Bali Arts Festival 2024 memancarkan suasana yang semarak. Di sepanjang jalan utama tempat festival berlangsung, jajaran tenda makanan berdiri kokoh, penuh warna-warni kain tradisional Bali dan harum semerbak rempah-rempah khas Nusantara. Musik gamelan mengalun lembut di udara, bercampur dengan tawa pengunjung yang berbaur dalam kehangatan budaya.
Di tengah keramaian itu, seorang anak kecil berusia sekitar tujuh tahun tampak sibuk dengan tingkah isengnya. Namanya adalah Wira, bocah lincah dengan rambut hitam yang berantakan dan senyum jahil yang tak pernah lepas dari wajahnya. Ia berdiri di dekat tenda sate lilit, memperhatikan kaki-kaki orang dewasa yang sibuk mengantri makanan, matanya menyipit penuh konsentrasi.
“Hihihi,” tawa kecilnya terdengar lirih, tapi penuh kepuasan. Di tangannya, beberapa tali sepatu menjuntai seperti koleksi trofi kemenangan. Beberapa sudah terikat rapi, menyambungkan sepatu satu pengunjung dengan sepatu pengunjung yang lainnya.
Wira menunduk, bekerja dengan cekatan di bawah pandangan orang-orang yang terlalu sibuk memesan makanan untuk menyadari ulahnya. Karya terbarunya adalah menyambungkan sepatu seorang pria muda yang sedang memesan klepon dengan sepatu seorang wanita di tenda sebelahnya, yang sedang sibuk memilih jajanan serabi hijau.
Pria itu, mengenakan kaus hitam polos dan celana jeans, tampak asyik berbicara dengan penjual klepon. Sepatu kanvasnya sedikit kotor, menandakan perjalanan panjang sebelum sampai ke festival ini. Di sisi lain, wanita yang menjadi “korban lainnya” Wira terlihat berdiri dengan aura berbeda. Ia mengenakan kaos santai bermotif bunga yang menambah kesan anggun, dipadukan dengan sepatu sneakers putih yang serasi, sempurna dengan tas kecil yang tergantung di tangannya.
Wira berjongkok, memastikan ikatannya cukup kuat. “Kali ini pasti seru,” gumamnya dengan nada puas.
Tali sepatu terakhir yang ada di tangannya berwarna merah menyala. Dengan hati-hati, ia mengikat simpul terakhirnya, memastikan hasil karyanya sempurna sebelum berlari kecil menjauh, meninggalkan kekacauan kecil yang akan segera terjadi.
Kadang, hal-hal kecil yang terlihat sepele dapat menjadi penanda dari rencana besar semesta. Sebuah simpul sederhana dapat mengikat bukan hanya tali, tetapi juga kehidupan. Di antara garis-garis waktu yang tak tampak, ada benang-benang halus yang menghubungkan setiap langkah kita, seperti dua jiwa yang tak sengaja bertemu di titik yang sudah ditentukan. Waktu bukan hanya berjalan; ia menunggu, berbisik dalam keheningan, bahwa setiap detik yang terlewat adalah sebuah janji yang belum ditepati.
Dan begitulah semuanya dimulai.
***
Malam itu, jalanan kota penuh dengan kerlap-kerlip lampu dan suara tawa yang bersahutan. Aroma makanan jalanan bercampur dengan bau asap kendaraan. Tahun baru hanya tinggal menghitung jam, dan orang-orang tampak larut dalam euforia. Alenta berjalan perlahan di antara kerumunan, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket. Dia tidak memiliki tujuan tertentu, hanya membiarkan langkah kakinya terseret arus manusia yang bergerak ke segala arah.
Di tengah suara langkah dan hiruk-pikuk manusia, pandangannya tertuju pada seorang pria tua yang tampak terburu-buru. Pria itu mengenakan mantel panjang gelap dan membawa sesuatu yang terlihat seperti tas kain di pundaknya. Dalam gerakannya yang tergesa-gesa, sesuatu terjatuh dari tangan pria itu.
Seutas benang merah.
Tanpa berpikir panjang, Alenta menunduk dan mengambilnya. Gulungan benang merah yang terasa begitu lembut di tangannya, hampir seperti sutra, tetapi lebih hangat dari yang ia duga.
"Maaf, Pak! Ini barangnya terjat—" Alenta mengangkat kepalanya, berniat menyerahkan gulungan itu kembali.
Namun, pria itu sudah tidak ada.
Alenta melangkah maju beberapa langkah, matanya mencari-cari sosok pria dengan mantel panjang itu. Tidak ada. Ia bahkan menyisir kerumunan di sekitarnya, matanya bergerak cepat dari satu wajah ke wajah lainnya. Namun, tidak ada tanda-tanda pria itu di antara mereka.
Keramaian tetap berjalan, orang-orang berlalu lalang di depannya, tertawa dan bercengkerama seolah tidak ada yang aneh. Seorang wanita dengan jaket merah menyenggolnya pelan, meminta maaf sekilas sebelum kembali larut dalam kerumunan. Alenta hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa, matanya masih terus mencari. Namun, sepertinya pria itu benar-benar menghilang begitu saja seperti bayangan yang tertelan cahaya.
"Bagaimana mungkin?" gumamnya pada dirinya sendiri. Ia yakin pria itu hanya berjarak beberapa langkah di depannya ketika ia menunduk untuk mengambil gulungan benang tadi. Tapi sekarang, dia seolah-olah tidak pernah ada.
Alenta menatap gulungan benang di tangannya. Benda itu tampak biasa saja, hanya seutas benang merah, tapi... kenapa terasa berbeda? Ada kehangatan aneh yang terpancar dari benang itu, menjalari jemarinya, seolah-olah benda itu hidup.
Sebelum ia sempat memutuskan apa yang harus dilakukan, keramaian di sekitarnya semakin riuh. Sebuah hitungan mundur mulai terdengar dari pengeras suara di ujung jalan. Orang-orang mulai berteriak bersama, bersiap menyambut detik-detik pergantian tahun.
"Sepuluh... sembilan... delapan..."
Tepat saat suara "satu" bergema, Alenta menghela napas panjang. Di tengah hiruk-pikuk kembang api yang menghiasi langit malam, ia menatap gulungan benang itu sekali lagi.
Malam itu, Alenta tidak tahu bahwa apa yang ia pegang bukan sekadar benang biasa. Benda kecil itu akan membawa hidupnya ke arah yang tidak pernah ia bayangkan. Seutas benang merah telah mengikatnya pada sesuatu yang jauh lebih besar.
***
Ledakan terakhir kembang api pecah di langit, menghujani malam dengan percikan warna-warni yang gemerlap. Sorakan riuh dari orang-orang mengiringi keindahan itu, tapi bagi Alenta, keramaian di sekitarnya seperti hanya gema yang jauh. Pandangannya terpaku pada gulungan benang merah di tangannya; kecil, sederhana, namun memancarkan kehangatan yang ganjil.
Dengan perlahan, ia menyimpan benang itu di dalam saku jaketnya. “Besok aku akan cari tahu siapa pemiliknya,” pikirnya.
Ia melangkah keluar dari kerumunan, membiarkan arus manusia bergerak ke arah lain. Langkahnya membawanya ke jalanan yang lebih sepi, lampu jalan menerangi kabut tipis yang menyelimuti udara dingin malam itu. Tapi sesuatu terasa... tidak biasa.
Ia berhenti.
Jalanan yang tadi penuh orang kini kosong. Lampu-lampu jalan yang biasanya berkilauan tampak suram. Hanya ada kabut tipis yang melayang, menutupi aspal. “Apa aku terlalu jauh berjalan?” gumamnya sambil memeriksa jam tangannya. Jam itu menunjukkan pukul 23:58.
“Tunggu...” Alenta mengerutkan dahi. Bukankah tadi hitung mundur sudah selesai? Bukankah sekarang harusnya sudah lewat tengah malam? Ia mencoba mengingat ulang, tetapi tiba-tiba, getaran halus menyentak saku jaketnya.
Dari dalam saku, benang merah itu bergetar.
Alenta terlonjak, spontan menarik benda itu keluar. Getaran kecil itu berubah menjadi denyut, seperti nadi yang berdetak, merambat seperti aliran listrik ke telapak tangannya.
“Hey, apa-apaan ini?!” serunya, mencoba melepaskan benang itu dari genggamannya. Tapi benang itu tetap erat di tangannya, seolah-olah terpaku di sana. Sekelilingnya mulai berubah. Kabut semakin tebal, jalanan kota perlahan memudar, dan suara tawa serta sorakan menggema samar. Sekitar satu detik kemudian, semuanya menghilang; cahaya, kabut, bahkan udara yang ia hirup.
Dan kemudian, semuanya sunyi.
Alenta membuka mata, dadanya naik turun cepat. Di mana ini? Ia mendapati dirinya berdiri di tempat yang sangat berbeda. Langit malam tampak jernih, tanpa jejak kembang api atau asap kendaraan. Udara terasa lebih segar, dan lampu jalan memancarkan cahaya kuning hangat yang membawa rasa nostalgia.
Ia mengedarkan pandangan. Ini kota yang sama, tetapi terasa asing. Lebih tenang, lebih sederhana. Matanya tertuju pada papan reklame besar di seberang jalan.