Benang Merah

Bulan Purnama
Chapter #34

Tentang Rasa.

SHANAYA. Mungkin anak kecil itu yang telah mencuri perhatian dan kerinduanku hingga tak ada lagi yang tersisa untuk yang lainnya. Lahir dengan membawa segudang kelebihan; leukemia, down syndrome, lemah jantung, dll, hingga mengharuskan dia untuk tinggal di Rumah Sakit sebulan lamanya setelah kelahirannya. Makan dan nafasnya hanya bergantung pada cairan dan oksigen yang mengalir melalui selang ke tubuhnya. Setiap hari mamanya hanya menangis, berdoa dan menghitung hari sampai berapa lama anak itu bisa bertahan. Bersyukur, dengan didukung peralatan yang serba canggih dan sumber daya yang dikerahkan maksimal, akhirnya Berkat Rahmat Tuhan yang Maha Esa, anak ini selamat dan keluar menjadi pemenang kehidupan. Dia satu satunya anak adiku, Aida yang tinggal di Belanda.

Kini Shanaya kecil sudah dua tahun usianya. Aku, bapak dan ibu berkesempatan mengunjunginya bulan Mei 2022 setelah tertunda sekian lama karena Corona.  Aku sangat kaget melihat pertumbuhannya. Walaupun secara fisik sedikit terlambat - belum bisa berjalan karena tulang kakinya yang elastis, ditambah tulang mulutnya yang lemah hingga ASI ibunya harus disuapkan pelan pelan. Namun secara psikis dia jauh melampaui anak seusianya. Shanaya kecil terlihat sangat ‘dewasa, ’ mandiri dan kooperatif. Dia tak pernah menangis. Tak pernah merengek. Tidur pada waktunya. Bangun pada waktunya. Makan pun di tempat duduknya - high chair - didepan meja makan, pada waktunya.  

Setiap jam 4 sore otomatis bangun walaupun tidak ada alarm. Itu adalah jamnya makan buah. Waktunya tidur dia juga akan ditaruh dalam boxnya meskipun belum mengantuk, hingga akhirnya tertidur sendiri. Tidak ada bantal. Tidak ada guling. Tidak ada selimut atau nyanyian nina bobo. Pernah aku mendapati dia berdiri dalam baby box nya diam, dalam kamarnya yang gelap, menanti waktu dimana mamanya akan datang menjemputnya untuk melakukan aktifitas selanjutnya. Betapa sunyi dunianya saat itu. Tak sampai hati aku melihatnya.

 

***


Sejak kedatanganku bersama nenek kakeknya, jadwal Shanaya jadi kacau. Aida sempat ‘memarahi’ aku karena aku begitu ‘lemah’ terhadapnya. Sedikit sedikit aku meggendongnya. Sebentar sebentar aku membopongnya. “Nanti kalau pulang aku yang kerepotan, soalnya disini semuanya, apa-apa dikerjakan sendiri” Gitu dalihnya. "Begini juga kadang kadang Ely masih suka ngomel 'Aida, jangan terlalu dimanja!'" Lanjutnya sambil membersihkan sisa makanan di piring lalu dimasukannya satu persatu ke dish washer. 

Aku tak menghiraukannya. 

Ely adalah panggilan untuk mama mertuanya, Elysabeth. Kedua orang tua Stef - suami Aida adalah warga negara Belanda. Mereka memiliki 2 putra. Stef dan adiknya yang masih single. Ayah Stef typikal Family man. Mereka adalah keluarga yang harmonis. Mereka semua sayang Shanaya. Jika Aida ada acara dengan teman teman Indonesianya, Ely dengan senang hati menerima titipan Shanaya dirumahnya. Malah dia sering bercanda, sering-seringlah pergi biar Shanaya bersamanya terus. Dan asyiknya, ketika ditinggal orang tuanya pun Shanaya tak pernah rewel, tidak ada drama harus muter keliling komplek dulu sebelum berpisah. Dia hanya bilang 'Dadahh...' 

Sesimple itu. 


***


Dua hari terakhir itu Shanaya demam, pilek, matanya berair. Tidak seperti umumnya di Indonesia, anak Eropa kalau belum sakit beneran orang tuanya tak akan membawanya ke dokter, setidaknya itu yang kulihat di keluarga adikku. Mungkin karena itulah mengapa orang disana kuat-kuat staminanya. 

Aku tidur di kamar Shanaya. Kamarnya di lantai 2 bersebelahan dengan kamar tamu dimana bapak dan ibuku berada. Dia tidur di dalam box nya. Aku tidur di Air bed disampingnya. Sesungguhnya jadwal tubuhku juga berantakan. Selama musim semi waktu siang disini lebih lama. Jam 11 malam suasananya masih terang seperti jam 11 siang. Cuaca yang unpredictable dan angin yang dinginnya menusuk tulang, rasanya seperti jetlag tak berkesudahan. 

Malam itu Shanaya terbangun dari tidurnya yang sedikit gelisah. Lalu berdiri berpegangan pinggiran baby boxnya. Ternyata matanya tak bisa terbuka sepenuhnya lengket karena kotoran mata, nafasnya berat karena hidungnya sedikit tersumbat oleh ingus yang mengering. Aku baru selesai sholat di depan box nya tak jadi berdoa, masih dengan mukena aku menyambarnya dan kubawa ke wastafel. Kubersihkan kotoran dimatanya dengan kapas yang dibasahi air keran hangat hingga matanya bisa terbuka dengan sempurna, kuhisap ingus dihidungnya hingga dia bisa bernafas lega. Dia diam saja. Tidak menangis. Setelah itu kurebahkan dia dikasur bersamaku, lalu kembali tidur dengan tenang dalam pelukanku. Rasanya aku telah jatuh cinta.

 

***


Lihat selengkapnya