Pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA89 dari Amsterdam ke Jakarta mendarat di bandara Soekarno Hatta jam 06.55.
Aku terbangun dari tidurku dan mendapati tubuh bapak yang lemas lunglai di kursi pesawat, di sudut matanya ada bekas air mata yang menghitam. Aku meraba nadinya, tak ada tanda-tanda. Aku panik serta-merta air mata mengembang di pelupuk mata. Gemetaran aku merangkak ke kolong kursi mengumpulkan barang-barang Bapak yang berserakan. Air mataku berjatuhan tak tertahankan di bawah kursi pesawat.
Semua penumpang telah keluar dari pesawat.
Tiga orang awak kabin menghampiri, "Kenapa Ibu?"
“Bapak… bapak…," aku tak bisa melanjutkan kata-kata.
Dengan sigap salah seorang dari mereka membawakan kursi roda. Lalu tubuh Bapak digotong pindah dari kursi pesawat ke kursi roda. Aku membereskan barang-barang Bapak. Ibu yang duduk di kursi yang berbeda telah terlebih dulu berada di kursi roda. Kedua orang tuaku memang sejak keberangkatan telah mengenakan kursi roda, sebagai priviledge untuk lansia.
Keluar dari pesawat bergegas langsung menuju ruang Kesehatan Bandara. Sebelumnya kami disuntik covid untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Hasilnya negative. Dokter segera memeriksa. Aku menelpon Benni adikku yang tinggal di Tangerang. Benni segera datang dan kami berkumpul menunggu hasil pemeriksaan dokter.
“Ya Dok, gimana Bapak?” Berondong kami bersamaan teramat khawatir akan kondisi Bapak.
Dokter menggeleng. “Kecil sekali kemungkinannya ...”
“Maksudnya?”
“Tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali berdoa.”
“Maksudnya?”
Aku sungguh tak terima. Kami hanya diminta berdoa sambil menunggu ajal bapak tiba. Hah?!!!! Tak ada lagi waktu untuk berdebat atau pun marah. Kami berinisiatif membawa Bapak ke RSUD, satu-satunya rumah sakit yang masih bisa menampung pasien di IGD. Mobil ambulan membawaku, Bapak dan seorang petugas lainnya. Ibu pulang terlebih dahulu ke rumah Benni membawa barang-barang dari Bandara.
Dan Bapak segera di tangani di IGD RSUD Tangerang. Benni datang menunggui, gantian aku yang pulang ke rumahnya. Rencananya semula dari bandara kami akan langsung ke Gambir naik kereta pulang ke rumah di Jawa Tengah. Namun karena kejadian ini akhirnya kami menginap semalam di rumahnya.
Ini adalah perjalanan Bapak dan Ibu pertama kali ke luar negeri, ke negeri kincir angin dimana adik bungsuku Aida telah lima tahun tinggal disana. Dua tahun lalu Aida telah melahirkan putri pertamanya, namun hingga kini belum berkesempatan menengoknya karena terhalang Covid. Itu adalah kali pertama penerbangan diperbolehkan setelah sekian lama segala aktifitas bepergian dihentikan.
Bapak memang ada riwayat sakit jantung. Tetapi sebelum kepergianya aku telah berkonsultasi ke dokter untuk memastikan kalau kondisi Bapak aman melakukan perjalanan jarak jauh. Dokter pun memperbolehkan bahkan tak perlu membawa alat bantu pernafasan lainnya.