Acara Brainstorming di Puncak berakhir pagi itu tanpa call atau misscall dari Bintang, suaminya. Tidak juga smsnya untuk sekedar basa-basi.
“Mas, kamu kok nggak nelpon sih, sedih banget loh kemaren. Kaya anak hilang tau, nggak ada yang nyariin. Orang-orang tuh pada ditelponin sama istri-istri mereka. Ngobrol, jadi yang denger juga enak.” Protes Luna setengah memelas di dalam mobil dalam perjalanan pulang dari kantor.
“Kalau istri-istri mereka pada telpon sih wajar saja. Itu tuh bukan karena perhatian semata. Suami-suami mereka kan nginep di Puncak, jadi was-was juga, takut suaminya macam-macam.” Jawab Bintang enteng. “Kalau aku kan positive thinking, aku percaya sama kamu mbak, nggak mungkinlah kamu macam-macam. Memangnya mau macam-macam sama siapa?” Lanjutnya penuh percaya diri.
“Orang pengen ditelpon aja...,” keluhnya.
“Ntar kalo ditelpon katanya, baru pergi sehari sudah ditelponin melulu. Kesannya kok nggak percaya. Lagian kan udah sama gedhenya, kalo pun mau nyasar kan sudah tau jalan pulang,” lanjut Bintang dengan santainya.
Huh, kesal.
***
Dan benar saja, apa yang dikhawatirkan Luna terjadilah.
‘Mas saya sudah sampai. Aku tunggu di tempat biasa ya’ Begitu isi pesannya. Sent. Hari yang sama waktu acaranya di Puncak.
“Jadi kemana saja kamu mas selama saya pergi?” Pancing Luna dilain kesempatan di dalam mobil dalam perjalanan pulang.
“Ya bergerak. Mencari peluang. Yang namanya Pengusaha kalau nggak pintar-pintar cari peluang siapa yang mau ngasih uang coba? Memangnya pegawai, mau perusahaan untung atau rugi mana perduli, yang penting habis bulan gajian.” Papar pria itu panjang lebar, “Memangnya kenapa?” Lanjutnya kemudian.
Luna tak segera menjawab,“Kamu pernah denger nggak, Serigala berbulu domba?” Katanya balik bertanya.
Bintang diam.
“Kamu tahu nggak apa artinya musuh dalam selimut?” Cecar perempuan itu lagi.
Masih tetap diam.
“Ngomong dong mas.”
“Ngapain sih mikirin yang nggak penting, ngomongin sesuatu yang nggak ada benefitnya?” Jawab Bintang datar.
“Aku lagi butuh teman buat dengerin unek-unek, ini masih ada yang ngganjel di hati.”
“Kamu tuh typikal melankolis ya. Mungkin melankolisnya 100%. Kalo aku kan pragmatis.” Sahut Bintang mengalihkan pembicaraan.
“Mas, kenapa sih mas kamu tega sama aku?” Luna bersikeukeuh dengan perasaannya.
Sejenak, Bintang memandang perempuan di sebelahnya.
“Jujur aja, pengennya aku tuh selalu nyayangin kamu, ngebahagiain kamu, nyenengin hati kamu. Aku nggak pernah pengen lihat kamu sedih, lihat kamu susah atau pusing, terus terang kalo kamu sedih aku yang lebih sedih. Kalo kamu susah, aku lebih susah…”
“Ya sudah lakuin aja,” potong Bintang cepat.
“Tapi kamu nggak pernah ngehargain perasaanku.”
“Itukan perasaan kamu saja.”
“Kamu nggak pernah perduliin perasaanku.”
“Itukan kata kamu.”
“Buktinya tiga hari aku diam, kamu nggak pernah nanya,” tegas Luna.
“Siapa tau kamu lagi nggak ingin ditanya,” tanya balik Bintang.
“Lantas kalau aku diam terus, kamu juga diam terus gitu?”
“Ya enggak juga.”