Langit siang mulai meredup, menyisakan semburat lembut di atas cakrawala. Alenta duduk di ruang makan rumahnya, tatapannya tertuju pada piring di depannya yang nyaris tak tersentuh. Ibunya menatapnya dari ujung meja sambil menghela napas kecil.
“Kamu melamun terus dari tadi. Cerita dong, siapa teman kamu tadi? Anak perempuan, ya?” goda ibunya dengan nada penuh rasa ingin tahu.
Alenta tersentak. “Eh, nggak, Ma. Maksudnya, iya… tapi bukan seperti yang Mama pikirkan,” jawabnya tergagap.
“Oh, jadi perempuan?” Ibunya mengangkat alis, mencoba menahan senyum.
“Bukan, Ma! Maksudku, ya dia perempuan, tapi kami cuma teman biasa.” Alenta berusaha menjaga nada suaranya tetap netral, tapi entah kenapa wajah Elara terus terbayang di benaknya.
“Hmm,” ibunya menyipitkan mata, masih tersenyum. “Kalau teman biasa, kenapa kamu kelihatan gelisah begini?”
“Aku nggak gelisah,” sahut Alenta cepat. “Aku cuma… kepikiran sesuatu aja.”
Ibunya melemparkan senyum lembut, lalu kembali menyendok makanannya tanpa melontarkan pertanyaan lebih jauh. Alenta menghela napas lega, namun pikirannya terus berputar, terjebak dalam bayang-bayang pertemuannya dengan Elara yang tak kunjung hilang.
Usai makan siang bersama ibunya, Alenta melangkah ke kamarnya. Ia duduk di samping jendela yang terbuka, membiarkan angin mengalir masuk, sejuk menyentuh kulitnya. Tanpa disadari, tangannya merogoh saku jaketnya, dan jari-jarinya menyentuh sesuatu yang asing; sebuah kunci kecil berwarna perak, dihiasi ukiran rumit yang tampak seolah menyimpan cerita lama.
Alenta mengerutkan kening. Ia tidak ingat pernah memiliki kunci itu. “Dari mana ini?” gumamnya.
Ia mencoba menelusuri ingatannya, namun semuanya terasa kabur. Tiba-tiba, wajah Elara muncul dalam pikirannya. Apakah mungkin kunci ini berasal darinya? Tapi kapan? Dan untuk apa?
Alenta memutar kunci itu di tangannya, memperhatikan ukirannya dengan seksama. Pada salah satu sisi, ia menangkap sebuah simbol kecil yang menyerupai gulungan benang, terukir dengan halus. Simbol itu terasa familiar, meski ia tidak tahu di mana pernah melihatnya sebelumnya.
***
Di ujung kota yang lain, Elara duduk sendirian di kamar kecilnya yang sederhana. Di tangannya, sebuah buku catatan kecil terbuka, buku yang sama yang ia bawa di pasar tadi siang. Pada halaman yang terbuka, terlukis sebuah sketsa kasar dari kunci kecil berwarna perak, garisan-garisannya tampak ragu namun penuh arti, seolah mencerminkan sesuatu yang belum sepenuhnya terungkap.
“Kalau dia menemukannya, berarti ini benar-benar dimulai,” bisik Elara pada dirinya sendiri. Ia menatap sketsa itu lama, sebelum akhirnya menutup buku catatan itu dengan satu tarikan napas dalam.
Di meja kecil di depannya, ada sebuah benda lain yang tergeletak: jam saku kuno dengan rantai yang sudah agak berkarat. Jam itu sudah tidak berfungsi, tetapi bagi Elara, benda itu lebih dari sekadar penanda waktu. Itu adalah petunjuk. Sebuah teka-teki yang harus ia pecahkan.
Elara meraih jam saku itu dan menggenggamnya erat, seolah benda itu dapat memberinya jawaban yang selama ini ia cari. Jarum jam di dalamnya masih membeku di angka yang sama: 2:17. Ia memandang angka itu lama, kemudian berdiri dari kursinya dengan tekad bulat.
“Sepertinya aku harus berangkat sekarang,” gumamnya lirih pada dirinya sendiri.
Udara di luar terasa dingin ketika Elara keluar dari rumahnya. Langit mulai berubah abu-abu, seakan hendak turun hujan, namun ia tidak peduli. Di sakunya, ia membawa buku catatannya, sementara jam saku tua itu tergenggam erat di tangannya. Setiap langkah terasa berat, seolah ada sesuatu yang tak terlihat yang menariknya untuk mundur, namun hatinya sudah memutuskan.
Satu tempat. Elara tahu ke mana ia harus pergi.
***
Di sudut kamarnya, Alenta masih terbalut dalam kegelisahan yang tak kunjung reda. Pikiran-pikirannya berputar, saling bertabrakan, sementara hatinya tak bisa tenang. Rasa ingin tahu yang menggelora membuatnya tak bisa menunggu lebih lama. Dengan langkah pasti, ia memutuskan untuk meninggalkan kamar itu dan menuju pasar tempat ia bertemu Elara. Dengan kunci perak itu masih berada di sakunya, Alenta melangkah keluar, membawa sejuta pertanyaan.
Saat Alenta tiba di pasar, suasananya berbeda. Tidak ada hiruk-pikuk seperti pagi tadi, tidak ada tawa riuh para pembeli atau teriakan penjual yang menawarkan barang dagangan mereka. Hanya ada beberapa orang yang berjalan santai, sementara para pedagang mulai membereskan barang-barang mereka, bersiap menutup toko.
Namun, di sudut pasar yang familiar, di tempat yang sama di mana ia dan Elara bertemu, sesuatu menarik perhatian Alenta. Secarik kertas tertindih batu kecil, hampir tersembunyi di bawah bayang-bayang bangku yang usang.
Alenta melangkah mendekat dengan hati-hati. Ia meraih kertas itu dan membukanya. Tulisan tangan yang rapi dan sedikit miring menyambutnya:
Jika kamu ingin tahu lebih banyak, temui aku di Perpustakaan Kota pukul tiga sore. Jangan terlambat.
Tidak ada nama, tapi Alenta tahu siapa yang menulisnya. Hanya satu orang yang mungkin.
“Elara,” bisiknya pelan.
Ia meremas kertas itu di tangannya, lalu menatap ke arah matahari yang mulai tenggelam. Dengan kunci perak di saku dan pesan di tangannya, Alenta meninggalkan sudut pasar itu, membawa serta rasa penasaran yang semakin membuncah di dadanya.
***
Alenta tiba di Perpustakaan Kota beberapa menit sebelum pukul tiga sore. Bangunan tua itu menjulang di hadapannya, dengan pintu kayu besar yang diapit oleh dua pilar batu berlumut. Cahaya matahari sore menerobos jendela kaca besar di atas pintu masuk, menciptakan pola yang indah di lantai marmer yang mengkilap.
Dia mendorong pintu berat itu dan melangkah masuk. Alenta masuk dengan langkah ragu. Ia sempat terhenti di depan pintu masuk, mengamati suasana yang terasa begitu asing namun menenangkan. Aroma buku-buku tua menyambutnya, bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan yang hampir tidak terdengar. Di dalam, suasana sunyi menyelimuti. Hanya ada beberapa orang yang duduk di kursi-kursi kayu, tenggelam dalam buku-buku mereka.
Di antara deretan rak buku yang menjulang tinggi, Elara berdiri dengan tenang. Tangannya memegang sebuah buku tua dengan sampul lusuh, tetapi matanya tidak benar-benar membaca. Seolah ia tahu ada seseorang yang datang mencarinya. Elara berbalik perlahan, dan ketika pandangan mereka bertemu, senyum kecil menghiasi wajahnya.
“Kamu datang,” ujar Elara, tanpa sedikit pun rasa terkejut, sambil meletakkan buku tua itu kembali ke rak. “Aku kira kamu akan mengabaikan pesan itu, atau mungkin… nggak datang sama sekali.”
“Kenapa aku harus nggak datang?” Alenta mendekat, matanya terpaku pada wajah Elara. “Kamu meninggalkan banyak pertanyaan di kepalaku.”
Elara terkekeh kecil, lalu melipat tangannya di dada. “Oh, jadi aku bikin kamu penasaran, ya?”
“Aku lebih dari sekadar penasaran,” balas Alenta, mengeluarkan kunci perak dari sakunya dan memperlihatkannya. “Kamu harus jelaskan apa semua ini.”
Elara menatap kunci itu dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Baiklah,” katanya sambil melangkah mendekat. “Kamu mau dengar ceritanya?”
“Tentu saja,” jawab Alenta tanpa ragu. “Aku sudah berjalan jauh ke sini untuk itu.”
“Ikut aku,” katanya sambil melangkah ke sebuah meja bundar kecil di sudut ruangan. Elara duduk dan mengeluarkan buku catatannya, meletakkannya di atas meja. Alenta duduk di seberangnya, memandanginya penuh rasa ingin tahu.
“Aku akan bercerita,” kata Elara pelan, membuka halaman di buku catatannya. Ia membuka halaman yang menampilkan sketsa kunci perak dan jam saku kuno. “Kunci ini,” katanya sambil menunjuk sketsa kunci perak, “dan jam saku ini adalah bagian dari sesuatu yang disebut sebagai ‘Benang Takdir’.”
“Benang takdir?” Alenta mengerutkan dahi.
Elara mengangguk. “Dalam legenda kuno, dikatakan bahwa setiap orang terhubung dengan seseorang melalui benang yang tak terlihat, benang yang tidak pernah putus meski waktu, ruang, atau kehidupan mencoba memisahkan mereka. Benang ini menyatukan dua jiwa yang seharusnya bertemu, apa pun yang terjadi. Konon, ada seorang penjahit waktu yang hidup di era yang jauh sebelum kita. Dia bukan penjahit biasa. Dia tidak menjahit pakaian, tapi benang takdir setiap orang. Benang itu menghubungkan momen-momen penting dalam hidup kita, seperti jembatan yang menghubungkan satu tempat ke tempat lain.”
Alenta mendengarkan dengan serius, meski nada Elara terdengar setengah bercanda.
“Elara, ini serius atau kamu cuma bikin cerita aja?” potong Alenta.
Elara tertawa kecil, lalu melanjutkan. “Sabar, biar aku selesai dulu. Jadi, penjahit waktu ini memiliki dua alat penting: sebuah jam saku kuno untuk melacak waktu, dan kunci perak untuk membuka pintu-pintu yang menghubungkan benang-benang takdir. Namun, suatu hari, penjahit waktu kehilangan kunci itu. Tidak ada yang tahu bagaimana atau mengapa, tapi sejak saat itu, segala sesuatu mulai berantakan. Orang-orang mulai merasa seperti ada yang hilang, seperti mereka terputus dari sesuatu yang seharusnya penting.”
Alenta menatap kunci di tangannya dengan ekspresi ragu. “Dan kamu pikir ini kunci yang hilang itu?”
Elara tersenyum lebar. “Bisa jadi. Atau… mungkin aku cuma iseng memberikannya padamu waktu kita bertemu tadi.”
Alenta mendelik, hampir tak percaya. “Kamu serius?! Jadi kunci ini nggak ada hubungannya dengan cerita barusan?”
Elara mengangkat bahu sambil tertawa. “Yah, siapa yang tahu? Tapi aku lihat kamu sangat serius memikirkannya. Rasanya lucu aja melihat kamu bawa kunci itu kemana-mana seperti memegang rahasia besar.”
Alenta terdiam, lalu tiba-tiba ikut tertawa. “Kamu keterlaluan. Aku hampir berpikir aku terlibat dalam konspirasi besar.”
“Bukankah itu seru?” Elara memiringkan kepalanya, matanya bersinar penuh antusiasme. “Kamu nggak merasa hidupmu jadi lebih menarik karena ini?”
Alenta menghela napas, tapi senyum kecil mulai muncul di wajahnya. “Mungkin kamu benar. Tapi kalau kamu cuma iseng, kenapa kamu sampai repot-repot menulis pesan untukku?”
Elara menatapnya, kali ini tanpa senyuman. “Karena… meskipun aku bercanda tentang cerita itu, aku merasa kunci itu memang harus ada padamu.”
***
Alenta memandangi Elara, mencoba mencerna kata-katanya yang penuh teka-teki. “Kamu merasa kunci ini harus ada padaku? Kenapa?” tanyanya, sedikit skeptis tapi juga penasaran.
Elara memainkan ujung rambutnya sambil tersenyum lebar. “Karena, Alenta… kamu terlihat seperti seseorang yang butuh sedikit petualangan dalam hidupmu.”
Alenta terkekeh. “Petualangan? Kamu pikir aku ini apa, karakter dalam novel misteri?”
Elara mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Alenta dengan pandangan serius yang tiba-tiba terasa sangat intens. “Tunggu dulu. Bayangkan ini: kamu sedang berjalan sendirian di pasar, hidupmu membosankan, datar, penuh rutinitas. Lalu tiba-tiba, seorang gadis misterius memberikanmu kunci tanpa penjelasan apa pun. Bukankah itu memulai cerita yang menarik?”
Alenta menatapnya tak percaya. “Jadi, kamu sengaja membuat aku seperti ini hanya karena kamu ingin hidupku lebih seru?”
Elara mengangguk penuh semangat. “Tepat sekali!” Lalu ia menambahkan dengan nada dramatis, “Dan aku tidak menyesalinya sedikit pun.”
Alenta menghela napas, lalu tertawa kecil. “Kamu aneh sekali. Tapi aku akui, kamu berhasil bikin aku penasaran sepanjang hari. Jadi, selamat.”
Elara tersenyum puas, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. “Nah, karena kamu sudah sejauh ini, aku pikir kita bisa mulai petualangan kecil ini.”
Alenta mengangkat alis. “Petualangan kecil?”
“Ya,” jawab Elara sambil menunjuk kunci di tangan Alenta. “Kamu tidak penasaran apa yang bisa dibuka oleh kunci itu?”
“Jadi, kamu benar-benar tahu bahwa kunci ini bisa membuka sesuatu?” Alenta mulai bingung antara percaya dan tidak.
Elara tertawa, kali ini lebih lembut. “Mungkin aku tahu, mungkin juga aku tidak tahu. Tapi bukankah itu bagian dari keseruannya? Kita mencari tahu bersama.”
Alenta menggelengkan kepala, tapi senyumnya tetap tidak hilang. “Oke, kalau begitu, apa langkah pertama dari ‘petualangan kecil’ ini?”
Elara mendekatkan wajahnya, membuat Alenta sedikit gelagapan. “Langkah pertama,” katanya pelan, “kamu traktir aku makan malam dulu. Aku belum makan apa pun sejak pagi.”
Alenta melongo, lalu tertawa terbahak-bahak. “Tunggu, jadi semua drama kunci ini cuma trik supaya aku mentraktirmu makan malam?”
Elara tersenyum polos. “Ya, dan aku pikir itu ide yang cukup jenius.”
Alenta mengusap wajahnya, mencoba menahan tawanya. “Kamu benar-benar keterlaluan, Elara.”
“Tapi kamu akan tetap melakukannya, kan?” Elara memiringkan kepalanya dengan senyum menggoda.
Alenta akhirnya menyerah. Ia berdiri sambil memasukkan kunci itu kembali ke sakunya. “Baiklah. Tapi ini bukan bagian dari takdir. Ini bagian dari jebakan.”
Elara berdiri, mengambil buku catatannya, lalu melingkarkan tangannya di lengan Alenta dengan santai. “Mungkin itu adalah jebakan. Tapi siapa tahu, jebakan ini mungkin mengarah pada sesuatu yang lebih menarik.”
Mereka berjalan keluar dari perpustakaan bersama, diiringi canda tawa yang ringan. Langit sore perlahan berubah menjadi malam, dan di dalam kantong Alenta, kunci perak itu terasa lebih berat dari sebelumnya, bukan karena logamnya, tapi karena rasa penasaran yang tak kunjung reda.
Dan meskipun Alenta tahu ini semua mungkin hanya bagian dari permainan Elara, ia tidak bisa menghilangkan senyum kecil dari wajahnya. Karena di balik semua itu, ada sesuatu yang terasa nyata, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh kunci, jam saku, atau bahkan cerita tentang benang takdir. Dan kalaupun itu hanya jebakan Elara, ia merasa tidak keberatan untuk terus terjebak.
***
Mereka tiba di sebuah kafe kecil yang terletak di dekat perpustakaan. Tempat itu terlihat hangat dan nyaman, dengan lampu-lampu kuning temaram yang memantulkan bayangan lembut ke dinding kayunya. Alenta memilih meja di pojok, di dekat jendela, sementara Elara langsung membuka menu dengan antusias seperti seorang anak kecil yang baru masuk ke toko permen.
“Baiklah, aku pilih yang ini,” kata Elara sambil menunjuk sesuatu di menu. “Oh, dan ini juga. Eh, mungkin tambahkan ini juga.”
Alenta menatapnya dengan alis terangkat. “Tunggu, kamu pesan makanan untuk siapa? Untuk kita berdua atau untuk satu tim sepak bola?”
Elara menatapnya dengan mata berbinar. “Jangan pelit, Alenta. Petualangan ini butuh energi. Lagipula, kamu yang janji traktir, kan?”
Alenta tertawa kecil sambil menggeleng. “Oke, baiklah. Tapi kalau aku bangkrut, kamu yang harus bayar utangku.”
Setelah mereka memesan makanan, Alenta menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatap Elara dengan senyum tipis. “Jadi, apa rencana berikutnya dalam ‘petualangan kecil’ ini?”
Elara mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, berpikir sejenak. “Hm… setelah makan, kita harus mencari tahu apa yang bisa dibuka oleh kunci itu. Aku punya firasat kuat, tapi kita harus melakukannya di tempat yang tepat.”
“Firasat kuat?” tanya Alenta, sedikit skeptis. “Elara, jangan bilang ini cuma firasat iseng lagi.”
Elara menatapnya dengan pandangan serius yang tiba-tiba berubah menjadi senyum nakal. “Ya, aku punya firasat. Tapi aku nggak akan kasih tahu sekarang. Petualangan ini kan harus penuh kejutan.”
Alenta menggelengkan kepala sambil tertawa kecil.
Makanan pun tiba, dan seperti yang sudah diduga, Elara makan dengan semangat yang membuat Alenta hanya bisa menggeleng kagum. Ia bahkan sempat memakan sebagian makanan Alenta tanpa izin, dengan alasan bahwa “kunci perak pasti lebih efektif kalau kita berbagi energi.”
Setelah selesai makan, mereka keluar dari kafe, dan malam sudah menyelimuti kota. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya temaram, dan angin dingin berhembus pelan.
“Jadi, ke mana kita sekarang?” tanya Alenta sambil memasukkan tangannya ke dalam saku, menyentuh kunci perak yang masih ia simpan.
Elara tersenyum penuh misteri. “Kita akan ke taman kota.”
“Taman kota?” Alenta mengerutkan dahi. “Kenapa di sana? Jangan bilang kita harus menggali sesuatu di tengah malam.”
Elara tertawa. “Tidak, tentu saja tidak. Tapi aku punya perasaan, sesuatu di sana akan membantu kita.”
Mereka berjalan menuju taman kota, yang sekarang sepi karena hari sudah malam. Pohon-pohon menjulang di sepanjang jalan setapak, dan gemerisik dedaunan terdengar samar di antara angin malam.
Elara memimpin jalan, berhenti di depan sebuah bangku kayu tua yang terlihat seperti sudah ada di sana selama puluhan tahun. “Di sinilah semuanya dimulai,” katanya sambil melirik Alenta.
“Dimulai?” Alenta mengerutkan kening. “Maksudmu apa?”
Elara duduk di bangku itu, lalu menepuk tempat di sebelahnya, mengisyaratkan Alenta untuk duduk. Setelah Alenta duduk, Elara mengeluarkan jam saku kuno dari sakunya dan menunjukkannya pada Alenta.
“Kamu ingat cerita tentang penjahit waktu yang aku ceritakan tadi?” tanya Elara.
Alenta mengangguk. “Ya, meskipun aku masih ragu itu nyata atau cuma karanganmu.”
Elara tersenyum kecil. “Nah, jam ini berhenti di pukul 2:17, kan? Kalau kamu perhatikan, di belakang bangku ini, ada ukiran angka yang sama.”
Alenta menoleh dan memeriksa bagian belakang bangku. Benar saja, ada angka 2:17 yang diukir dengan rapi di sana.
“Cukup menarik,” gumam Alenta. “Tapi apa hubungannya dengan kunci perak ini?”
Elara menunjuk bagian bawah bangku, di mana terdapat sebuah celah kecil yang hampir tidak terlihat. “Aku pikir… kunci itu untuk ini.”
Alenta berjongkok, mencoba memeriksa lebih dekat. “Kamu serius? Jadi, kunci ini benar-benar bisa membuka sesuatu?”
“Aku juga nggak yakin,” jawab Elara dengan santai. “Tapi nggak ada salahnya mencoba, kan?”
Dengan tangan sedikit gemetar karena penasaran, Alenta memasukkan kunci perak itu ke dalam celah. Ia memutarnya perlahan, dan terdengar bunyi klik yang lembut.
“Ya ampun, ini benar-benar bekerja,” kata Alenta dengan suara setengah berbisik.
Elara berjongkok di sebelahnya, matanya membelalak penuh antusiasme. “Cepat buka!”
Alenta menarik papan kecil dari bawah bangku, dan di dalamnya ada sebuah amplop tua yang sudah menguning. Ia mengambilnya dengan hati-hati dan membuka amplop itu.
Di dalamnya, ada sebuah surat pendek yang hanya bertuliskan:
Benang takdirmu telah dimulai. Teruslah mencari.
***
Alenta menatap surat itu dengan kebingungan, matanya menyusuri setiap kata, namun maknanya tetap mengambang di udara. Akhirnya, ia menoleh ke arah Elara. “Jadi… semua ini tentang apa?”
“Aku juga tidak tahu,” jawab Elara dengan nada yang lebih rendah dari biasanya. “Sekitar tiga tahun lalu, seorang pria tua memberiku jam saku dan kunci ini. Aku sedang duduk di bangku ini, sendirian, terlarut dalam kesedihan. Waktu itu aku merasa dunia seperti berhenti berputar, hingga pria itu datang. Dia bilang kunci ini untuk membuka bagian yang sekarang sedang kamu buka.” Elara berhenti sejenak, matanya menatap kosong ke depan, seolah mengingat kembali pertemuan itu.
“Dia bilang yang harus memegang kunci itu adalah orang yang aku rasa tepat. Sementara tugasku adalah mencari jawaban dari jam saku ini, yang hanya bisa ditemukan dengan bantuan si pemegang kunci perak.” Elara menghela napas dalam-dalam.
“Kenapa kamu berpikir untuk memberikannya padaku?” tanya Alenta.
Elara memiringkan kepalanya, matanya menyiratkan kelucuan yang tidak terduga. “Tidak ada alasan khusus,” jawabnya dengan tawa kecil. “Kita bertemu dengan cara yang… tidak biasa. Di momen yang tidak biasa, dan di tempat yang tidak biasa. Rasanya hanya… akan menarik saja kalau kunci ini ada di tanganmu.”
Alenta menghela napas panjang, lalu menggeleng pelan sambil tersenyum. “Jadi intinya, kamu cuma mengikuti insting anehmu ini? Dan aku yang jadi korban?”
Elara mengangguk penuh percaya diri. “Tepat sekali. Tapi lihat sisi positifnya, Alenta. Kalau bukan karena aku, kamu nggak akan punya cerita seru seperti ini. Hidupmu pasti tetap datar dan membosankan.”
Alenta memiringkan kepalanya, memandang Elara dengan tatapan penuh arti. “Atau mungkin aku justru hidup damai tanpa perlu memikirkan teka-teki konyol ini.”
Elara mendekatkan wajahnya ke Alenta, membuatnya sedikit gugup. “Ayolah, akui saja. Kamu menikmati ini, kan?”
Alenta terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk dengan senyum kecil. “Baiklah, aku akui. Ini… menarik.”
Elara bersorak pelan, membuat Alenta tertawa kecil.
“Jadi,” kata Alenta sambil melirik jam saku yang dipegang Elara, “kamu bilang pria tua itu memberikanmu jam ini dan bilang kalau kamu harus mencari jawabannya, kan?”
Elara mengangguk. “Iya. Tapi dia nggak bilang apa-apa lagi. Cuma menyuruhku untuk mengikuti intuisiku dan menunggu orang yang tepat.”
Alenta tertawa kecil. “Dan kamu pikir aku adalah orang yang tepat? Sungguh standar yang rendah.”
Elara memukul lengannya pelan sambil cemberut. “Hei! Aku serius, tahu. Lagipula, kita belum tahu, kan? Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang belum kamu sadari.”
Alenta mengangkat alis. “Sesuatu dalam diriku? Seperti apa, contohnya?”
Elara menyandarkan tubuhnya di bangku, memandang langit malam. “Entahlah. Mungkin kamu diam-diam adalah pewaris kekayaan besar yang tidak kamu ketahui, atau mungkin kamu adalah keturunan langsung dari penjahit waktu itu.”
Alenta tertawa terbahak-bahak. “Itu skenario yang sangat tidak mungkin. Tapi aku suka imajinasimu, Elara.”
“Jadi, apa langkah berikutnya?” tanya Alenta
***
“Langkah selanjutnya, ayo kita pulang. Ini sudah malam, kita bisa melanjutkannya besok,” jawab Elara sambil berdiri, mengibaskan debu dari celananya.
“Pulang?” Alenta mengangkat alis. “Kamu serius? Kita baru saja membuka sesuatu yang entah bagaimana berhubungan dengan ‘takdir,’ dan kamu ingin tidur?”
Elara menatapnya dengan santai, lalu melipat tangan di dada. “Ya, aku serius. Kamu lupa, aku butuh energi untuk memecahkan misteri ini. Lagi pula, kamu tahu kan, ide-ide terbaik biasanya muncul setelah tidur yang cukup.”
Alenta mendesah, tapi akhirnya ikut bangkit. “Oke, kalau begitu, mari kita pulang. Tapi kalau besok kamu tiba-tiba punya firasat aneh lagi, aku nggak janji akan ikut.”
Elara tersenyum penuh kemenangan. “Kita lihat saja nanti, Alenta.”
Mereka mulai berjalan meninggalkan taman, dengan Alenta menyimpan kunci perak itu di saku jaketnya. Udara malam terasa dingin, namun anehnya, suasana di antara mereka terasa hangat.
“Apa kamu yakin pria tua itu nggak bilang apa-apa lagi?” tanya Alenta untuk mengisi keheningan.
Elara menoleh dengan senyum jahil. “Yah, dia sempat bilang satu hal lagi sih…”
“Apa?”
“Dia bilang kalau aku harus memilih seseorang yang cukup sabar untuk menghadapi kekacauan yang aku buat.”
Alenta tertawa kecil, meskipun ia mencoba untuk tetap serius. “Jadi aku ini pilihan cadangan, ya? Karena nggak ada orang lain yang mau?”
Elara pura-pura berpikir. “Hm, mungkin saja. Atau mungkin karena aku merasa kamu cukup menyenangkan untuk diajak kacau bersama.”
Alenta mendengus, tapi tidak bisa menyembunyikan senyum kecil yang terselip di wajahnya. “Menyenangkan? Itu pujian, atau justru peringatan buatku?”
“Dua-duanya,” jawab Elara ringan.
Mereka tiba di persimpangan jalan yang memisahkan arah rumah mereka. Elara berhenti, memandang Alenta dengan senyum yang lebih lembut dari biasanya.
“Terima kasih, Alenta,” katanya tiba-tiba.
Alenta mengerutkan kening. “Untuk apa?”
“Untuk ikut dalam kekacauan ini. Aku tahu ini semua terasa aneh, tapi… aku senang kamu ada di sini.”
Alenta merasakan kehangatan di dadanya, meskipun ia mencoba mengabaikannya. “Ya, ya, jangan terlalu bersemangat, Elara. Lagipula, aku kan tidak punya pilihan.”
Elara tertawa, lalu mulai berjalan ke arah rumahnya. “Sampai jumpa besok, Alenta. Jangan lupa, tidur cukup! Kita punya misteri besar yang harus dipecahkan.”
Alenta menatapnya pergi, senyum tipis masih tersisa di wajahnya. Ia merasa bahwa kehidupannya baru saja berubah. Elara membawa sesuatu yang tak terduga ke dalam hidupnya.
***
Alenta tiba di rumahnya yang sederhana namun hangat, dengan lampu-lampu kecil yang memancarkan cahaya lembut di beranda. Ia membuka pintu dengan hati-hati, memastikan tidak membuat terlalu banyak suara, tetapi ia tidak cukup beruntung untuk melewati perhatian ibunya yang tajam.