Tiba tiba Luna merasa kasihan pada kucing itu. Dia tertidur meringkuk di sebelah keyboard komputernya. Luna membiarkannya beristirahat disitu. Biasanya Luna tak mengijinkannya bermalam di dalam rumah ini, tapi malam itu sungguh tak ada daya Luna mengusirnya, rasanya Luna dapat merasakan kelelahan yang teramat sangat diwajahnya.
Luna menyediakan kandang untuknya diluar sana. Kandang itu tak pernah dikunci. Dia bebas keluar masuk sesuka hati. Kadang ada makanan di dalamnya, kadang kucing itu keluar mencari makanan sendiri. Namun sejauh ini dia selalu pulang kembali.
Dia bukan kucing Anggora, kucing Persia atau kucing mahal lainnya. Dia kucing kampung biasa. Hanya saja bulunya yang Putih badannya yang gemuk membuat dia terlihat lebih istimewa dari kucing kampung lainnya.
Mungkin karena itu dia sering kege-eran, setiap kali Luna menyapu lantai dianggapnya sedang mengajaknya bermain, dia akan berguling guling akrobatik mengikuti ayunan sapu itu.
“Mamah tau ga ciri ciri ayah pulang?” Tanya Bright pada suatu malam di dalam kamar sebelum tidur.
Luna yang tengah mengantuk kembali memeluknya.
“Ada suara pintu dibuka, suara kunci mobil ditaruh. Dan Meeoongg... suara si Putih,” lanjutnya tanpa menunggu jawaban dari mamanya.
Putih memang tak pernah tidur sebelum Bintang pulang.
Dia memang kucing yang setia.
Luna dan suaminya memang mempunyai dunia sendiri sendiri, jadwalnya tak beraturan karena dia juga bukan orang kantoran, tapi biasanya saat Bintang pulang Luna sudah tidur duluan.
Ahh mungkin malam ini Bright menunggu si Putih mengeong, Meoong...
Sudah lewat tengah malam ayahnya belum pulang.