Benang Takdir

Fredhi Lavelle
Chapter #2

Jejak di Awal Tahun

Alenta duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi gulungan benang merah yang tergeletak di meja. Matanya terpaku pada benda kecil itu, mencoba mencari jawaban yang masuk akal.

"Mimpi?" gumamnya lagi, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Tetapi, kehangatan yang ia rasakan ketika memegang benang itu masih jelas di ingatannya. Sentuhan itu terlalu nyata. Suara pria tua itu bergema di pikirannya.

“Jangan takut menghadapi masa lalumu.”

Ia memijat pelipisnya, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Benang merah itu masih ada di sana, seolah menjadi bukti bahwa semua yang ia alami bukan sekadar mimpi. Tapi bagaimana mungkin? Apakah ini semacam ilusi?

Pikirannya terhenti ketika ia melihat jam di dinding. Pukul 10:30 pagi. “Ah, tempat rahasia,” katanya pelan, mengingat janji yang sudah ia buat dengan teman-temannya malam sebelumnya.

Tempat itu adalah rooftop gedung tua di tengah kota, tempat mereka sering berkumpul sejak SMA. Mereka menyebutnya "Tempat Rahasia" karena hanya mereka bertiga yang tahu jalan masuknya. Tempat itu menjadi semacam pelarian dari dunia luar, tempat mereka berbagi cerita, tawa, dan kadang-kadang, rahasia.

Dengan cepat, Alenta berdiri dan mengganti pakaiannya. Sebelum pergi, ia sempat melirik gulungan benang di meja. Ia merasakan dorongan aneh untuk membawanya, tetapi akhirnya memutuskan untuk meninggalkannya. Mungkin sedikit udara segar bisa membantunya berpikir lebih jernih.

***

Ketika Alenta tiba di rooftop, dua sosok yang familiar sudah menunggunya. Darel sedang duduk di lantai dengan sebotol soda di tangan, sementara Reina bersandar di pagar, menghadap ke langit kota yang sedikit mendung.

“Telat lagi, ya?” ejek Darel sambil melambaikan botolnya.

Alenta mengangkat tangan, memberikan isyarat meminta maaf. “Bangun kesiangan.”

“Kesiangan atau kebanyakan merenung?” canda Reina tanpa menoleh. “Sudah tahun baru, Al. Waktunya memikirkan resolusi, bukan tenggelam dalam mimpi.”

Alenta tersenyum tipis dan duduk di sebelah Darel. Mereka mengobrol ringan, berbicara tentang rencana mereka di tahun 2024. Darel, seperti biasa, berceloteh tentang pekerjaannya yang baru di bidang teknologi. Tentang ide-idenya yang tidak masuk akal untuk membuat aplikasi kencan virtual. Reina, dengan antusias, berbagi tentang proyek seni yang ingin ia kerjakan.

“Ayo, sekarang giliranmu, Alenta,” ujar Reina tiba-tiba, menatapnya dengan tatapan penuh minat. “Resolusimu apa?”

Alenta terdiam sejenak. Pertanyaan itu sebenarnya sederhana, tetapi rasanya sulit untuk dijawab. Pikirannya kembali ke mimpi, atau apa pun itu yang dialaminya tadi malam. Dan tanpa sadar, ia menjawab, “Elara.”

Darel dan Reina saling bertukar pandang, lalu menatap Alenta dengan bingung.

“Elara?” ulang Darel. “Itu apa? Nama game baru? Atau cewek yang baru kamu kenal?”

Alenta tersentak dari lamunannya, menyadari apa yang baru saja ia katakan. Ia mencoba mengalihkan perhatian. “Ah, bukan, maksudku…” Tapi kata-katanya terhenti. Bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan tidak ia pahami sepenuhnya?

“Namanya keren juga,” sela Reina, tersenyum penuh rasa ingin tahu. “Apa dia seseorang yang spesial?”

Alenta menggeleng cepat, mencoba menutupi kegelisahannya. “Bukan. Itu cuma... nama yang muncul di kepalaku. Tidak ada artinya.”

Percakapan mereka berlanjut, tetapi Alenta tetap tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia tahu bahwa nama itu lebih dari sekadar kata acak. Nama itu membawa rasa asing yang sulit ia jelaskan.

Senja mulai menjelang, Alenta berdiri di tepi pagar, memandang matahari yang perlahan tenggelam di balik gedung-gedung tinggi. Di sudut hatinya, ia merasa ada sesuatu yang berubah. Tahun baru ini mungkin bukan hanya tentang resolusi sederhana. Bagi Alenta, ini adalah awal dari perjalanan yang belum ia pahami.

Ketika malam tiba, ia berpamitan lebih awal, mengatakan bahwa ia merasa lelah. Tapi kenyataannya, ia ingin kembali ke kamar, ke tempat benang merah itu berada.

Setelah tiba di rumah, Alenta langsung menuju meja tempat ia meninggalkan gulungan benang. Jantungnya berdebar ketika ia menyentuhnya lagi. Kali ini, ia yakin ini bukan sekadar mimpi.

Gulungan benang itu terasa hangat di tangannya, dan tiba-tiba, ia mendengar suara lirih di pikirannya.

“Elara... menunggumu.”

***

Alenta duduk di meja kamarnya, matanya terpaku pada gulungan benang merah yang kini terasa seperti sebuah misteri yang tidak terpecahkan. “Kalau memang ada sesuatu yang terjadi semalam, ini pasti semacam petunjuk,” gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Ia mengambil benang itu dengan hati-hati, membiarkannya melingkar di jarinya. Tapi tidak ada perubahan. Tidak ada kilatan cahaya, tidak ada suara misterius, tidak ada apa-apa.

“Mungkin aku harus melakukan sesuatu,” pikirnya. “Kalau pria itu benar, aku pasti bisa kembali ke masa lalu.”

Ia berdiri dan mulai mencoba hal-hal yang menurutnya masuk akal, meski terdengar konyol. Pertama, ia memejamkan mata sambil memegang erat benang itu, berfokus pada keinginannya untuk kembali ke masa lalu. Tidak ada yang terjadi.

Kemudian ia mencoba membisikkan nama “Elara” dengan hati-hati, berharap ada sesuatu yang muncul, seperti portal atau bayangan. Tapi tetap, tidak ada apa-apa.

“Konyol,” ujarnya frustrasi, meletakkan benang itu kembali ke meja. Ia memijat pelipisnya dan menghela napas panjang. “Mungkin ini hanya perasaan aku saja.”

Alenta tertawa kecil pada dirinya sendiri. “Mungkin aku terlalu banyak membaca novel fantasi,” gumamnya, berusaha mengabaikan rasa penasaran yang terus menggelitik.

Namun, meski ia mencoba melupakan, pikirannya tetap kembali ke mimpi itu, wajah pria tua dan kata-kata penuh makna yang diucapkannya. “Jangan takut menghadapi masa lalumu.”

***

Hari berikutnya, Alenta bangun dengan mata yang sedikit sembap akibat tidur terlalu malam. Ia memutuskan untuk melupakan segala hal tentang benang merah itu dan mimpi aneh yang menghantuinya. "Hari ini harus normal," ujarnya pada dirinya sendiri, sambil meneguk kopi yang terlalu pahit karena ia lupa menambahkan gula. Wajahnya meringis, tapi ia memaksa menelan semuanya.

Rutinitas pagi dimulai seperti biasa: menyiram tanaman, mengecek ponsel untuk melihat apakah ada pesan menarik (tidak ada), lalu bersiap untuk pergi ke toko buku tempatnya bekerja. Namun, saat ia hendak keluar dari pintu apartemennya, langkahnya terhenti. Di atas sepatu kets favoritnya, tergeletak... benang merah itu.

“Benang ini lagi?!” Alenta mengangkat benda itu sambil mengerutkan dahi. Ia yakin telah meninggalkannya di meja semalam. Dengan helaan napas panjang, ia memasukkannya ke dalam kantong jaket. “Terserah, ikut saja kalau mau. Tapi jangan bikin masalah.”

Setibanya di toko buku, suasana pagi yang sepi membuat Alenta bisa fokus merapikan rak buku. Sambil menata koleksi novel-novel fantasi yang baru datang, ia terkejut ketika mendengar suara gaduh dari sudut ruangan. Ia bergegas menuju sumber suara dan menemukan seekor kucing oranye kecil yang entah dari mana asalnya, sedang bermain-main dengan... benang merah itu!

“Kamu serius?!” Alenta menatap kucing itu dengan tak percaya. Kucing itu hanya menatap balik dengan mata besar penuh rasa ingin tahu, lalu mengeong pelan, seakan menantangnya untuk bermain.

"Ini toko buku, bukan taman bermain," gumam Alenta sambil mencoba merebut benang dari cakar kucing itu. Tapi kucing itu lebih cepat. Ia berlari ke rak-rak buku, melompati meja kasir, bahkan hampir menjatuhkan tumpukan buku yang baru ditata.

"Aduh, dasar nakal! Balikin benang itu!" Alenta setengah tertawa setengah frustrasi, mengejar si kucing yang kini bersembunyi di balik rak buku tentang sejarah kuno. Setelah beberapa menit kejar-kejaran yang menggelikan, akhirnya ia berhasil menangkap kucing itu.

“Sebenarnya kamu dari mana sih?” Alenta mengusap kepala kucing itu dengan lembut. Si kucing mengeong lagi, kali ini dengan nada yang lebih bersahabat. Ia mengelus kucing itu sambil melihat benang merah yang kini terbelit di cakarnya. Anehnya, benang itu tampak lebih bercahaya di bawah sinar matahari yang menerobos jendela toko.

Alenta mengernyit. "Kamu tahu sesuatu soal ini?" tanyanya setengah bercanda. Si kucing hanya menjilat cakar mungilnya dengan angkuh, seolah berkata, Aku tahu segalanya, tapi tidak akan memberitahumu.

Hari itu, si kucing oranye yang kemudian ia namai "Mochi" menjadi penghuni baru toko buku. Meski menggemaskan, Mochi jelas punya bakat membuat kekacauan, mulai dari mencuri pembatas buku berbentuk ikan hingga tidur di atas meja kasir, menghalangi pelanggan yang ingin membayar. Namun, Alenta merasa ada yang aneh sekaligus menyenangkan dengan kehadirannya, terutama ketika Mochi tidak pernah jauh dari benang merah misterius itu.

Saat malam tiba, Alenta membawa Mochi pulang ke apartemennya. Ia memandangi kucing kecil itu yang kini tidur pulas di atas gulungan benang merah.

“Jadi, ini petunjuk atau cuma kucing yang terlalu penasaran?” bisik Alenta sambil menghela napas. Tanpa sadar, ia tersenyum kecil. Mungkin, hanya mungkin, misteri ini akan menjadi lebih menarik dari yang ia duga.

***

Hari-hari berikutnya, hidup Alenta serasa memasuki dunia yang penuh dengan kekacauan absurd. Mochi yang baru semalam ia adopsi, entah bagaimana, berhasil menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada. Ketika Alenta berjalan ke toko buku dengan Mochi di keranjang kecil yang ia pasang di sepedanya, tetangga-tetangga di apartemen menyapa dengan riang.

"Alenta! Itu kucing baru kamu, ya?" tanya Bu Sri, tetangga sebelah yang terkenal suka mengamati apa saja dari balkon.

"Iya, Bu Sri," jawab Alenta sambil tersenyum canggung. "Namanya Mochi."

"Lucu banget! Eh, kok dia main bawa benang merah segala?" Bu Sri menunjuk benang merah yang masih tergantung di leher Mochi, seperti aksesoris fashion kucing kelas atas. Alenta hanya bisa tertawa kecil. “Cerita panjang, Bu.”

Di toko buku, Mochi lagi-lagi menjadi bintang. Pelanggan yang biasanya cuek tiba-tiba jadi ramah dan cerewet hanya untuk mengomentari Mochi.

"Imut banget! Ini kucing ras apa?" tanya salah satu pelanggan remaja yang asyik mengelus Mochi.

"Ras kucing iseng," balas Alenta sambil tersenyum kecil. Mochi mengeong seakan setuju, lalu dengan santai menggigit ujung buku catatan yang baru saja ditata.

Namun, yang paling membuat Alenta terkejut adalah ketika Nara, sahabat masa kecilnya yang bekerja di kafe sebelah, mampir ke toko dengan ekspresi heran.

“Alenta?” Nara menyipitkan matanya ke arah Mochi. “Kamu tahu gak kucing itu semalam ada di kafe, duduk di kursi pelanggan, nyuri kue donat, terus kabur? Aku yakin banget itu dia.”

"APA?!" Alenta menatap Mochi yang sekarang bersantai di sudut rak dengan mata polos. "Mochi, kamu maling kue?!"

Mochi hanya menjilat hidungnya, tampak tak bersalah. Nara menggelengkan kepala sambil tertawa. “Kayaknya kucing kamu ini bukan cuma nakal, tapi juga licik, ya.”

Alenta hanya bisa menghela napas sambil memandangi Mochi, yang jelas tidak menyesal sedikit pun. Ia mengeluarkan benang merah dari tasnya dan menggelengkan kepala. "Ini semua gara-gara benang ini. Sejak muncul, hidupku berubah jadi seperti lelucon yang tak pernah berhenti."

“Benang itu?” Nara menatap benang merah dengan penasaran. "Kok kayaknya menarik?"

Belum sempat Alenta menjelaskan, Mochi melompat dan mengambil benang itu dari tangannya. Si kucing lalu lari keluar toko, melintasi kafe, hingga ke taman kecil di seberang jalan. Alenta dan Nara terpaksa mengejar Mochi, yang entah bagaimana sudah dikelilingi anak-anak kecil yang tertawa dan mencoba menangkapnya.

"Aku capek banget sama kucing ini!" keluh Alenta sambil tertawa di antara napas terengah. Tapi ketika akhirnya ia menangkap Mochi, ia menyadari sesuatu.

Di tengah taman, benang merah itu terikat pada sebuah batang pohon kecil yang tampak baru ditanam. Di batang pohon itu, ada ukiran tulisan tangan seseorang:

"Untuk setiap awal yang baru, selalu ada benang merah yang menghubungkan kita pada sesuatu yang lebih besar."

“Eh, kok merinding ya?” Alenta membaca ukiran itu dengan bingung. Nara yang berdiri di sampingnya ikut membaca, lalu tertawa kecil.

“Kayaknya kucing kamu ini seorang penyair, Al,” kata Nara sambil tersenyum, memandang Mochi yang duduk dengan angkuh, seolah-olah kata-kata bijak selalu mengalir darinya.

***

Hari-hari selanjutnya datang seperti alur cerita yang tak pernah bisa diprediksi. Dari Nara yang secara tidak sengaja menyenggol rak buku hingga jatuh saat membantu, hingga pelanggan langganan yang berusaha mengejar Mochi yang kabur membawa pulpen, Alenta menyadari satu hal: sekarang hidupnya jauh dari kata membosankan.

Bahkan tetangga-tetangga apartemennya mulai ikut dalam cerita ini. Pak Haris, si penjaga apartemen, kini rajin membawa makanan kucing untuk Mochi. Anak-anak kecil di taman memberi Mochi julukan "Kucing Benang Emas," meski benangnya jelas merah.

Namun di balik semua kekacauan itu, benang merah tersebut perlahan mulai terasa lebih berarti. Setiap orang yang mendekati Mochi tampaknya selalu punya kisah menarik yang terselip dalam hidup mereka, dan entah bagaimana, kehadiran Mochi selalu menghubungkan mereka.

Suatu sore, ketika Alenta dan Nara duduk di teras toko sambil menikmati kopi, Alenta memandang Mochi yang sedang tertidur di pangkuannya, dengan benang merah melingkar di tubuh mungilnya.

“Nara,” kata Alenta pelan. “Menurutmu, apa mungkin... benang ini benar-benar punya arti khusus?”

Nara menyesap kopinya sambil berpikir. “Aku gak tahu, Al. Tapi satu hal yang pasti, hidupmu jadi jauh lebih seru kan sejak ada Mochi dan benang itu?”

Alenta tertawa kecil, menepuk kepala Mochi dengan sayang. “Kalau begitu, aku rasa aku siap untuk melihat ke mana benang ini akan membawaku.”

Mochi mengeong dalam tidurnya, seolah berkata, Tunggu saja, ini baru permulaan.

***

Malam itu, setelah hari panjang yang penuh kekacauan dan tawa, Alenta duduk di kamarnya dengan Mochi meringkuk di pangkuannya. Jari-jarinya memainkan gulungan benang merah yang tampaknya tak pernah lepas dari kehidupannya belakangan ini. Angin malam berhembus pelan dari jendela yang setengah terbuka, dan suasana di luar sunyi, hanya ditemani suara serangga yang samar.

"Kalau memang kau punya kekuatan," gumamnya sambil menatap benang itu, "bawa aku ke masa lalu. Biar aku tahu apa yang sebenarnya ingin kau tunjukkan."

Tidak ada kilatan cahaya. Tidak ada getaran ajaib. Hanya angin yang tiba-tiba bertiup lebih kencang, membuat Mochi mengangkat kepala dan mengeong pelan. Tiba-tiba, dunia di sekitarnya terasa seperti melambat. Suara-suara kota perlahan memudar, digantikan oleh keheningan yang aneh. Perlahan, Alenta merasakan kantuk menyelusup, matanya mulai terpejam, membiarkan dirinya terlelap dalam kedamaian yang tak terungkapkan.

***

Suatu pagi, Alenta terbangun dengan perasaan aneh. Ia menemukan dirinya berada di sebuah kamar yang terasa... familiar. Sangat familiar. Ruangannya terasa lebih sepi dari biasanya, tidak ada suara ngeong Mochi yang biasanya membangunkan dia. Ketika ia melihat sekeliling, kamarnya tampak berbeda. Ia mengenali kasur kecil di sudut ruangan, poster band favoritnya yang terpajang di dinding, dan meja belajar yang penuh dengan buku pelajaran SMA. Ia terdiam, lalu mendapati kalender di meja menunjukkan tahun 2016.

"Ini... lelucon, kan?" gumamnya sambil mencubit pipinya. Tapi rasa sakit itu nyata.

Panik, ia membuka pintu kamar dan mendapati dirinya berada di rumah lama yang sudah ia tinggalkan bertahun-tahun lalu. Segala hal terasa begitu nyata, bahkan aroma khas sabun cuci yang pernah ia pakai di masa itu tercium di udara.

Dengan ragu, Alenta melangkah keluar dari kamar. Tangannya menyentuh dinding rumah yang terasa begitu nyata. Langkah kakinya menuju dapur terhenti ketika ia mendengar suara yang nyaris membuat lututnya lemas.

“Al, kamu udah makan? Nanti dingin, loh.”

Suara ibunya.

Alenta berhenti di ambang pintu dapur. Di sana, ibunya berdiri dengan senyum hangat, sibuk menyiapkan makan malam. Di meja makan, ayahnya sedang membaca koran sambil menyeruput kopi. Pemandangan yang begitu biasa dulu, tapi kini terasa seperti keajaiban.

"Ma?" suaranya gemetar, hampir tidak keluar. Di hadapannya berdiri sosok yang begitu ia rindukan, mengenakan celemek dengan motif bunga kecil dan membawa secangkir teh. Wajah ibunya masih seperti yang ia ingat, senyum lembut, garis-garis halus di sudut matanya yang ia sukai karena selalu terlihat menenangkan.

Air mata mulai mengalir tanpa bisa ia tahan. Ia berjalan mendekat, hampir tersandung kursi, dan memeluk ibunya erat-erat, terlalu takut melepaskan, terlalu takut ini hanya mimpi. "Ma..." bisiknya dengan suara bergetar. "Aku kangen. Aku kangen banget,” isaknya, tanpa memikirkan apakah ini akan dianggap aneh.

Ibunya tertawa pelan, mengusap punggungnya seperti yang selalu ia lakukan dulu. "Ya ampun, Alenta, kamu kenapa sih? Mama kan di sini."

Ayahnya menurunkan koran, menatap Alenta dengan alis terangkat. “Kamu kenapa, Al? Ada masalah di sekolah?”

Alenta hanya menggeleng, mencoba menyembunyikan wajahnya yang basah oleh air mata. “Gak, Pa. Aku cuma... senang aja bisa ada di sini.”

Mereka tidak bertanya lebih lanjut, mungkin mengira itu hanya suasana hati remaja yang sedang puber. Tapi bagi Alenta, momen itu adalah hadiah terbesar yang tidak pernah ia bayangkan. Semua kenangannya tentang kehilangan itu menyeruak seperti ombak. Ayahnya, yang ia tahu meninggal karena kecelakaan. Ibunya, yang jatuh sakit karena terlalu banyak memikirkan segalanya setelahnya. Alenta berdiri di sana, di tengah ruang tamu, menatap mereka berdua dengan hati yang terasa hancur sekaligus penuh.

***

Malam itu, Alenta duduk di meja makan bersama kedua orang tuanya. Segalanya terasa begitu nyata, dari suara sendok yang beradu dengan piring, hingga candaan kecil yang biasa mereka lontarkan saat makan malam.

"Jadi, gimana sekolah kamu hari ini?" tanya ayahnya sambil mengunyah.

Alenta tersenyum kecil, mencoba menahan emosi yang terus menggenang. "Baik, Yah," jawabnya singkat. Ia ingin mengatakan lebih banyak, ingin memberitahu mereka betapa berharganya momen ini, tapi ia tahu mereka tidak akan mengerti.

Di kamarnya malam itu, Alenta menatap langit-langit, berpikir. "Apa ini hanya mimpi? Atau memang aku dikirim kembali untuk sesuatu?" pikirnya. Ia tidak tahu berapa lama waktu yang ia miliki di sini, tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan menyia-nyiakannya.

***

Keesokan harinya, Alenta terbangun dengan perasaan campur aduk. Rasanya aneh. Ia melihat seragam putih abu-abunya tergantung di kursi, terlihat begitu polos dan familiar. Kemudian ia menghela napas panjang, mengenakan seragam itu dengan perasaan nostalgia yang membuncah.

Kini Alenta mendapati dirinya bersiap-siap pergi ke sekolah dengan seragam SMA yang sudah lama tidak ia kenakan. Ia menatap cermin, menilai dirinya sendiri dengan senyum kecil yang bercampur gugup. “Ya Tuhan, aku nggak percaya harus menjalani ini lagi,” gumamnya.

Alenta menyesap susu hangat buatan ibunya sebelum berangkat, mencoba menenangkan hatinya. Suasana rumah di pagi hari begitu hidup; suara ayahnya yang sibuk mencari kunci mobil, suara ibunya yang mengomel soal sarapan, semua terasa seperti nostalgia manis yang hidup kembali.

Ketika ia melangkah keluar rumah, suasana pagi yang dulu begitu biasa kini terasa seperti nostalgia hidup. Jalanan menuju sekolah penuh dengan anak-anak berseragam yang mengobrol riang, persis seperti yang ia ingat. Alenta menyadari betapa ia rindu masa-masa ini, meskipun saat itu ia selalu merasa ingin cepat-cepat lulus.

***

Ketika sampai di sekolah, Alenta berdiri di gerbang, memandangi keramaian siswa-siswi SMA yang sibuk saling menyapa, bercanda, atau sekadar tergesa-gesa masuk kelas. Hiruk-pikuk anak-anak sekolah terasa seperti dunia yang sama sekali berbeda dari kehidupannya yang lebih dewasa di masa depan. Ia berjalan di koridor, menyerap setiap detail yang dulu mungkin tidak ia hiraukan; lukisan dinding yang dibuat ala kadarnya, papan pengumuman yang penuh dengan selebaran kegiatan ekstrakurikuler, dan suara ribut para siswa yang bercanda atau mengeluh soal tugas.

Ia menemukan dirinya dihadapkan pada kenyataan bahwa ia harus menjalani rutinitas sebagai anak SMA kembali. Ia menarik napas dalam-dalam. “Baiklah, Alenta. Kamu bisa melakukan ini. Pura-pura jadi anak SMA biasa,” katanya pada dirinya sendiri, meski bagian dari dirinya merasa geli. Dengan langkah ragu, ia masuk, membawa tas berisi buku pelajaran yang entah kapan terakhir kali ia pegang.

Begitu masuk ke kelas, ia disambut dengan suara ramai teman-teman sekelasnya. Di pojok ruangan, ia melihat dua sosok yang begitu akrab baginya: Darel dan Reina.

“Alenta!” seru Reina dengan suara ceria sambil melambaikan tangan. “Ayo sini, aku mau kasih lihat sesuatu!”

Alenta mendekat dengan langkah ragu. Reina, dengan senyumnya yang cerah seperti biasa, menunjukkan sesuatu di layar ponselnya, sebuah meme konyol yang sedang viral di tahun 2016. Alenta tidak bisa menahan tawa, meskipun di dalam hatinya, ia merasa sedikit aneh. Ia sudah lupa betapa ringan dan sederhana percakapan mereka dulu.

“Ah, akhirnya Alenta sudi hadir di antara kami rakyat jelata,” ujar Darel dengan nada formal, bangkit dari tempat duduknya sambil pura-pura membungkuk seperti pelayan kerajaan. Rambutnya sedikit acak-acakan, khas anak SMA yang males menyisir tapi tetap pede.

“Apakah Yang Mulia memerlukan takhta tambahan, atau mungkin segelas air suci yang mampu menghapus dahaga dari perjalanan panjang seorang bangsawan?” lanjutnya sambil dengan penuh dramatisme menyodorkan botol soda kesukaannya, seolah itu adalah ramuan istimewa dari negeri asing.

Reina tak bergeming, asyik tenggelam dalam dunia ponselnya, sementara Alenta hanya memutar mata, berusaha menahan senyumnya. “Oh, diamlah, Darel,” balasnya sambil menepuk pundaknya pelan. “Kalau aku bangsawan, kamu pasti cuma penjaga gerbang yang suka tidur di pos jaga.”

Darel memasang ekspresi pura-pura tersinggung. “Wah, penghinaan yang luar biasa! Aku, penjaga gerbang? Yang benar saja, Alenta. Aku ini jelas-jelas penasihat kerajaan. Sang otak di balik segala keputusan besar kerajaan kita. Sebagai pelayan kerajaan yang setia, aku rela mengorbankan segalanya untuk kerajaan ini.” Ia menepuk dadanya dengan bangga, lalu duduk kembali dengan sikap sok anggun.

“Terutama waktu belajar, ya,” sahut Reina, akhirnya meninggalkan dunia ponselnya sejenak. Ia menatap Darel dengan senyum setengah nakal, matanya menyiratkan ejekan. “Waktu itu kamu tidur paling nyenyak, Darel. Bahkan keris pun bisa dicuri di depan mata, tapi kamu tetap meringkuk di sana, seolah dunia ini tak pernah ada.”

Lihat selengkapnya