29 Juni 2019, adalah hari yang akan selalu aku ingat seumur hidup. Karena pada tanggal itulah aku bertunangan, dengan seseorang, yang sudah kukenal sejak kecil.
Andi, pria yang sudah aku kenal sejak kecil, sekarang menjadi tunanganku. Aku sih, tidak masalah dengan itu, tapi bagaimana dengan dia? Aku yakin, sebelumnya dia pasti sudah dekat dengan wanita lain, 'kan? Lagi pula, sejak dulu dia selalu baik pada orang lain, bahkan sampai sekarang. Itulah mengapa, aku sangat yakin kalau Andi pasti sudah dekat dengan wanita lain, tapi ia melepaskannya karena harus bertunangan denganku.
Namun, Andi pernah berkata secara langsung padaku, kalau dia tidak punya pacar. Ia mengatakan itu saat kami bertemu di sebuah tempat makan, saat jam makan siang.
Sabtu, 22 Juni 2019.
Hari itu adalah hari di mana aku bertemu lagi dengan Andi setelah sekian lama. Ketika itu, aku sangat terkejut bisa bertemu dengannya lagi. Namun, entah mengapa hatiku merasa senang. Awalnya, aku hanya ingin makan siang yang berbeda, karena itu aku pergi ke tempat makan yang direkomendasikan temanku. Di sanalah aku melihat Andi. Meskipun awalnya aku ragu kalau itu Andi yang kukenal, nyatanya keraguanku itu sia-sia. Dia masih sama seperti dulu.
Aku membicarakan banyak hal dengannya, seperti saat-saat di mana kami masih sekolah dulu, juga tentang dirinya yang akan berusia genap 26 tahun bulan depan nanti. Tetapi, ia tidak mengatakan tanggalnya, aku juga tidak menanyakannya. Tetapi, sedari tadi ekspresi Andi kelihatan agak aneh, seperti mencemaskan sesuatu. Saat itu aku berpikir, apa mungkin dia tidak senang bertemu denganku? Tetapi, tidak mungkin begitu, 'kan?
Hingga akhirnya, aku tahu mengapa ekspresi Andi seperti itu. Di hari yang sama, selepas bekerja, aku bertemu dengan keluarga pria yang akan dijodohkan denganku. Dan, betapa terkejutnya diriku, saat mengetahui kalau itu adalah keluarga Andi. Saat itu, aku sebenarnya merasa kesal. Masalahnya, kenapa Andi tidak memberi tahuku? Apa mungkin dia juga tidak tahu? Tidak, jelas-jelas dia tahu. Buktinya, ekspresi yang ia tunjukkan tadi siang, juga kata-kata yang ia ucapkan saat aku menanyakan perihal ‘pacar’, itu sudah cukup membuktikan kalau ia tahu.
Akan tetapi, ketika aku bicara berdua dengan Andi, di sebuah taman mini yang terletak di halaman belakang restoran, ia berkata kalau ia juga tidak tahu siapa wanita yang akan dijodohkan dengannya. Ya, tentu saja, aku tidak langsung mempercayainya. Sebab, kalau memang begitu, mengapa ekspresi yang ia tunjukkan saat itu terlihat cemas?
Di samping itu, aku juga merasa lega. Tadinya aku sempat berpikir bahwa Nenek akan menjodohkanku dengan pria yang tidak tepat. Tetapi, kalau itu Andi … aku rasa tidak masalah. Karena dia adalah pria yang baik, sopan, juga pengertian. Sejauh ini, itulah yang aku ketahui tentang dirinya. Walaupun jika melihat dari segi wajah dia memang punya kekurangan, tapi, itu tidak masalah untukku.
Eh, tapi tunggu dulu. Kenapa aku bicara seperti itu, ya? Lalu, mengapa hatiku jadi deg-degan begini, ya? Apa mungkin ini karena aku membicarakannya? Kalau seperti ini, rasanya aku jadi ingat hari di mana aku pergi kencan bersama Andi.
Minggu, 07 Juli 2019.
Kalau tidak salah, saat itu hari Minggu. Aku dan Andi pergi ke mal. Meski begitu, kami hanya melihat-lihat sebentar, lalu pergi ke Food Court untuk makan.
Lalu, hal itu pun terjadi. Ketika aku ingin beranjak dari tempat dudukku, Andi mencegahku karena ada sebuah noda kecap di pipiku. Aku mencoba untuk memegang-megang pipi kanan-kiriku, tapi tetap saja tidak ketemu. Melihat itu, Andi berdiri, lalu mengambil tisu, dan membantuku untuk mengelap noda kecap tersebut.
Seketika aku langsung memalingkan wajah untuk menutupi rasa maluku. Andi curang. Walaupun kita berdua sudah bertunangan, mana boleh langsung “menyerang” seperti itu. Harusnya, ia memberiku aba-aba dulu, dong. Apalagi, saat aku melirik untuk melihat ekspresinya, dia kelihatan biasa saja, seolah tidak terjadi apa-apa. Itu kan curang. Meski begitu … terima kasih, Andi.
Buku Harian Natasha, Senin, 08 Juli 2019.
***
“Nah, selesai, deh,” kataku sembari mengangkat buku harian ke hadapanku.
Saat ini, di dalam kamar yang diterangi oleh cahaya lampu, aku sedang menulis buku harianku di meja yang ada di dekat tempat tidurku. Namanya, sih, buku harian, tapi nyatanya aku tidak menulisnya setiap hari. Aku hanya menulis di buku ini hanya jika ingin saja. Selain itu, aku juga jarang punya waktu untuk melakukannya.
Aku mengarahkan pandanganku ke jendela. Suara angin yang mengembuskan pepohonan, terdengar dari dalam kamarku. Tak lama setelah itu, titik-titik air mulai mulai turun, membasahi area luar.
“Tidur aja, deh,” gumamku, lalu mematikan lampu.
*
Selasa, 09 Juli 2019.
Pagi hari, yang sama sekali tidak cerah, aku berangkat menuju tempat kerja. Dikarenakan keluargaku hanya mempunyai satu motor, aku biasa menggunakan jasa ojek Online untuk pergi ke tempat kerja.
Aku bekerja sebagai Akuntan di suatu perusahaan yang bergerak dalam bidang elektronik. Menyusun laporan keuangan, sistem akuntansi, sampai menyusun anggaran adalah tugasku. Ini memang tidak mudah, tapi karena sudah terbiasa, ini sama sekali bukan masalah untukku.
“Pagi, Nat,” ucap temanku, Adelia, sambil menyentuh pundakku.
“Pagi juga, Del.”
“Gimana, masih langgeng?”
“Masih, dong. Terus, bisa enggak jangan nanya gitu terus setiap pagi,” keluhku.