“Jika pertemuan pertama adalah kebetulan, maka pertemuan kedua adalah takdir”. Entah dari mana kutipan itu berasal, yang jelas … kutipan itu benar-benar menggambarkan situasiku saat ini.
Saat ini, di halaman belakang restoran, di sebuah taman mini, di dekat kolam yang berisi ikan-ikan – bermandikan cahaya Matahari petang, aku duduk di sebuah bangku panjang. Di hadapanku, ada seseorang, yang sibuk dengan ponselnya. Juga, sepertinya dia merajuk.
Aku menatapnya, lalu menghela nafas ringan. “Hei, gua gak tahu apa-apa soal perjodohan ini, percayalah.”
Wanita itu, Natasha, melirikku.
Aku membalas lirikannya dengan berkata, “Yah, memang sih, gua tahu kalau bakal dijodohin, tapi gak tahu dengan siapa.”
Kemudian, ia mengalihkan pandangan matanya dan kembali fokus pada ponselnya. Tampaknya, ia tidak percaya denganku.
“Percaya atau enggak, itu terserah. Kalau memang gak suka, gua bakal bilang ke keluarga.” Aku bangkit dari tempat duduk, dan ingin pergi ke dalam restoran. Tetapi….
“Tunggu!” Natasha meraih pergelangan tangan kiriku dengan tangannya.
Aku berhenti, lalu membuka mulut, “Tapi–”
“Jangan bilang ke mereka!” Natasha dengan cepat menyela perkataanku.
Bingung. Itulah yang kurasakan. Namun, saat melihat wajahnya yang tampak sedikit memelas, aku menurutinya, lalu kembali duduk.
Ini aneh, bukankah dia marah tadi? Lalu kenapa wajahnya seperti itu?
Suasana hening menyelimuti kami. Natasha hanya mengarahkan wajahnya ke bawah. Sampai akhirnya, ia mengangkat wajahnya, lalu berkata dengan suara lemah, “Biar aja perjodohan ini berlangsung.”
“Kenapa?” tanyaku.
“Soalnya…,” Natasha mengalihkan pandangan matanya ke samping, lalu sedikit menurunkan alisnya, “Ini keinginan dari Nenekku.”
Aku mengambil jeda, sebelum akhirnya kembali bertanya, “Gak bisa protes?”
Natasha menjawab dengan lirih, “Nenekku itu sudah tua, sakit-sakitan juga. Dokter bilang, umurnya udah gak bakal lama lagi. Karena itu, gua pengen Nenek bahagia.” Natasha kembali mengarahkan wajahnya ke bawah.
Bohong jika aku bilang aku tidak terkejut. Ini pasti sangat sulit baginya. Terlebih, hal seperti ini pasti bukan sesuatu yang bisa dibicarakan dengan mudah pada orang lain.
“Nenek pernah bilang, kalau ia pengen banget melihat gua nikah.” Natasha tersenyum pahit. “Tapi, karena gak punya pacar, makanya Nenek punya inisiatif buat perjodohan.”
Dalam lubuk hatiku, aku bersyukur dia tidak mempunyai pacar. Namun, di sisi lain juga, aku merasa iba.
“Nenek juga sempat nanya apakah keberatan atau enggak. Tentu saja, gua gak keberatan. Itu semua, agar Nenek bisa bahagia.”
Ia tidak bicara lagi. Saat aku hendak berbicara, Natasha dengan cepat menyela, “Karena itu, gue minta tolong…,” Ia mengangkat wajahnya, “Jangan batalin perjodohan ini.”
Terlihat air keluar sedikit dari matanya. Sejujurnya, aku bingung harus menjawab apa. Kalau aku menyetujuinya, akan ada kesempatan untukku dekat dengan Natasha. Namun, kedekatan itu palsu dan hanya berlangsung di depan Neneknya. Akan tetapi, jika aku menolaknya, itu akan membuatnya lebih bersedih.
Melihat dirinya yang seperti ini, aku jadi ingat masa lalu. Kalau tidak salah, dahulu Natasha juga pernah minta tolong padaku sambil menahan tangisnya. Tetapi, aku tidak ingat apa yang dia minta.