Matahari perlahan seakan bergerak ke ufuk barat. Perumahan penduduk yang sederhana maupun tak layak huni tampak terpencar. Tak ada rumah warga yang saling berdampingan. Angin berhembus, debu-debu pada beterbangan. Pepohonan dedaunannya pada merangas. Dusun dengan kondisi geografis hampir 90 persen kering seperti musim kemarau saat ini. Cuaca panas dan debu pun berseliweran.
Seorang anak laki-laki berusia sekitar 10 tahun. Rambutnya agak ikal. Berperawakan agak gemuk. Berpakaian lusuh. Baju kaosnya kebesaran. Kalu berdiri hampir menutupi celana pendeknya yang kumal. Ia juga tidak menggunakan alas kaki. Tampak duduk di sebuah gubuk kecil. Gubuk yang beratap daun buyuk dan sudah bolong-bolong karena atapnya lama belum diganti. Kerangka gubuk dari bambu. Hanya 4 tiang penyangga dari kayu. Dindingnya hanya setengah itupun dari anyaman daun buyuk juga. Sisanya dibiarkan tidak berdinding. Alas gubuk terangkat ke atas disekat oleh susunan bilah-bilah bambu. Gubuk kecil itu bukan tempat tinggal anak itu. Gubuk itu dipakai oleh petani untuk istirahat menikmati bekal maupun berteduh saat panas atau hujan tatkala bercocok tanam maupun panen tiba. Anak itu menunggu seseorang, sesekali mendongak ke segala arah. Ia juga kadang mengelap ingusnya dengan pinggiran bajunya. Karena dirasa sudah lama menunggu. Ia memilih rebahan dulu. Melihat atap gubuk yang tembus oleh cahaya karena bolong-bolong.
Terasa cukup lama lagi dia menunggu. Ia mencoba memilih bangkit dari rebahan sambil mengecek apa yang ditunggu sudah ada tanda-tanda kedatangan. Belum juga terlihat olehnya. Tiba-tiba ada angin cukup kencang. Dan di tengah ladang yang tandus terlihat pusaran angin dengan debu, dedaunan dan kantong-kantong plastik yang dibuang sembarangan. Pusaran angin itu cukup menarik perhatiannya. Bukannya takut malah ia seakan kegirangan melihat pusaran angin itu kemudian bergegas menghampiri. Ia bermain-main dengan pusaran angin itu, sesekali meloncat-loncat dan mengikuti kemana arah pusaran angin itu. Beruntung angin puting beliung itu tidak berskala besar dan tidak membahayakan dirinya. Beberapa saat kemudian, pusaran angin pun mereda dan perlahan menghilang begitu saja entah kemana. Anak itu pun wajah dan rambutnya penuh dengan kotoran debu. Ia berusaha membersihkan dengan telapak tangannya seraya kembali ke gubuk kecil tadi dan duduk termangu.
"Ian! Ian...! " tiba-tiba teriakan itu menyadarkan dirinya dari melamun. Ia pun menoleh ke arah sumber suara teriakan. Ia pun mendapatinya. Anak ceking tangan kanannya melambai-lambai ke arahnya seolah dirinya harus mendekat ke anak ceking itu. Bahu kiri anak ceking itu menyangklong layang-layang tradisional dengan ekor robekan-robekan kantong kresek tersambung dan lumayan panjang. Tangan kirinya memegang kaleng bekas dengan gulungan benang nilon layangan. Ia masih menggunakan sandal yang di kanan ujungnya diikat tali rafia karena pernah putus. Pakaiannya lusuhnya juga sama sewaktu membaca majalah " Pesona Negeri". Anak yang tadi di gubuk kecil berlari mendekat ke arahnya. Sejatinya anak ceking itu bernama Bento Setiadi Tirta. Sedangkan anak yang sedari tadi diam di gubuk kecil adalah Sebastian Timotius. Mereka sama-sama kelas 3 SD. Sudah mutual kenal sebelum masuk SD walaupun rumah mereka tidak berdekatan tapi mereka sering bermain bersama. Menghabiskan waktu secara mutual.
Mereka pun mencari tempat yang cocok untuk menerbangkan layangan. Sebastian mengintili langkah Bento sambil membantu memegang ekor layangan yang cukup panjang, kaki telanjangnya sudah dipenuhi kotoran debu. Bento menghentikan langkah mengecek arah angin dan seolah merasakan tempatnya pas untuk menerbangkan layangan. Bento pun memberikan layangan pada Sebastian. Sementara dirinya mengulur benang layangan sambil menuju tempat yang lebih rendah. Sebastian pun sesekali melangkah mundur sambil mengangkat layangan, ia menunggu kode dari Bento dan ada jarak cukup jauh antara dirinya dan Bento.Setelah mendapat kode dari Bento, Sebastian seraya melepas layangan. Layangan pun meluncur ke atas. Bento sesekali berlari dan terus menarik ulur benang layangan agar layangan terus mengangkasa. Selepas layangan terasa bisa seimbang terbang di angkasa dan terkadang sesekali meliak-liuk di angkasa, Bento dan Sebastian mencari tempat untuk duduk sambil mengawasi layangan. Mereka duduk di bawah naungan pohon trembesi yang dahan dan cabangnya menjulur ke segala arah membentuk payung dan tumbuh di gundukan ladang. Bento sekali-kali masih tetap menarik ulur ulur benang layangan menjaga keseimbangan layang-layang di angkasa. Sebastian hanya termangap memandangi layangan yang mengangkasa dan sesekali masih mengelap ingus dengan pinggiran baju. Kadang dihirup kembali pula sisa elapannya.
"Yah putus, Ian" Bento nyeletuk kaget, benang layangan tiba-tiba putus. Ia pun terbengong.
" Woew, malah bengong! Ayo kita kejar!" Sebastian menepuk bahu Bento untuk menyadarkannya dari bengong ternganga.
Mereka pun buru-buru bangkit dan tanpa ancang-ancang berusaha lari sekencang-kencangnya mengejar layang-layang. Mengawasi dan berusaha mengikuti arah layangan yang terus melayang-layang semakin meninggi dan menjauh seakan pula melambai-lambai mengucapkan selamat tinggal. Bento dan Sebastian masih terus berusaha mengejar dan mengawasi kemana arah layangan. Melewati ladang tandus, meloncat pada terasering ladang. Sampai langkah mereka terhenti kelelahan. Nafas mereka terengah-engah. Layangan dirasakan semakin menjauh dan meninggi dengan jarak yang tak mungkin terkejar lagi oleh mereka. Layangan dirasa terus mengecil dan tak terlihat lagi oleh pandangan mereka. Hilang entah melakukan pendaratan dimana. Mereka hanya bisa menghela nafas panjang dan berusaha mengatur nafas mereka kembali setelah tergopoh-gopoh.
"Pulang yuk! Ntar keburu kemalaman cari air" ajak Sebastian dan mengingatkan. Sebab selepas bermain kalau musim kemarau seperti saat ini, mereka harus membantu orang tua mencari air bersih. Bento hanya mengangguk pelan. Mereka pun berjalan untuk pulang ke rumah masing-masing.
Bangunan sederhana walaupun lumayan luas. Beratap daun rumbia dan berdinding gedek. Hanya pondasi bangunan yang di tembok batu dengan tujuan agar air hujan tidak masuk ke dalam bangunan. Rangka-rangka hampir semua dari bambu kecuali tiang-tiangnya dari balok kayu. Terbagi menjadi 2 ruangan. 1 ruangan tanpa plafon, lantai langsung dengan tanah, ada dipan bambu di atasnya ada kasur kapuk tipis yang sudah lusuh penutupnya hanya tikar dari anyaman daun siwalan, ada lemari kayu yang sudah usang tanpa pintu. Ada beberapa kardus bekas yang diberi alas bilahan bambu agar tak langsung bersentuhan dengan lantai, kardus itu juga digunakan untuk menyimpan pakaian atau perabotan lainnya. Ada sebuah lampu teplok dan jam dinding terkait dalam dinding gedek. Sebuah ruangan lagi untuk dapur tapi merangkap untuk tempat tidur, ada dipan, kasur kapuk dan tikar daun siwalan, ada kardus bekas, meja kecil dari triplek di atasnya ada buku tulis dan buku pelajaran kelas 3 SD, ada sebuah kursi reot dan usang. Ada setengah plafon pada ruangan itu dari susunan bilah-bilah bambu itupun untuk menyimpan jagung-jagung yang kering. Di dapur tidak ditemukan kompor maupun tabung gas elpiji 3 Kg. Hanya ada tungku dan beberapa kayu bakar, peralatan di dapur juga tradisional di balai bambu seperti wadah dan sendok dari tempurung kelapa, nyiru atau tampah, lesung kecil, ulekan, anyaman dari lidi daun kelapa, kendi, tempayan, gentong dari tanah liat. Hanya periuk,ketel atau cerek, piring, panci, wajan, dan dandang yang dari logam aluminium. Ada beberapa gelas plastik dan bekas botol kemasan air mineral maupun kaleng bekas. Ada juga bangku panjang yang lusuh. Di samping bangunan ada drum besar, jerigen, beberapa ember dan tentunya jeding berdiameter lumayan besar dan kedalaman hampir 2 meter. Di belakang rumah ada kamar mandi ukuran sempit tanpa ada jamban, berdinding gedek dan tak beratap. Di sekitar bangunan ada pohon waru, pohon mimba, pohon pepaya dan pisang yang belum berbuah. Ada bangku panjang dekat pohon waru dan mimba yang cukup meneduhkan kalau siang hari. Itu adalah sekilas gambaran keadaan rumah Bento. Rumah tradisional atau bahkan rumah belum layak huni kan?
Bento dengan langkah tergopoh-gopoh memasuki halaman rumah. Rumahnya terlihat sepi. Ia pun langsung membuka pintu rumah dari gedek hanya dengan mengesernya walaupun mulai susah menggeser karena sudah terlalu lama pintunya tidak diperbaiki. Benar saja tak seorang pun berada di dalam rumah. Ayah, ibu dan adiknya tak berada dalam rumah. Ia seraya menuju dapur mengambil kendi lalu mencoba menuangkan ke dalam gelas plastik tapi ternyata kendi itu kosong tak berisi air. Ia sembari mengarah ke tempayan dan mencoba memeriksanya ternyata kosong juga tak ada air yang tersisa. Ia pun beranjak ke luar rumah dan menuju samping. Ia seraya membuka penutup drum besar dan memeriksa di dalam dasar drum, tak ada air juga malah dasar drum itu tampak kotor menghitam. Ia pun menuju jeding harapan terakhirnya mendapatkan air untuk diminum saat ini. Dan dasar jeding pun kering kerontang, ia pun hanya bisa menghembuskan nafas panjang dan menelan ludah.
Bento pun beranjak ke sebelah rumahnya lagi. Mengambil 2 ember ukuran tanggung sembari mengambil sebuah galas. Disandangnya sebuah galas itu pada bahu dan 2 ember digantung pada masing- masing pengait ujung galas. Ia sempat tolah-toleh seraya melangkah pergi menjauh dari rumah sambil menyandang galas dengan 2 ember ukuran sedang.
Di tengah perjalanan akhirnya dia bertemu dengan Sebastian yang masih tetap nyeker. Sebastian menyandang galas di bahu hanya masing ujung galas digantungi jerigen. Mereka menyusuri jalan setapak berdebu, kadang menemui jalan terjal dan bebatuan. Penuh lika-liku perjalanan mereka hanya untuk mencari air bersih.
"Kapan sih musim hujan datang?" celetuk Bento agak cemberut dan melangkah gontai. Sebastian mengintil di belakangnya.
" Ya kita rabas dan santuy aja lah" sahut Sebastian dengan entengnya.