Benang Merah Takdir

Muha To
Chapter #4

Perasaan yang Belum Bisa Tersampaikan

Sore ini, hujan turun dengan lebat – membasahi apa saja yang tidak beratap. Untungnya, aku masih ada di tempat kerja, walau ini sudah waktunya untuk pulang, sih. Sementara rekan kerjaku yang lain memutuskan untuk menerjang hujan dengan memakai jas hujan, aku hanya duduk sembari memandang derasnya hujan dari balik jendela. Aku juga membawa jas hujan yang kutaruh di bawah jok motorku. Tetapi, dengan hujan sederas ini, kurasa air akan tetap masuk. Jadi, aku memutuskan untuk menunggu sampai hujan mereda. Yah, kurasa ini tidak terlalu buruk. Lagi pula, aku tidak sendirian, ada segelas kopi panas yang menemaniku.

“Kira-kira, kapan hujannya berhenti, ya?” batinku bertanya.

Aku melihat jam di ponsel. Sekarang, waktu sudah menunjukkan pukul 4.40 sore. Ini tidak bagus. Sejujurnya, aku tidak terlalu menyukai hujan di kala sore. Kalau boleh memilih, aku lebih suka hujan saat pagi hari, karena rasanya menenangkan. Akan tetapi, pagi hari adalah waktunya bagiku untuk berangkat kerja, jadi kurasa itu cukup menyulitkan juga.

Ketika sedang meneguk kopi yang ada di genggamanku, ponselku tiba-tiba berdering. Rupanya, Ibu dari Natasha meneleponku. Beliau meminta tolong padaku untuk menjemput Natasha ketika hujan sudah reda. Tentu saja, aku tidak masalah dengan itu. Tetapi, saat kutanya apa Natasha sudah tahu soal ini, Ibunya menjawab kalau dia tidak bisa menghubungi Natasha. Mungkin ponselnya sedang tidak aktif. Begitulah pikirku.

Aku dan Natasha sudah saling tahu di mana tempat bekerja masing-masing, jadi aku tidak perlu repot-repot untuk menanyakan lokasinya. Kalau dipikir-pikir, jarak dari tempatku dan tempat kerja Natasha lumayan jauh. Itu artinya, perlu waktu yang cukup lama untuk sampai ke tempatnya, terlebih jika menunggu hujan reda.

“Apa sebaiknya aku berangkat sekarang saja, ya?” tanyaku dalam hati.

Lagi pula, aku membawa jas hujan. Hanya saja, hujannya terlalu deras. Kurasa, memang sebaiknya aku menunggu sedikit lebih lama, agar hujannya mereda.

Akhirnya, setelah menunggu beberapa menit, hujan mulai berkurang, walau memang belum pantas dikatakan “reda”. Namun, kalau cuman segini, kurasa tidak masalah.

Aku mematikan ponselku, lalu memasukkannya ke dalam tas selempang yang aku bawa. Setelah itu, aku memakai jas hujan, dan segera berangkat ke tempat Natasha berada.

Di tengah perjalanan, hujan sudah benar-benar berkurang dan hanya rintik-rintik saja. Ketika aku sampai di lokasi tujuan, hujan sudah benar-benar berhenti. Namun, saat aku bertanya pada pekerja di sana tentang keberadaan Natasha, mereka bilang kalau ia sudah pulang. Terlebih, pulang dengan seorang pria – yang mana dia adalah Manajernya. Pikiranku seketika dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Namun, aku segera menepis semua pertanyaan itu. Lagi pula, wajar saja jika seorang Manajer bersikap baik pada bawahannya. Apalagi, di tengah hujan yang lebat tadi, wajar juga kalau dia bersimpati dan mengantarkan Natasha pulang.

Setelah itu, aku memutuskan untuk segera pulang, meski masih banyak pertanyaan yang ada dalam benakku.

***

Keesokkan paginya, aku sudah mulai melupakan kejadian yang kemarin. Lagi pula, kemarin malam saat aku mengecek pesan masuk, Natasha mengirimkan pesan padaku, dan meminta maaf atas apa yang sudah terjadi. Meski menurutku itu berlebihan, tapi itu membuatku lega.

Saat ini, di tempat kerja, aku mendapatkan kejutan. Meskipun itu bukan kado atau semacamnya. Namun, Mas Bram menyebutnya seperti itu. Dibandingkan dengan “kejutan” atau “kado”, aku lebih suka menyebutnya “kerja ekstra”.

Dikarenakan ada salah seorang rekan kerjaku yang sakit, aku dipilih untuk mengerjakan pekerjaannya, karena memang pekerjaan dia termasuk penting. Sebenarnya, ada banyak orang lain yang bisa melakukannya. Namun, Mas Bram malah merekomendasikan diriku. Yah, aku sih, tidak masalah. Lagi pula, ini bagus untuk menambah pengalaman. Akan tetapi, ada banyak yang harus aku kerjakan, karena itu mungkin belakangan hari ini aku akan sibuk. Kalau dilihat dari segi pekerjaan yang diberikan padaku, semua ini akan selesai paling cepat hari Sabtu, kurasa.

“Yang semangat, ya, kerjanya.” Mas Bram merangkulku, lalu tertawa kecil.

“Iya. Makasih ya, Mas. Berkat Mas, kerjaan saya jadi tambah banyak.” Aku dengan memberikan sedikit sindiran halus.

Sadar akan sindiranku, Mas Bram tertawa kecil. “Santai aja. Nanti saya bantu sebisa mungkin.”

Itu kabar baik untukku. Karenanya, aku pun berterima kasih

Kalau tidak salah, pekerjaan yang diberikan padaku ini cukup sulit memang, yakni harus berurusan dengan si penulis secara langsung. Benar, ini hampir sama seperti Mas Bram. Bedanya, Mas Bram bisa mengurus hal itu sendiri, sedangkan aku tidak bisa seperti itu. Karena itu, aku akan bekerja sama dengan orang lain kali ini, yang mana dia adalah….

“Mohon kerja samanya, ya, Andi.” Seseorang berucap layaknya karyawan baru.

“Gak usah formal begitu,” balasku.

Orang yang sedang bicara denganku saat ini tidak lain dan tidak bukan adalah Linda. Bisa dibilang, ia akan menjadi partnerku dalam beberapa hari ini.

Linda tertawa kecil. “Sekedar formalitas doang, kok.”

Setelah percakapan kecil, kami langsung memulai “kerja ekstra” ini.

***

Lihat selengkapnya