Sejak berpisah dari Bintang, Bright pindah sekolah dan tinggal bersama neneknya di kampung. Bapak dan Ibu pasti senang ditemani cucu, pikirku, dan aku bisa sering sering pulang untuk menengok mereka.
Namun kadang niat baik belum tentu membuahkan hasil yang baik.
Ibu nelpon sambil menangis mengabarkan semalam Bright tidak pulang, bawa kopor pergi dari rumah.
"Ibu hanya bilang, tolong kalau teman prianya main kerumah berpakaian yang sopan. Masa datang ke rumah anak gadis pakai celana pendek, mending celana pendek yang di bawah lutut, ini pakai celana pendek yang di atas lutut. Itu kan sama saja tidak menghargai cucu ibu. Ibu nggak rela kalau cucu ibu diperlakukan seperti itu," papar ibu dengan suara tercekat menahan emosi. "Terus kalau pulang juga malam-malam, kita kan hidup di kampung, jadi menjagalah, jangan sampai menjadi omongan. Ibu cuma bilang begitu, apa salah?"
Aku terdiam tercenung.
"Iya sudah, ibu tenang aja. Paling Bright nginep dirumah Tania kok," kataku akhirnya menenangkan.
Dalam hati terkejut juga, tak pernah menyangka Bright akan seperti itu. Bright bukan anak nakal. Selama ini dia tidak pernah menyusahkan orang tua. Baru sebentar dia tinggal bersama neneknya, dia sudah berani pergi dari rumah?
Aku pun menelpon anak itu.
Benar saja, dia di rumah Tania. Aku bilang kalau apa yang dikatakan mbah semua untuk kebaikannya. "Kalau pun dianggap marah, lebih baik dimarahi mbah daripada dimarahi orang lain, kan nggak enak kalau ditegur sama orang lain?"
"Lebih baik dimarahin orang lain, mama. Kita bisa marah balik!" Sela Bright cepat. "Pokoknya aku nggak mau pulang ke rumah mbah kalau mama nggak pulang!" Serunya lagi.
Kembali aku terdiam mendengar ancamannya.
***
Sepanjang sejarah hidupku menjadi anak, tidak pernah ada dalam kamus melawan orang tua. Demikian juga adik-adikku. Semuanya menurut. Mungkin karena takut juga, karena Bapak juga galak. Sementara ibu, sangat lembut hatinya, ibu dengan mudah menangis bila ada hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Jadi bukan semata takut tapi menjaga perasaan juga.
Sepanjang hidupku dari kecil hingga dewasa, aku memendam rasa kesalku, memendam kemarahanku karena menjaga perasaan orang-tuaku, khususnya ibu.
Aku tak bisa melampiaskan kemarahanku sebagaimana Bright melampiaskan ketidak sukaanya dengan pergi dari rumah. Ternyata itu menjadi jawaban dari kegelisahanku selama ini.