Benang Merah

Bulan Purnama
Chapter #26

Boulevard of Broken Dream

Sabtu siang, hujan seolah ditumpahkan dari langit begitu derasnya. Dari jam dua siang sampai hampir petang belum juga menunjukan tanda-tanda akan berhenti. Aku bersama Bright masih berada di dalam Mall ketika sebuah incoming call berbunyi.

 Aida, adikku.

 Dia minta dijemput di Halte Commuter. Aida bekerja dan tinggal di Jakarta. Setiap malam minggu dia sering menginap di rumahku, sebuah Kota Mandiri yang terletak di Timur Jakarta. 

Kutelpon Bintang, “Mas dimana?”

“Kenapa?”

“Tolong jemput Aida di Halte, habis itu mampir ke Mall, aku sama Bright di sini. Sudah dua jam hujan ga berhenti. Kasihan Bright kalo pulang naik motor kehujanan.”  

“Tunggu.” Jawab suara diseberang sana.

 Tak lama kemudian muncul mobil Bintang berhenti di lobby belakang Mall. Bright masuk kedalam mobil, sudah ada tantenya, Aida di dalam. 

Aku pulang mengendarai motor. Walaupun bisa saja mengambil alih mobil, namun aku tau Bintang tak bakalan mau menggantikan membawa motor pulang ke rumah. Buatku permintaan seperti itu hanya akan menghabiskan waktu saja.


***


Kalau ada yang mengatakan wanita tercipta dari tulang rusuk pria, aku sudah menganggap mungkin Bintang tidak punya tulang rusuk, aku menerima dan tidak pernah meminta yang tidak bisa diberikan suami. 

 Mengenakan mantel dan helm, bergegas aku mengendarai motor menembus hujan lebat menjelang petang. Angin bertiup kencang membuat motor oleng sesekali. Dan curah hujan yang lebat menggenangi jalan berlubang membuatku harus beberapa kali mengerem mendadak dan memutar haluan. Untung jalanan sepi sore itu, aku berhasil sampai rumah dengan selamat. Barengan dengan Bintang yang mengendarai mobil di belakangku.

Sebuah pesawat terbang melintas jauh diatas sana. Bahkan disaat hujan, dengan helm di kepala, aku masih bisa mendengar suara pesawat itu bersamaan dengan dinginnya angin sore dan air hujan. Kubuka helmku dan kupandang langit, tak terlihat apa-apa. Namun suara mesin pesawat terbang tak menghilang dari telingaku. Entah apa itu suara mesin atau hanya suara langit yang bergemuruh.

  Mungkin halusinasi. 

 

***       

 

 Akhir-akhir ini aku memang sangat sensitive terhadap suara pesawat terbang. Meskipun Jauh, tapi telingaku seolah peka sekali mendengar suara mesin pesawat.          

Aku suka menebak-nebak, pesawat jenis apa ya yang diatas sana? Mau kemanakah tujuannya? Aku paling suka dengan Scandinavian... ah rasanya kangen sekali saat-saat boarding, mencari-cari nomor tempat duduk sembari diiringi inflight advertisement movie ... seperti yang saat melakukann perjalanan bisnis dulu.  

Dan malamnya, ketika sedang menjemur pakaian, aku mendengar lagi suara bergemuruh diatas sana. Lagi lagi suara mesin pesawat terbang. Entahlah seolah tidak ada suara lain yang bisa terdengar ditelingaku selain suara pesawat... Aku memilah cucian digantungkan di hanger, sambil menatap langit. Banyak bintang-bintang bertaburan di angkasa, namun ada satu yang berkelip kelip... itu pasti pesawatnya, pikirku. Berapa ya ketinggiannya, ajaib suaranya masih terdengar jelas disini, batinku.

 Ahh... rindunya aku ingin terbang


***


Lewat jam satu malam Bintang baru pulang. Matanya merah. Langsung masuk kamar dan tidur.

“Mas, ganti baju dulu. Cuci tangan kaki baru tidur,” tegurku pelan.

Namun rupanya Bintang sudah terlalu lelah, langsung terlelap dengan cepatnya.                                   

Kupandangi wajah Bintang. Entah selalu timbul rasa kasihan yang mendalam setiap kali melihat wajah yang terlelap itu.                    

Betapapun perlakuan Bintang yang selalu memancing emosi, hanya kasihan dan kasihan yang ada. Kalau pun kadang aku terpancing untuk memarahinya, aku akan menyesali dan kembali kasihan lalu memaafkannya. 

Aku menerima Bintang apa adanya, dan aku belum menyerah untuk mencintainya. 


***


Kurebahkan tubuh di bahu Bintang yang tengah terlelap. Reflek bergantilah posisi tidurnya memunggungiku.

Aku memeluknya dari belakang. Mataku tak bisa terpejam. Sebuah lagu terdengar lirih, mengalun dari MTV, Televisi di ruang tengah yang belum dimatikan.     

Boulevard of a broken dream, Green day.


***


Aku merasa perlahan duniaku sedang menyeretku tenggelam. Berbagai cara aku berusaha, sepertinya keberuntungan bermain kucing-kucingan denganku. Seperti berada dalam labirin, bergerak kesana kemari sepanjang jalan hanya untuk mendapati ujungnya buntu, pintunya tertutup. Rasanya aku seperti bekerja sendirian dalam kapal bernama rumah tangga itu.         

Lihat selengkapnya