“Kuyakin pertemuan ini merupakan pertanda dari Tuhan bahwa kamu adalah takdirku.”
_____
“Aduh, Neng geulis! Itu lutut yang mulusnya udah kayak boneka barbie, sayang dong kalau udah lecet-lecet kayak gitu. Itu juga yang mau nabrak punya mata sembarangan. Nggak tahu apa sekarang skincare udah mahal. Mending ke ruang UKS deh, istirahat dan diobatin dulu. Apa perlu abang yang anterin? Sekalian jaga-jaga kalau ada yang mau macam-macam.” Panjang memang jika sudah melihat ada siswi cantik di depan matanya. Dia adalah lelaki yang sempat menghampiri Clara pertama kali dan menawarkan bantuan dengan alasan modus.
“Ya elah, modus aja lo kerjaannya, Ansel!” Satu-persatu teman dari lelaki itu pun langsung menjitak kepalanya bergantian. Si empunya hanya terkekeh. Yah, perkenalkan namanya adalah Anselo Deven Ulric.
Clara yang tak tahan jadi tertawa mendengar penawarannya. Sedangkan Shela yang khawatir langsung menepuk pundaknya. “Ra! Ke UKS dulu kata gue.”
“Shel, gue nggak apa-apa, kok. Asalkan udah dibersihin dengan air aja, cuma lecet gue masih bisa jalan pelan-pelan, masih lemes dikit aja gue, nggak usah lebay deh lo.” Clara tertawa, namun sebenarnya di dalam hati berkata.... nyeri sih, tapi nggak pa-pa tahan dikit aja.
“Shela bener, Ra. Mending diobatin dulu, takutnya tambah parah.” Vionna, gadis berambut pirang itu menyarankan dengan nada suara khawatir. “Lagian menurut gue luka lecet lo itu nggak sedikit, Ra.”
“Tapi....”
“Nggak pa-pa, ini hari pertama nggak mungkin langsung belajar juga kok. Nanti kami semua yang ngomong sama guru.” Gladies, gadis berambut hitam itu juga mencoba membujuk Clara.
“Iya, Neng. Biar abang anterin dah, biar nggak salah arah aja, hehe.” Ansel, lagi-lagi merayu Clara.
“Nggak pa-pa, gue udah tahu kok di mana,” sahut Clara dengan senyuman, yang langsung membuat Ansel cemberut.
“Biar gue temenin!” Shela berseru dengan cepat. “Takut pingsan pas lo jalan sendiri kan bahaya, lo ngelangkah sendiri juga kayaknya susah gitu.” Clara nyengir dan hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Iya, sama Shela aja biar tenang juga kita-kita.” Gladies berucap sambil duduk di kursinya yang dekat dengan Shela.
Ansel menghela napas sejenak, lalu berbicara, “Betul, betul, betul. Biar Shela yang anterin, biar nggak terjadi apa-apa. Sekalian Shela temenin lo, Ra. Nanti kalau misalkan ada guru biar kami yang bakal izinin kalian.”
“Izinin siapa?”
Semuanya menoleh di saat kata tanya itu keluar dari bibir seorang guru yang baru saja memasuki kelas mereka.
“Si Clara, Bu. Dia tadi pagi hampir aja ditabrak sama orang, untung aja nggak pa-pa, cuma lecet, tapi bahaya juga lecetnya lumayan, nggak sedikit, Bu. Makanya, saya jadi sedih lihatnya.” Ansel angkat bicara seraya berekspresi sedih. Sedangkan yang lainnya sudah duduk di kursi mereka masing-masing.
Bu Silvi yang mendengar hal itu langsung berjalan menghampiri siswi yang ditunjuk oleh Ansel dan melihat apa yang sebenarnya terjadi sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Sudah kamu beri obat merah, Clara?”
Clara mendongak dan memberikan sebuah gelengan.
Bu Silvi terdiam sejenak, lalu mengembuskan napas. “Karena hari ini kita hanya akan perkenalan saja terlebih dahulu, maka dari itu untuk Clara sementara waktu Ibu berikan izin berada di ruang UKS untuk mengobati lukanya.”
“Yang bener, Bu? Saya boleh izin ke UKS?” Merasa sedikit tidak percaya, Clara menanyakannya sekali lagi. Entah mengapa nada bicaranya begitu riang, mugkin karena tidak ingin juga menahan perih yang dia rasakan sedari tadi.
“Iya, silakan. Karena kamu pasti agak susah jalannya biar teman sebangku kamu yang bantu jalan ke UKS,” ucap Bu Silvi menunjuk Shela.
“Hati-hati di jalan, Neng! Jangan meleng, ya? Kasih tahu abang kalau ada yang mau macam-macam, ya?” Lagi-lagi Ansel suka menggoda. Dan Clara hanya tersenyum.
“Nggak usah ganjen terus lo!” Gemas dengan tingkah Ansel, teman sebangkunya langsung saja melayangkan sebuah tamparan pelan di belakang kepala Ansel. “Aduh!” ringis lelaki itu.