CINTA, Gadis kecil kelas tiga SD itu menangis, bahunya berguncang sesenggukan, matanya sembab. Kedua tangannya memegang erat Handphone yang dia tempelkan ditelinganya. Disebelahnya assisten rumah tangga duduk di lantai membiarkannya karena tak tau harus berbuat apa.
Tubuhnya kecil dan kurus bukan karena kurang makan atau kurang gizi. Anak kecil ini banyak temannya tapi jarang bicara. Tapi hari itu sepi, teman temannya entah pada kemana. Dirumahnya berbagai macam mainan ada. Bahkan ada juga kolam renang di belakang rumahnya. Buku buku, majalah dan entah apa yang tidak ada dirumah itu. Semuanya ada.
Yang tidak ada, Ayah Ibunya.
Ayah ibunya sedang Touring bersama group Mogenya selama dua minggu ke Australia. Rasanya baru kemarin aku mendengar kalau mereka touring ke Germany sekarang sudah pergi lagi.
Assisten rumah tangga satunya lagi yang lebih senior, Bu Hari namanya mengeluh kalau Cinta menangis semalaman tak mau diam. Akhirnya bu Hari pun hanya bisa uring-uringan dan marah-marah sebagai pelampiasan kekesalannya.
Aku mengangkat tubuh kecil itu dan memeluknya, membiarkannya menyelesaikan tangisannya. Kucium kepalanya dalam dalam. Keringat dan air mata bercampur membasahi pipi dan leher gadis kecil itu. Sebagian rambutnya jatuh ke muka ikut basah dan menempel di pipinya.
“Mba tolong ambilkan sisir sama karet rambut,” kataku.
Bu Hari membawakan sisir dan karet. Aku menyisiri rambutnya pelan-pelan dan diikat kebelakang.
Kini muka anak kecil itu tampak lebih terang.
“Sini tante pinjam Hapenya. Mau telpon siapa Cinta?”
“Mama...,” lirih dia bersuara. Ahh Aku lega bisa mendengar suaranya. Diberikannya Hape itu padaku.
“Mungkin mamanya kehabisa batre, jadi nggak tau kalau Cinta nelfon. Lagian, kalau lagi di jalan sinyalnya suka ilang, jadi telponnya nggak bisa nyambung.” Aku menjelaskan dengan serius sambil menatap mata gadis itu dalam dalam.
Sang Assisten rumah tangga itu cerita kalau sepanjang malam anak itu mencoba menghubungi mamanya tapi nggak bisa, lelah menangis dia tertidur dan terbangun lagi, lalu menelfon mamahnya dan menangis lagi dan tertidur lagi dan menelfon lagi sepanjang malam hingga pagi ini.
“Besok besok nggak usah telpon mamanya lagi ya. Nanti kalau acaranya sudah selesai kan mamanya pulang. Sekarang Cinta main aja,” pesanku.
Cinta diam saja.
“Orang sudah gedhe kok dibilangin nggak mau ngerti,” keluh bu Hari.