Benang Merah

Bulan Purnama
Chapter #24

11-12

Seperti mimpi buruk. Sungguh mengerikan. Rasanya seperti sedang berperang melawan sebuah kekuatan yang tak kelihatan. Fighting against the invisible force. Semakin keras aku bekerja dan berusaha, hasilnya berbanding terbalik.

 Sebaliknya Bintang, yang santai dan sepertinya kerjaannya main-main saja, tidak pernah memikirkan apa-apa, tidak pernah memikirkan anak, istri, pekerjaan rumah, dan segala macam tetek bengek pengeluaran rumah tangga, malah kondisi keuangannya membaik, bahkan bisa dibilang diatas angin.          

 Banyak project yang tiba-tiba datang tanpa susah payah. Mungkin kalau semua itu didedikasikan untuk keluarga, aku tak perlu pusing-pusing. Sayangnya, Bintang hanya menikmati untuk diri sendirinya saja. Bersenang senang sendiri. Tak mau berbagi untuk keluarga, lebih sering keluar malam berkumpul dengan teman-temannya.

  Pernah suatu hari ketika aku benar-benar sangat optmis akan closing dari proyek asuransiku, tiba-tiba calon nasabah membatalkan, lepas. Dan pada hari yang sama, tau-tau Bintang mendapatkan order yang luar biasa. Rasanya seperti aku yang menanam padi, kemudian Bintang yang memanennnya. Sangat tidak adil.

 Sebetulnya akan sangat mudah bila Bintang mau diajak kerja sama. Karena, dimana ada suami yang hebat, dibelakangnya ada istri yang hebat. Dan sebaliknya. Tetapi yang terjadi di setiap kesempatan, Bintang selalu mencoba keluar dari ikatan keluarga. Kalau keluar sekalian malah tak apa, selesai urusan. Malah lebih ringan bebannya. 

  Keberadaan Bintang adalah hal yang sangat menyulitkan. Sepertinya ada, tetapi tak ada. Dibilang tak ada, tetapi ada. Dibilang janda ada suaminya, ada suami tapi tak ada impactnya. Dari sudut manapun dipandang orang tak akan percaya kalau aku sedang dalam kesulitan. Dan sepertinya Bintang sangat menikmati, melihatku terpuruk dan tak berdaya dan harus meminta-minta. Tidak ada kata mudah untuk urusan uang. Hal yang sangat menguras atau menghabiskan energy adalah berbicara tentang Uang. Lebih baik aku mencari sendiri jalan keluarnya.

  Namun bukan itu sebetulnya yang merisaukanku. Adalah ketika Bright sang buah hati menelponnya.

  “Mama, cepat pulang. Ini ada orang dirumah mencari ayah. Ditungguin di teras. Ada lima orang maa,” suara Bright lirih terdengat ketakutan.

 Aku khawatir akan keselamatan Bright karena seringnya Penagih hutang datang kerumah pada saat dia tak ada.



Lihat selengkapnya