Langit siang mulai meredup, menyisakan semburat lembut di atas cakrawala. Alenta duduk di ruang makan rumahnya, tatapannya tertuju pada piring di depannya yang nyaris tak tersentuh. Ibunya menatapnya dari ujung meja sambil menghela napas kecil.
“Kamu melamun terus dari tadi. Cerita dong, siapa teman kamu tadi? Anak perempuan, ya?” goda ibunya dengan nada penuh rasa ingin tahu.
Alenta tersentak. “Eh, nggak, Ma. Maksudnya, iya… tapi bukan seperti yang Mama pikirkan,” jawabnya tergagap.
“Oh, jadi perempuan?” Ibunya mengangkat alis, mencoba menahan senyum.
“Bukan, Ma! Maksudku, ya dia perempuan, tapi kami cuma teman biasa.” Alenta berusaha menjaga nada suaranya tetap netral, tapi entah kenapa wajah Elara terus terbayang di benaknya.
“Hmm,” ibunya menyipitkan mata, masih tersenyum. “Kalau teman biasa, kenapa kamu kelihatan gelisah begini?”
“Aku nggak gelisah,” sahut Alenta cepat. “Aku cuma… kepikiran sesuatu aja.”
Ibunya melemparkan senyum lembut, lalu kembali menyendok makanannya tanpa melontarkan pertanyaan lebih jauh. Alenta menghela napas lega, namun pikirannya terus berputar, terjebak dalam bayang-bayang pertemuannya dengan Elara yang tak kunjung hilang.
Usai makan siang bersama ibunya, Alenta melangkah ke kamarnya. Ia duduk di samping jendela yang terbuka, membiarkan angin mengalir masuk, sejuk menyentuh kulitnya. Tanpa disadari, tangannya merogoh saku jaketnya, dan jari-jarinya menyentuh sesuatu yang asing; sebuah kunci kecil berwarna perak, dihiasi ukiran rumit yang tampak seolah menyimpan cerita lama.
Alenta mengerutkan kening. Ia tidak ingat pernah memiliki kunci itu. “Dari mana ini?” gumamnya.
Ia mencoba menelusuri ingatannya, namun semuanya terasa kabur. Tiba-tiba, wajah Elara muncul dalam pikirannya. Apakah mungkin kunci ini berasal darinya? Tapi kapan? Dan untuk apa?
Alenta memutar kunci itu di tangannya, memperhatikan ukirannya dengan seksama. Pada salah satu sisi, ia menangkap sebuah simbol kecil yang menyerupai gulungan benang, terukir dengan halus. Simbol itu terasa familiar, meski ia tidak tahu di mana pernah melihatnya sebelumnya.
***
Di ujung kota yang lain, Elara duduk sendirian di kamar kecilnya yang sederhana. Di tangannya, sebuah buku catatan kecil terbuka, buku yang sama yang ia bawa di pasar tadi siang. Pada halaman yang terbuka, terlukis sebuah sketsa kasar dari kunci kecil berwarna perak, garisan-garisannya tampak ragu namun penuh arti, seolah mencerminkan sesuatu yang belum sepenuhnya terungkap.
“Kalau dia menemukannya, berarti ini benar-benar dimulai,” bisik Elara pada dirinya sendiri. Ia menatap sketsa itu lama, sebelum akhirnya menutup buku catatan itu dengan satu tarikan napas dalam.
Di meja kecil di depannya, ada sebuah benda lain yang tergeletak: jam saku kuno dengan rantai yang sudah agak berkarat. Jam itu sudah tidak berfungsi, tetapi bagi Elara, benda itu lebih dari sekadar penanda waktu. Itu adalah petunjuk. Sebuah teka-teki yang harus ia pecahkan.
Elara meraih jam saku itu dan menggenggamnya erat, seolah benda itu dapat memberinya jawaban yang selama ini ia cari. Jarum jam di dalamnya masih membeku di angka yang sama: 2:17. Ia memandang angka itu lama, kemudian berdiri dari kursinya dengan tekad bulat.
“Sepertinya aku harus berangkat sekarang,” gumamnya lirih pada dirinya sendiri.
Udara di luar terasa dingin ketika Elara keluar dari rumahnya. Langit mulai berubah abu-abu, seakan hendak turun hujan, namun ia tidak peduli. Di sakunya, ia membawa buku catatannya, sementara jam saku tua itu tergenggam erat di tangannya. Setiap langkah terasa berat, seolah ada sesuatu yang tak terlihat yang menariknya untuk mundur, namun hatinya sudah memutuskan.
Satu tempat. Elara tahu ke mana ia harus pergi.
***
Di sudut kamarnya, Alenta masih terbalut dalam kegelisahan yang tak kunjung reda. Pikiran-pikirannya berputar, saling bertabrakan, sementara hatinya tak bisa tenang. Rasa ingin tahu yang menggelora membuatnya tak bisa menunggu lebih lama. Dengan langkah pasti, ia memutuskan untuk meninggalkan kamar itu dan menuju pasar tempat ia bertemu Elara. Dengan kunci perak itu masih berada di sakunya, Alenta melangkah keluar, membawa sejuta pertanyaan.
Saat Alenta tiba di pasar, suasananya berbeda. Tidak ada hiruk-pikuk seperti pagi tadi, tidak ada tawa riuh para pembeli atau teriakan penjual yang menawarkan barang dagangan mereka. Hanya ada beberapa orang yang berjalan santai, sementara para pedagang mulai membereskan barang-barang mereka, bersiap menutup toko.
Namun, di sudut pasar yang familiar, di tempat yang sama di mana ia dan Elara bertemu, sesuatu menarik perhatian Alenta. Secarik kertas tertindih batu kecil, hampir tersembunyi di bawah bayang-bayang bangku yang usang.
Alenta melangkah mendekat dengan hati-hati. Ia meraih kertas itu dan membukanya. Tulisan tangan yang rapi dan sedikit miring menyambutnya:
Jika kamu ingin tahu lebih banyak, temui aku di Perpustakaan Kota pukul tiga sore. Jangan terlambat.
Tidak ada nama, tapi Alenta tahu siapa yang menulisnya. Hanya satu orang yang mungkin.
“Elara,” bisiknya pelan.
Ia meremas kertas itu di tangannya, lalu menatap ke arah matahari yang mulai tenggelam. Dengan kunci perak di saku dan pesan di tangannya, Alenta meninggalkan sudut pasar itu, membawa serta rasa penasaran yang semakin membuncah di dadanya.
***
Alenta tiba di Perpustakaan Kota beberapa menit sebelum pukul tiga sore. Bangunan tua itu menjulang di hadapannya, dengan pintu kayu besar yang diapit oleh dua pilar batu berlumut. Cahaya matahari sore menerobos jendela kaca besar di atas pintu masuk, menciptakan pola yang indah di lantai marmer yang mengkilap.
Dia mendorong pintu berat itu dan melangkah masuk. Alenta masuk dengan langkah ragu. Ia sempat terhenti di depan pintu masuk, mengamati suasana yang terasa begitu asing namun menenangkan. Aroma buku-buku tua menyambutnya, bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan yang hampir tidak terdengar. Di dalam, suasana sunyi menyelimuti. Hanya ada beberapa orang yang duduk di kursi-kursi kayu, tenggelam dalam buku-buku mereka.
Di antara deretan rak buku yang menjulang tinggi, Elara berdiri dengan tenang. Tangannya memegang sebuah buku tua dengan sampul lusuh, tetapi matanya tidak benar-benar membaca. Seolah ia tahu ada seseorang yang datang mencarinya. Elara berbalik perlahan, dan ketika pandangan mereka bertemu, senyum kecil menghiasi wajahnya.
“Kamu datang,” ujar Elara, tanpa sedikit pun rasa terkejut, sambil meletakkan buku tua itu kembali ke rak. “Aku kira kamu akan mengabaikan pesan itu, atau mungkin… nggak datang sama sekali.”
“Kenapa aku harus nggak datang?” Alenta mendekat, matanya terpaku pada wajah Elara. “Kamu meninggalkan banyak pertanyaan di kepalaku.”
Elara terkekeh kecil, lalu melipat tangannya di dada. “Oh, jadi aku bikin kamu penasaran, ya?”
“Aku lebih dari sekadar penasaran,” balas Alenta, mengeluarkan kunci perak dari sakunya dan memperlihatkannya. “Kamu harus jelaskan apa semua ini.”
Elara menatap kunci itu dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Baiklah,” katanya sambil melangkah mendekat. “Kamu mau dengar ceritanya?”