Benang Merah

Bulan Purnama
Chapter #37

PART 7# Rujuk

Setelah berpisah tiga tahun lalu, Bintang menempati rumah Aida di Bekasi, Rumah itu dibeli Aida pada saat launching perdana. Bintanglah yang pertama kali memperkenalkan komplek perumahan baru itu. Catatan perbankan Aida bersih, dan dia belum punya Kredit di Bank hingga dengan mudah Bank menggelontorkan KPR atas namanya. Hanya sesekali saja Aida menengok rumah itu karena letaknya jauh dari mana-mana. Pernah ada yang mengontrak, selesai kontrak kondisinya banyak yang rusak, akhirnya terbengkalai tak ada yang mengurusnya karena Aida pindah mengikuti suaminya tinggal di Belanda. Bahkan belakangan rumah itu jadi tempat pembuangan sampah oleh warga sekitar, walaupun disana sudah ada bermacam-macam bentuk tulisan yang melarang membuang sampah sembarangan.

Bintanglah yang memberaskannya, siang malam bekerja sendirian hingga rumah itu layak untuk dihuni kembali. Barang-barang di rumah kami dipindahkan kesana, sedang rumah yang biasa kami tempati, di kontrakkan.

Aku tinggal di kampung membersamai ibu diusia lanjutnya, aku tak ingin terjadi hal yang tak diinginkan, seperti misalnya ibuku tiada, tak ada yang tau, karena tinggal sendirian. Berkat doa ibu, aku kembali mendapatkan pekerjaan yang baik dekat dengan rumah.

Aku tak memungkiri kalau Bintang selalu ada ketika dibutuhkan. Bintang bisa melakukan banyak hal dan selalu ringan tangan. Bukan hanya kepadaku saja tapi kepada siapa saja yang membutuhkan tenaganya. Lalu aku memberinya imbalan ketika selesai kumintai tolong urusan pekerjaan.

Walaupun untuk kebutuhan sehari-hari Bintang masih saja sering meminta, tapi aku tak pernah berhitung walaupun kini statusnya bukan siapa-siapa. Kadang sulit dipercaya, bahkan untuk menghidupi dirinya sendiri pun tak bisa. Tetapi, ya sudahlah, anggap saja sedekah. Aku menerima ini menjadi bagian dalam perjalanan hidupku. Aku percaya, Tuhan memberi apa yang kita butuhkan. Bukan apa yang kita inginkan.


***


“Beberapa hari belakangan, aku terbangun malam-malam, hampir pagi, dan tidak bisa tidur lagi. Rasanya sepi,” katamu lirih.

Sungguh sesuatu yang tidak biasa, adalah hal yang sangat sulit buatmu untuk terbuka, terlebih mengutarakan rasa. Duapuluh tahun lebih usia pernikahan sebelum perceraian, tak pernah sekalipun kamu mau berbagi isi hati.

“Sudah tiga tahun ya mbak, nggak kerasa. Bukan waktu yang sebentar…” Kamu menghela nafas,

Aku memandang pohon pisang yang pelepah daunnya patah berjuntai hampir menyentuh tanah. Itu adalah pohon yang kamu tanam, yang bibitnya berasal dari tetangga yang kebunnya bersebelahaan. Gerimis sore itu saat aku menemanimu menanam pohon pisang di ujung pekarangan.

“Bisa nggak kita sama-sama lagi, kembali menjadi suami-istri yang sah dan berkumpul menjadi keluarga yang utuh,” lanjutmu mencoba menguntai kata.

Ini kali pertama kamu mengajak aku 'Kembali'. Rasanya aneh mendengar kata rujuk. Aku merasa tak pernah berpisah.

Aku merasa, kalau pun dulu kamu mengabulkan gugatanku di pengadilan adalah karena rasa cintamu padaku. Kamu menuruti semua kemauanku. Karena hanya itu yang kamu bisa untuk membuatku bahagia. Tiga kali sidang, pulang pergi selalu bersama, bahkan makan siang bersama sambil menunggu giliran sidang. Tidak ada cek-cok atau perselisihan selama sidang, sampai akhirnya hakim mengabulkan tuntutan, mengetuk palu dan mengesahkan perceraian. Sidang perceraian berjalan mulus, dan mungkin itu sidang perceraian terindah.

Betapa cepatnya waktu berlalu…

“Kamu carilah teman biar tidak kesepian,” kataku kemudian.

“Mana tega aku mbak…”

Ada air mengembang kurasakan di pelupuk mata. Entah kamu yang tak tega atau aku yang tak punya keinginan apa-apa, hingga sampai detik ini masih sama-sama sendiri, masih belum menemukan pengganti.

Waktu sudah menunjuk pukul dua dini hari. Tapi mengantuk belum juga datang. Itu malam terakhir di rumah ibu setelah lebaran karena esok pagi kamu pulang ke Bekasi. Ini moment setahun sekali, dan kali kedua di tahun ini setelah kamu hadir beberapa waktu lalu mengantar Bapak dan ibu pulang dengan Ambulan.

"Woyy... jalan pak, macett," gurauku ketika kita menengok makam Bapak bersama Ibu. Berjalan beriringan, ibu di depan, kamu di depanku, aku paling belakang. Ketika mendekati makam Bapak, tiba-tiba kamu berhenti lama terpaku pada tanah kosong di depanmu, lalu berjalan memutar hingga berada di sebelah makam Bapak lainnya.

Ada-ada saja.

Aku merasakan keenggananmu untuk pulang. Aku merasakan betapa kamu betah disini bersamaku. Aku merasa kamu ingin aku menahanmu untuk pulang. Tapi aku rasa kamu pun merasakan tidak enaknya tinggal berlama-lama di rumah mertua saat tidak punya pekerjaan atau penghasilan apa-apa.

“Kalau keadaanmu masih sama seperti dulu, tidak ada perubahan, terus apa artinya perpisahan ini. Aku tidak main-main dengan keputusanku itu."

“Kemarin dapat tawaran kerja dari pak Imran. Ada proyek kerja di IKN Kalimantan. Tapi masih bingung, nanti lebih jauh lagi denganmu.”

“Udah… terima saja. Nanti aku ikut,” jawabku spontan. Aku ingin segera mengakhiri pembicaraan ini. Malam sudah terlampau larut, waktunya tubuh untuk istirahat.

Bintang berpaling dan memandangku, sepertinya tak menyangka dengan jawabanku. Roman mukanya berubah teduh. Aku melihat kembali Bintang di matanya.


***


Sudah seminggu lebih setelah kepulangan Bintang aku tak mendengar kabar beritanya. Kok lama yaa nggak ada yang minta quota, token listrik atau gas yang habis...

Now hush little baby, don't you cry

Everything's gonna be alright

Lihat selengkapnya