Cuaca di Netherland benar benar Unpredictable. Bisa tiba-tiba hujan tiba-tiba panas, hanya dalam hitungan menit. Makanya Prakiraan Cuaca benar benar jadi patokan seperti halnya Google Map.
Hari itu rencananya mau Kinderdijk di desa Windmollen, yang sebenarnya jaraknya nggak jauh-jauh amat, masih tetanggaan desa sama kediaman adikku, Aida. Tempat ini terkenal dengan Kincir Anginnya, yang dibangun sejak abad 17 dan sudah dijadikan Situs Warisan Dunia, UNESCO pada tahun 2019.
Lalu Aida melihat Weather Forecast, “Jam satu hujan 80%, Jam dua hujannya 90%, jam tiga 100%,” katanya. Akhirnya kami urung bepergian. “Ibu kalau mau jalan-jalan keliling komplek, sekarang aja, nanti jam 12 sudah mulai hujan,” pesannya pada Ibu. Dan benar saja apa yang dikatakannya, kejadian.
Jadi ingat Ramalan Cuaca di Indonesia setelah Dunia Dalam Berita di TVRI jaman dulu. Seringnya berita itu jadi bahan olok-olokan pemirsa. ‘Coba liat cuacanya seperti apa, soalnya besok mau jemur baju takutnya kehujanan...’ Ahaha.
Angin disini juga amatlah kencang selain dingin menusuk tulang. Itulah sebabnya rumah-rumah atau pertokoan disini bentuknya Flat. Kotak-kotak tidak ada bagian yang menjorok keluar semacam kanopi. Apa jadinya kalau bangunan rumah disini sama modelnya seperti rumah di Indonesia, bisa-bisa atap rumah beterbangan kemana-mana di hempas angin yang luar biasa kencangnya.
Bentuk rumah ini baru kusadari setelah kemarin, aku bersama ibu belanja di supermarket dekat City Hall yang letaknya tak jauh dari komplek perumahan. Ditengah jalan hujan turun, kami kesulitan untuk mencari tempat berteduh.
Semua bangunan bentuknya kotak tidak menyisakan sedikit pun tempat untuk berteduh. Tidak ada pohon rindang, tidak ada halte. Nggak ada tempat buat melipir. Melipir pun tidak ada gunanya, kehujanan juga karena anginnya luar biasa besarnya. Melipir gimana bangunannya tidak ada emperannya. Uh, nggak asiknya.
Pantas ya kalau di sini banyak Kincir Angin. Energy listrik disini dihasilkan oleh kekuatan angin yang memutar baling-baling pada generator yang dipasang di belakang kincir.
Kalau di Indonesia di sepanjang jalur lepas banyak tiang listrik atau sutet, disini banyak kincir angin. Tidak ada kabel-kabel yang bergelantungan, terang tidak ada apa-apanya. Langit kosong, hanya dipenuhi awan-awan putih di sejauh mata memandang dan tentu saja… kincir angin yang kokoh bentuknya.
Memandang langit Netherland rasanya lega dan berkelimpahan.
***
“Da, garam taruh dimana ya?”
Aku mencari-cari di tempat bumbu yang besarnya selemari makan. Semua isinya bumbu-bumbuan. Padahal anak ini nggak pinter-pinter amat masak. Jangan-jangan ini cuma buat pencitraan. Hiks. Peralatan makan pun super lengkap mulai sendok garpu pisau piring gunting dari segala ukuran tertata rapi sesuai ukurannya di laci pantry. Peralatan dapur terlebih lagi, sampai-sampai talanan pun tersedia berwarna-warni yang digunakan sesuai fungsinya.
Warna merah untuk mengiris daging, hijau untuk mengiris buah dan sayuran, yang putih untuk mengiris roti-rotian dan satu lagi aku lupa untuk mengiris apa. Coffee makernya pun tampak sophiscated. Aku sudah malas duluan kalau hendak menyeduh kopi. Tapi sepertinya masih kurang lengkap juga, kemarin sebelum keberangkatan dia nitip minta dibelikan cetakan cendol.
Cetakan cendol? Aku sempat berpikir keras, seumur-umur tinggal di Indonesia belum pernah kepikiran beli cetakan cendol. Bahkan teman yang suka masak pun rasanya belum pernah ketemu bikin resep, cendol. Susah banget ya. Disini orang pengen makan cendol tinggal beli limaribu jadi.
“Itu mbak di lemari yang ada piring-piring Shanaya, di pojok belakang.”