"HAIIIIIII” Sapa Lia dari balik pintu riang menyambutku.
Tertegun melihat sosok di depanku serta merta kusorongkan pipiku ke pipinya kanan-kiri tuk menetralisir keterkejutanku.
“Kapan datang?” Lanjutnya masih dengan suara riang.
Senyumnya mengembang lebar menampakan beberapa gigi kanan kirinya sementara gigi bagian depannya tak satupun yang tersisa, ompong. Rambutnya hampir semuanya memutih, badannya lebih kurus dari yang terlihat ketika terakhir kali bertemu beberapa tahun lalu, namun terlihat sehat.
“Kemaren” Aku masuk mengikutinya kedalam.
Segunung baju-baju dalam kantong-kantong plastik, bed cover, gorden, boneka memenuhi hampir seluruh isi ruangan. Ruangan itu tak ubahnya seperti gudang hanya sedikit yang tersisa untuk kursi tempat kami duduk.
“Jadi sekarang usaha Laundry?” Tanyaku beberapa saat kemudian.
“Iya Alhamdulillah ini sudah mulai ramai, apalagi menjelang lebaran.” Lia mengambil gelas piring dan cangkir kotor di meja dan membawanya masuk.
Tidak banyak yang berubah dirumah ini, photo keluarga besar yang sudah pudar warnanya, cat dinding yang sulit dijelaskan warnanya, rak sepatu berdebu yang sudah tidak berwarna, mungkin hanya kursi tamu yang sudah mengelupas permukaannya disana sini yang memperlihatkan warna aslinya.
“Mereka datang anterin cucian ini?” Tanyaku melihat Lia muncul lagi di ruangan.
Ya engga lah. Jemput antar. Kalo nggak gitu mana mereka mau, sudah banyak yang buka usaha laundry seperti ini, persaingan semakin ketat. Jadi ini bagian dari servis juga.” Katanya sambil menyingkirkan baju-baju kotor di kursi panjang, mengambil yang berserakan di lantai dan mengumpulkannya ke sudut kursi yang lain, lalu dia mengambil tempat duduk di ujung kursi lainnya, di depanku.
“Itu apa ga ketuker baju-bajunya?” Tanyaku spontan melihat pakaian kotor lainnya yang masih bertebaran disana sini.
“Ini kan punya satu customer baru mau dicuci, masing-masing taruh dalam kantong sendiri sendiri. Mungkin karena sudah sering nyuci jadi sudah hapal.” Katanya masih sumringah tanpa merasa bersalah. Mungkin memang tidak ada yang salah.
“Oh, rata rata udah langganan ya. Jadi udah jalan berapa lama ?”
“Sekitar dua tahunanlah.”
“Trus antar jemputnya pakai apa? Jauh nggak pelanggannya. Gimana caranya bawa cucian sebanyak ini” Berondongku seperti wartawan yang nggak sabar mengumpulkan berita.
“Pakai motor. Tuh!” Katanya sambil menunjuk motor di balik jendela di belakangku. “Masukin ke karung, ikat di kanan-kiri dan belakang, memang waktu baru-baru agak susah sih harus jaga keseimbangan tapi karena sudah terbiasa jadi lancar saja. Pelangganku paling jauh sekitar 10 kiloan kok jaraknya”, katanya ringan.
“Biasanya aku atur waktunya, pagi nyuci mulai jam 4. Nanti pagi antar anak anak sekolah sambil ambil cucian kotor antar setrikaan. Siang setelah jam dua setrika sampai malam. Kalo nggak diatur waktunya seperti itu ngga bakalan kekejar. Repot.” Paparnya lagi seolah tau pertanyaanku selanjutnya.