Tidak seperti gambaran suasana ruang IGD pada umumnya, yang muram, mencekam, penuh dengan wajah-wajah suram, bahkan terkadang dihiasi tangis air mata, masuk ruang IGD sore itu terasa amat lapang. Udara sejuk dan suasananya pun teramat lengang.
Di ruang tunggu aku mendapati ke lima anak Om Leman beserta suami-suami dan istri mereka hadir semua, hanya bu Leman yang tak tampak disana, pastinya tengah menjaga cucunya di rumah. Di ujung lainnya sekumpulan perawat tengah duduk-duduk entah membahas apa.
Aku menuju ruang dimana Om Leman berada. Anak-anak om Leman berjalan mengiringi langkahku. Tubuh om yang kecil dan kurus terbaring tak sadarkan diri diatas ranjang beroda. Di pelipisnya masih ada bekas darah yang mulai mengering. Layar EKG masih menunjukan jejak nafasnya walaupun terlihat lemah.
“Gimana dok?” Tanyaku pada dokter yang memeriksa. Dokter menyarankan agar kami semua berdoa.
Lalu berdengunglah bacaaan surat yasin dari kelima anak menantu om Leman memenuhi ruangan. Aku berdiri sambil membungkuk di samping om Leman membisikan ke telinganya kalimat tahlil, 'Laa illaha ilalloh.' Tuntunku.
***
Pagi itu, aku dan om tengah memanen singkong di kebun depan rumah, lalu om pamit hendak Jumatan. Setengah duabelas om pergi membawa setengah karung singkong hasil kebun. Namun setelahnya, kutunggu-tunggu om tak kunjung kembali. Menjelang sore terdengar kabar kalau om kecelakaan.
Sepeda yang di tumpanginya meluncur dengan cepat menikung di sebelah truk yang tengah parkir di tepi jalan, tak dinyana sebuah motor ngebut dari arah berlawanan. Tabrakan tak terhindarkan, om terpental cukup jauh dari sepedanya, jatuh di bahu jalan dengan luka-luka cukup parah, pun pengendara motornya. Darah berceceran dimana-mana. Mereka di tolong orang setempat dibawa ke rumah sakit Ananda.
Dan disinilah kami berada.
Surat yasin selesai dikumandangkan. Tak lama berselang, dokter kembali memeriksa lalu terdiam.