Benang Merah

Bulan Purnama
Chapter #39

Cerita Tetangga.

“Tidak seperti biasanya, hari itu, Sabtu siang, cuacanya aneh, tidak ada angin, tidak panas tidak juga mendung. Biasanya banyak anak-anak pada main, ada penjual cilok atau bakso yang mangkal sebentar, atau penjual sayur keliling, tukang gas atau air galon yang lewat mengantarkan pesanan, tapi siang itu sepiii. Lalu saya lihat pak Dhe mondar-mandir sambil menunduk keluar masuk rumah. Saya panggilah, pak Dhe, pak Dhe... kenapa…? Pak Dhenya diam saja…”

Pak Dhe adalah panggilan Bintang oleh warga sekitar.

“Itu tumben sekali loh ma… Biasanya pak Dhe selalu nyapa, pak Dhe kan orangnya ramah, super ramah. Baik sama semua orang, sama anak-anak, sama bapak-bapak, sama semua warga, pak Dhe ringan tangan, mudah dimintain tolong. Pak Dhe juga gaul, tiap malam suka ngumpul di lapangan RT sama bapak-bapak disini, main badminton hingga tengah malam. Tapi siang itu pak Dhe agak lain.”

Bunda Haykal bercerita sambil membayangkan pertemuan terakhirnya dengan Bintang. Dia sepertinya ragu apakah itu benar pak Dhe, atau siapa? Ada sebersit sinar ketakutan di matanya.

“Lalu hari Minggu siang ada yang lihat pak Dhe berdiri di ujung jalan dekat lapangan memakai sarung. Pas ada bapak-bapak yang lagi duduk-duduk disitu, mereka menepuki sambil teriak “Sini…!” Tapi Pak Dhe diam saja. Dia tak mau datang. Lalu mereka kembali asyik dengan kesibukan mereka masing-masing dan keberadaan pak Dhe dilupakan.”

Aku membayangkan situasi pada saat itu dan menghubung-hubungkan cerita mama Haykael.

Lalu Minggu sore mbak Yeni sebelah rumah curiga karena ada aroma kurang sedap dari rumah Pak Dhe. Masuklah, karena rumah Pak Dhe kan tidak pernah dikunci. Lalu ketemulah Pak Dhe ditempat tidurnya, dengan kondisi...

sudah meninggal dunia.”

Bintang meninggal di kamarnya sendirian. Tak ada yang menemani, tak ada anak dan istri yang mengetahui. Pilunya hati ini tak terperi.

Selama ini aku tak pernah mengkhawatirkan Bintang. Bintang sosok yang sangat kuat, sehat wal afiat, tak pernah mengeluh hal apa pun, jarang bersedih, selalu bersemangat, meninggal dalam kesendirian. Hal yang kutakutkan terjadi pada ibuku, terjadi pada Bintangku. Apa yang terjadi denganmu, Bintangku?

Kemana perginya kucing-kucing yang kau asuh, hilang tak berbekas, setidaknya bisa memberitahu tetangga ketika kau tengah menghadapi kematianmu. Aku sempat marah pada kucing-kucing itu karena aku tahu, Bintang yang memungut kucing – yang kemudian dia beri nama – Anis, di jalan, lalu dipiaranya, diberi makan, siang dan malam, hingga beranak pinak. Bintang memperlakukan kucing-kucing itu sedemikian sayangnya sama seperti memperlakukan keluarganya. Lalu kucing itu kabur membiarkan Bintang menghadapi kematiannya sendirian. Ah, tiba-tiba aku merasa tertampar sendiri, kemana orang-orang yang disayanginya pergi selama ini membiarkan dia hidup sendiri.

Bright yang sebetulnya masih berada di kota yang sama, hanya sesekali pulang. Bright lebih suka tinggal di kosan dekat dengan kampus dan tempat kerjanya.

Dia yang datang duluan, bersama teman polisinya. Bersama warga sekitar, Bintang di evakuasi lantas di bawa ambulan ke RSUD Cibitung untuk di visum dan dimandikan. Bintang dinyatakan meninggal hari Minggu malam itu.

“Tapi kata temen polisiku, kalau meninggal hari minggu tidak mungkin kondisinya seperti itu, mama,” kata Bright. Aku kembali merunut cerita Bunda Haykal yang tinggal persis di depan rumah.

  “Terakhir yang kehilangan adalah mas Jeje, tukang bubur ayam. Dia nggak melihat Pak Dhe sholat Jumat. Mas Jejelah yang punya nomor Aida, jadi dia yang menghubungi adik mama waktu ada kabar kalau pak Dhe meninggal dunia.”

Lalu, kalau meninggalnya hari Jumat, siapakah yang dilihat Bunda Haykael hari Sabtu mondar-mandir di depan rumah? Dan siapa pula yang berdiri memakai sarung di ujung jalan dekat lapangan pada hari Minggunya?

Sayang, HP Bintang tak pun raib entah dimana karena banyaknya warga yang keluar masuk ketika jasad almarhum Bintang dievakuasi.

Tak sengaja aku melihat chat terakhirku dengan Bintang, tiba-tiba mataku jatuh pada sebuah kalimat, itu adalah chat beberapa minggu sebelumnya, ketika Bintang mengabari kalau Pak Lik nya di Gunung Kidul sudah dipanggil menghadap Ilahi.

“Meninggalnya hari Jumat.”

Demikian tulis Bintang. Dan akupun tahu, kapan tepatnya Bintangku pergi dipanggil Ilahi.


***


Tetangga adalah saudara terdekat. Selama tiga hari berturut-turut warga sekitar tahlilan, menggelar tikar di sepanjang jalan depan rumah, semua warga hadir turut mendoakan. Semua warga suka rela turut menyumbang beraneka makanan hingga sajian berlimpah. Aku hadir, datang dari kampung bergabung bersama warga di hari ke tiga. Pada saat itulah Bunda Haykal menceritakan kronologis kepergian Bintang tadi.

Aku duduk di lantai beralas karpet di dalam rumah Bunda Haykal, berhadapan dengan pintu rumahnya. Di luar bapak-bapak duduk-duduk di atas tikar berjejer rapi di sepanjang jalan. Di seberangnya, lurus dari tepatku duduk, adalah pintu rumah kami, dengan posisi setengah terbuka. Aku bisa melihat sofa dimana ku biasa tidur kalau tengah mampir menginap satu-dua hari disini. Aku lebih suka tidur di Sofa sedang Bintang tidur di lantai kamarnya. Bila ngantuk tak kunjung datang, Bintang akan beranjak dari kamarnya lalu duduk menghadap aku yang tengah tertidur di depan sofa, sambil bermain gitar menyanyikan lagu kesukaanya, lagu jawa. Tak perduli apakah aku mendengarkan atau tidak.

Matur suwun, Gusti

Pun maringi sing gemati

Yang pergi, biarlah pergi

Lihat selengkapnya