BENANG TAKDIR

Ira A. Margireta
Chapter #3

BAB 2

SRENG SRENG SRENG

Bau harum tercium di dapur. Memakai gamis menghadap ke kompor yang sedang sibuk menggoreng tempe. Anisa duduk di atas kursi dari plastik, mata yang tidak bisa membendung air mata pun jatuh. Hal yang sebenarnya paling tidak disuka.

"Nisa, ambilin telur nak," kata Ibu.

"Baik Bu," balas Anisa.

Meletakkan pisau di atas meja, dan berjalan mengambil telur di kulkas. Mata mencari kesana kemari namun hasilnya nihil.

"Gak ada Bu, udah habis," kata Anisa.

"Lahh, kemarin baru beli dah habis," kata Ibu yang masih tidak percaya.

"Anisa juga gak tahu Bu."

"Ya udah kamu ambil dompet di lemari Ibu, kamu ambil uangnya, terus beli telur di warung Mak Sar," kata Ibu.

"Iya Bu," jawab Anisa.

Suara berisik terdengar di ruang tengah. Suara kriuk kriuk juga berasal dari ruang tengah. Langkah kaki Anisa terdengar pelan, agar dia tidak ikut Anisa ke warung Mak Sar. Kalau sampai ikut, sungguh menyebalkan. Tinggal sedikit lagi akan menuju finish.

"Mau kemana kau!" kata Dinda mengagetkan Anisa. Langkah kakinya seketika berhenti dan kemudian mencoba rileks, berbalik dan mulai bicara dengannya

"Aku? Aku mau ke warungnya Mak Sar, kenapa?!" kata Anisa dingin.

"Ikut!" Dia langsung matikan televisi dan berjalan duluan dengan senangnya.

"Ayo, berangkat."

"Padahal aku tidak ingin dia ikut, kenapa telinganya bisa dengar sih!" gumamnya dalam hati. Anisa sangat geram terhadap Dinda.

***

Berjalan kaki di atas tanah, di pinggir jalan kecil. Cuaca sedikit panas. Kenapa kok gak pakai sepeda motor? Jika ada sepeda motor di rumah, pastinya sudah dipakai dan pergi tanpa sepengetahuannya.

"Besok kau ada rencana?" tanya Dinda bicara duluan, mungkin Dinda merasa sunyi tidak ada obrolan diantara mereka berdua.

"Besok? Kayaknya gak ada, kenapa emang?" tanya Anisa balik.

"Gapapa, cuma nanya," tuhkan Anisa dibuat jengkel, ini masih belum lho.

"Sepertinya ada rencana deh besok," kata Anisa. Dinda terpancing omongannya.

"Kemana? Ikut dong," kata Dinda. Udah kayak ekor aja ikut.

"Besok tuh masak, ngepel, cuci baju, jemur pakaian, banyak deh besok rencana di rumah, ikut?" terang Anisa.

Langkah kakinya berhenti, "Lo canda ya!" kata Dinda. Dia sudah mulai merasa jengkel.

"Kan tadi kamu tanya, kamu ada rencana apa enggak," kata Anisa, membenarkan masalah.

"Omong sama lo tuh gak ada hasilnya," kata Dinda kesal, dia cemberut dan berjalan kesal mendahului Anisa.

"Dinda, Dinda, tungguin," panggil Anisa, dia tersenyum melihat Dinda ngambek.

***

Sesampai di warungnya Mak Sar, Anisa dan Dinda membawa masing-masing 2 etre. Karena di warungnya Mak Sar gak ada kendaraan, terpaksa Anisa dan Dinda jalan kaki lagi.

"Nih beneran kita jalan kaki? pegel kakiku," kata Dinda banyak mengeluh.

"Ya terus, pakai ojek? uangnya gak cukup," kata Anisa.

"Terus masa sampek rumah jalan kaki."

"Kalau omong terus gue tinggal disini, gue juga bawa sama rata," omel Anisa.

Anisa jalan duluan, dan Dinda terpaksa mengikuti Anisa di belakang. Dia sangat menyesal ikut Anisa ambil telur.

"Cepat woy!" teriak Anisa. 

Kemudian terdengar suara Dinda teriak keras, Anisa langsung menoleh. Dinda sudah duduk di tanah. Anisa datang menghampirinya, bola matanya membesar melihat telur-telur pecah.

"Kenapa kamu ini? Ya Allah telurnya jatuh semua," kata Anisa. Bukannya langsung di tolong malah terkejut melihat telur pecah.

"Gara-gara sepedah motor itu gak lihat jalan," kata Dinda. Dinda merasakan kesakitan.

"Terus gimana nih, lihat telurnya, masa kita kembali lagi ke warung?" kata Anisa menahan kesalnya. 

"Eh tunggu... aku sama kamu kan duluan kamu yang lahir, jadi kamu yang tanggung jawab," kata Dinda gak mau menanggung kesalahan.

"Enak aja, kan kamu yang bawa telurnya masa aku!" kata Anisa yang tidak mau mengalah.

"Jadi kakak harus ngalah, harus nolongin adeknya," kata Dinda.

Mereka berdua mulai berdebat di pinggir jalan.

 "Lihat-lihat dulu adiknya gimana, kalau kayak gini ogah gue nolong!" kata Anisa kesal. Sudah panas masih aja diajak berdebat.

Lihat selengkapnya