang jauh dan samar-samar. “Masih ada” katanya.

Iya aku masih hidup dok, batinku tak berdaya.

Kemudian mereka memasukan selang-selang ke mulutku, menyentuh tenggorokanku yang membuat air ludah menggenangi rongga mulutku. Sekuat tenaga aku menyemburkannya keluar, ternyata aku memang sudah tak punya daya ketika aku merasakan air dari mulutku hanya tumpah mengalir keluar ke pipiku, ke dagu ke leher, basah semua. Dokter memarahi, “Ibu! Ibu jangan melawan! Kita sedang menolong ibu!”

Ah, bagaimana dokter tahu kalau aku tengah melawan. Padahal air itu hanya mengalir keluar. Bermacam macam cairan masuk ketubuhku dan aku merasakan waktu berjalan lama sekali, aku semakin lemas dan hanya mendengar dokter memarahi lagi “Ibu! Ibu jangan tidur! Kita sedang menolong ibu. Ibu jangan tidur!” Dokter menepuk nepuk berkali kali pipiku dengan agak keras.

Tapi aku sangat cape dan mengantuk. Ngantuk yang teramat sangat, ketika kurasakan dokter menampar pipi lagi. Aku mengantuk dok, aku ingin tidur sebentarr saja... sebentarrrr saja. Jeritku lirih di lubuk hati.

“Ibu jangan tidur!!!” Dokter sepertinya mendengar jeritanku dalam diam.

Dan aku terjaga lagi di bawah sadarku.

Untuk kesekian kalinya aku merasa hilang, ketika terdengar olehku suara anak kecil memanggil-manggil.

Mama! Mama! Mama! Seirama alat pacu jantung yang dipasang ditubuhku.

Detak suara alat pemacu jantung itu sudah berganti dengan suara anak kecil yang memanggil mama dengan nada pendek dan menghentak berkali kali. Terdengar bergaung di seluruh ruangan.

Mama. Mama. Mama.


***


“Ibuuuu ... Ibu”

Lihat selengkapnya